Tim Rekonsiliasi PGI Dinilai Tidak Konsisten Soal Sinode GKSI

Jakarta, Majalahspektrum.com – DALAM sidang Majelis Persidangan Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang berlangsung di Ressort Safari Garden Hotel, Cisarua, Bogor pada 27-31 Januari 2019 yang lalu sempat diwarnai kericuhan yang melibatkan Sekeretaris Umum PGI, Pdt, Gomar Gultom dengan peserta sidang utusan dari Sinode Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI).

Diketahui, saat ini terjadi dua versi kepemimpinan di sinode GKSI, yakni; GKSI versi pimpinan Pdt, Marjio, S.Th dan GKSI pimpinan Pdt, Dr, Matheus Mangentang. Sudah 4 kali sidang MPL dan 1 kali Sidang Raya PGI digelar, kasus terbelahnya pimpinan sinode ini tak kunjung selesai atau disatukan. Marjio sendiri merupakan family dekat Matheus.

Kericuhan di sidang MPL PGI di Bogor tersebut diketahui disebabkan adanya tuduhan kepada Pdt, Yus Selly (Sekjend GKSI Mario) melakukan pemukulan kepada utusan dari sinode GKSI versi Matheus. Akibat tuduhan tersebut, Yus dan 1 rekannya diminta pimpinan PGI, Gomar Gultom untuk meninggalkan area persidangan MPL. 

“Jelas saya marah saat itu ke Sekum PGI, Gomar Gultom yang mengusir kami karena saya tidak merasa melakukan pemukulan,” kata Yus kepada sejumlah awak media di sebuah restauran di bilangan jalan Pramuka, Jakarta, Sabtu (3/2/2019). 

Diceritakan Yus, pada malam harinya usai kericuhan tersebut, Selasa (29/1/2019), kedua belah pihak GKSI yang berseteru dipertemukan oleh pimpinan PGI guna mengklarifikasi kasus pemukulan tersebut. 

“Di situ dia (utusan GKSI versi Mangentang) mengakui bahwa saya tidak ada pukul dia, dan ada saksinya. Akhirnya kami berdamai saling berpelukan,” kata Gembala Sidang gereja GKSI Gading Sengon, Jakarta Utara ini. 

Menurut Yus, persoalan dualisme kepemimpinan di sinode GKSI sesungguhnya bisa diselesaikan jika tim rekonsiliasi PGI konsisten. 

Diketahui, tim rekonsiliasi PGI terhadap sinode-sinode anggota PGI terdiri dari; Pdt, Albertus Party (Ketua Tim dari PGI Pusat), Pdt. Bambang Widjaja (PGI Pusat) Pdt, Raintung (Ketua PGIW), Pdt. Sheapard Supit (PGIW). 

Diceritakan Yus, ketidak konsistenan tim rekonsiliasi PGI tersebut dengan didasari oleh adanya keputusan tim rekonsiliasi PGI berdasarkan mandat sidang MPL PGI di Parapat yang tidak diterapkan atau ditepati janjinya. 

“Jadi pada MPL di Parapat, Sumut ditetapkan bahwa barang siapa yang mau rekonsiliasi dan mengikuti terus sidang MPL dan Sidang Raya PGI, dia (sinode versi) itulah yang diakui PGI,” jelasnya.

Dikatakan Yus, pada pertemuan kedua belah pihak di kantor PGI pada 5 Januari 2017 pihak GKSI Matteus mengundurkan diri tidak mau rekonsiliasi dan walk out dari pertemuan itu.

“Pada sidang MPL di Palopo 2017 kami hadir sementara Matteus tidak. Namun di sidang MPL tersebut PGI tidak jadi memutuskan GKSI yang mana yang sah dan diakui PGI padahal saat itu kami terancam. Saya sendiri batal berangkat karena ditelpon bahwa saya dicari-cari orang Matheus, hotel atau tempat penginapan disweeping, keselamatan saya dan Frans terancam, kami diancam akan dibunuh katanya,” ungkap Yus.

Terkait upaya untuk membunuh mereka dibantah oleh Pdt, Matteus melalui pesan WhatsApp-nya kepada majalahspektrum.com. “Tuhan kiranya jauhkan sy dari sikap spt itu,” tulisnya, Minggu (3/2/2019) malam.

Kekecewaan Yus kembali terjadi kala sidang MPL 2018 di Bogor. Pasalnya, sinode GKSI versi yang mana yang diakui PGI belum juga diputuskan, bahkan PGI membuat keputusan dengan menyerahkan persoalan tersebut diselesaikan sendiri oleh kedua belah pihak yang saat ini diketahui sedang berproses di pengadilan tingkat Mahkamah Agung.

Diungkapkan Yus, dirinya bersama rekannya Paulus dahulu berada di pihak Matteus. Dia bahkan mengawal Matteus bersama orang-orangnya saat sidang di pengadilan Tangerang.

“Matteus minta saya kawal dia karena katanya Frans bawa preman. Dalam kasus di pengadilan Tangerang itu Matteus dimenangkan dan dibebaskan dari tuntutan hukum. Pada sidang MPL di Parapat pun saya masih berada di kubu Matteus. Namun saat pertemuan di kantor PGIW Jakarta saya marah karena dia bilang ke PGI bahwa saya preman bawaan dari Frans,” bebernya.

Sementara itu, di sela sidang MPL PGI di Bogor, Pdt, Edison Djama (Ketua Badan Pertimbangan GKSI Matteus) mengatakan bahwa untuk menentukan sinode GKSI mana yang sah, pihaknya ingin dilakukan dengan cara verifikasi di lapangan dan siap mendanai semua biaya verifikasi faktual oleh PGI ke daerah-daerah dimana gereja GKSI berada yang Matheus.

Terkait hal itu, Yus pun mengaku siap jika memang cara verifikasi dijadikan penentu keabsahan GKSI versinya yang sah. “Kita juga siap membiayai tim utusan ferivikasi PGI,” tegasnya.

Yus berkeyakinan bahwa saat ini gereja GKSI yang berada di pihaknya lebih banyak dari GKSI-nya Matteus.

“Basis utama GKSI Matteus kan di Kalimantan Barat, tapi sebagian besar mereka pun sudah bentuk gereja sendiri menjadi Gereja Kristen Dayak Borneo. Sementara di kami, ada 9 gereja GKSI yang akan bergabung yang 4 di antaranya dalam waktu dekat akan disahkan (ditahbiskan),” ungkapnya.

Polemik GKSI Bisa Selesai

Memang sengketa dua kepemimpinan di sinode GKSI saat ini sudah masuk dalam proses hukum. Meski sempat ditunda 2 tahun oleh pihak GKSI Marjio sebagai pelapor karena ada upaya rekonsiliasi dimana PGI sebagai mediatornya.

Namun persoalan tersebut sebenarnya bisa selesai jika saja tim rekonsiliasi PGI mau bersikap tegas dan konsisten. Hal itu diungkapkan beberapa wartawan yang tergabung dalam Persekutuan Wartawan Media Kristiani Indonesia (PERWAMKI) usai konferensi pers resmi dengan pihak GKSI Marjio di Pramuka, Sabtu (2/2/2019).

“Kedua belah pihak sama-sama bersedia dilakukan verifikasi untuk menentukan GKSI versi siapa yang sah dan diakui PGI dan siap membiayai. Kalau PGI tak punya orang untuk melakukan verifikasi ya kerja sama saja dengan pihak lain yang netral, misalnya dengan kita (PERWAMKI), dan saya rasa teman-teman mau berkorban demi kesatuan gereja ini,” kata Ketua PERWAMKI, Yusak. (ARP)

1 Comment

Tinggalkan Balasan