Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan Gelar Dialog Isu Anti Korupsi-Intoleransi

Jakarta, majalahspektrum.com – ISU Anti-Korupsi dan Anti-Intolerasi diangkat Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) serta Komite Pemilih Indonesia (TePI) dalam diskusi  memasuki Pemilu 2019 di Hotel Victoria Banjarmasin, Jumat (21/12/2018). Fakta itu dianggap sudah sangat mewabah dan bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Empat pembicara yang hadi antara lain Grace Natalie (Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia), Jeirry Sumampouw (Koordinator TePI), Dr Mohammad Effendy (akademisi Universitas Lambung Mangkurat), dan Dr Darius Dubut (aktivis lintas iman).

Menurut Grace Natalie, permasalahan besar bangsa Indonesia saat ini adalah korupsi dan intoleransi yang sudah sangat merusak. Bagi dia, hal itu sangat merugikan Indonesia ketika banyak program yang baik yang tidak bisa ter-realisasi karena makin maraknya kasus korupsi.

“Bahkan, sekarang korupsi sudah dianggap tidak malu-malu dan dilakukan ramai-ramai,” kata Grace Natalie.

Mantan presenter TV ini juga menyebutkan intoleransi hari ini sudah sangat terasa mengancam persatuan kesatuan bangsa. Grace melihat partai-partai religius maupun nasionalis, tidak ada yang terang-terangan bicara memerangi intoleransi. “Malah yang ada mereka ikut arus dan cenderung mengentertain politik identitas tersebut,” katanya.

Grace menyinggung banyak pihak yang memainkan politik identitas untuk kepentingan elektoral. Akhirnya, berbuah menjadi politisi korup karena tidak memiliki program yang substansial. Grace mempertanyakan, mengapa masih dicalonkan jika sudah jelas seorang caleg itu adalah mantan napi korupsi, misalnya.

“Sekarang kita tahu bahwa KPU sempat melarang adanya mantan napi koruptor menjadi caleg. Tetapi beberapa partai tidak setuju, mereka protes ke Bawaslu dan Bawaslu mengabulkan. Hingga KPU menyarankan untuk menandai surat suara bagi mantan koruptor. Namun, tetap saja partai tidak setuju,” ujarnya.

Menurut dia, parpol seharusnya melakukan pendidikan politik ke publik. Menyikapi hal itu, Grace menyebut isu anti-korupsi dan anti-intoleransi menjadi agenda perjuangan PSI.  “Dalam sebulan terakhir kami menyatakan tidak mendukung perda yang diskriminatif dan juga berjuang mengangkat martabat perempuan,” ucap Grace.

Menurut Grace, sekarang optimisme warga mulai mengemuka setelah mengikuti perkembangan politik dengan keterlibatan pemuda-pemudi dalam menyikapi isu yang dilontarkan PSI. PSI juga memperjuangkan keadilan bagi perempuan, yang menurutnya masih berkaitan dengan anti diskriminasi. 

Transparansi Dari Hulu ke Hilir

Grace menjelaskan, partai memiliki peranan penting dalam rekrutmen hingga menyodorkan caleg yang bagus dan memiliki otoritas dalam melakukan pengawasan yang dibuka kepada publik. Tidak berhenti sampai situ, tapi anggota legislatif nantinya harus berani membuat report aktivitas kepada publik melalui media sosial secara live.

Menurutnya, andaikata tidak ada transparansi, sudah dipastikan tak ada juga profesionalisme, yang lalu membuka ruang untuk korup. “Terbukti, tahun ini undang-undang yang jelas hanya lima dari yang masuk prolegnas 50 RUU. Setiap hari pada ngapain aja anggota DPR?” ucapnya.

Grace mengungkapkan, jika Indonesia ingin berubah, tentunya harus ada transparansi mulai dari rekruitmen sampai menjabat sebagai anggota legislatif.

“Ini harus jelas setiap hari apa yang dilakukan dari setiap wakil rakyat. Tidak hanya sekadar kamera ataupun CCTV pada saat sidang rapat komisi. Namun, ada report perhari yang membuktikan bahwa turut hadir dan mengerti terkait hal yang dibicarakan pada saat sidang,” pungkasnya.

Jeirry Sumampouw, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, menyampaikan bahwa narasi-narasi positif dan optimis sangat dibutuhkan dalam kontestasi 2019, ini untuk menjamin bahwa tahun 2019 bukan tahun pemilu terakhir. “Politisi-politisi muda ini mencoba memberikan ide-ide segar di tengah kondisi politik yang cenderung membosankan ini”, pungkasnya. (ARP) j`x��j

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan