Salatiga, majalahspektrum.com – Seminar Agama-agama (SAA) ke-35 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyerukan permintaan kepada negara untuk dapat memenuhi hak-hak kelompok warga yang menganut agama Penghayat Kepercayaan.
Hal itu diserukan dalam rumusan rekomendasi SAA ke-35 PGI yang berlangsung selama 3 hari, dari Rabu hingga Jumat (3-5 Juli 2019)di Salatiga, Jawa Tengah. Hari pertama, pembukaan dan seminar SAA digelar di Balairung kampus Universitas Kristen Satya Wacana menghadirkan keynote speaker Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Lalloy yang berhalangan hadir digantikan inspektorat jenderal Kemenkumham.
Hari kedua dan ketiga (penutupan) SAA digelar di Pusat Perlatihan dan Pengembangan Bina Darma, Bukit Sawo, Salatiga dengan agenda sesi Lokakarya, focus diskusi grup, merumuskan hasil dan rekomendasi SAA. Rekomendasi SAA ke-35 PGI ditujukan kepada pemerintah atau negara dan dikhusus untuk sidang Raya PGI yang akan digelar pada pertengahan November 2019 mendatang di Sumba, NTT.
Dalam sesi Lokakarya mendiskusikan ragam topik oleh para peneliti di antaranya mengangkat topik kehidupan warga penghayat kepercayaan di Nusantara. Warga penghayat sebagai pemeluk agama lokal menerima diskriminasi pelayanan oleh negara, khususnya degan diberlakukannya UU No.23/2013 tentang Administrasi kependudukan.
Meski sudah dikabulkan Judicial Reviewnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dimana pada kolom agama pada KTP warga penghayat tidak lagi diberi tanda strip tetapi sudah ditulis dengan Penghayat Kepercayaan, namun dalam praktik kehidupan tetap mendapat perlakuan diskriminatif.
Dikisahkan salah satu peserta dan pemakalah lokakarya SAA ke-35 PGI, yang juga seorang peneliti Samin dari IAIN Kudus, Moh. Rosyid, keputusan MK menjadi angin segar bagi sebgian warga Samin (pengikut ajaran Ki Samin Surosentiko) di Kudus dengan mengajukan perubahan kolom agamanya pada Kantor Dukcapil Kab Kudus menjadi penghayat sudah dilayani degan baik. Akan tetapi, ada pula warga Samin lainnya yang tidak ingin mengubahnya akrena pemikiran yang konservatif akibat tidak bersekolah formal.
“Menyikapi hal ini, seharusnya Pemkab Kudus proaktif dan persuasif memberikan sosialisasi agar warga Samin merespon keputusan MK,” kata dosen Institu Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus itu.
Fakta di kehidupan, kelompok pengahyat kepercayaan, yang merupakan agama budaya lokal ini, tidak memperoleh hak-hak sipilnya seperti; pengurusan akta lahir, akta nikah dan pemakaman jenazah.
“Kalau tidak punya akta lahir anak-anak mereka tidak bisa sekolah dan salah satu syarat pengurusan akta lahir adalah akta perkawinan orangtua. Kantor pencatatan sipil tidak mengakomodir pencatatan perkawinan pemeluk agama kepercayaan,” kata Merphin Panjaitan dari organisasi Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) dalam sesi penutup Lokakarya, Jumat (5/7/2019).
Tidak hanya itu, lanjut Merphin, warga penghayat kepercayaan juga tidak dapat menguburkan jenazah warganya yang meninggal dunia karena tidak ada tempat pemakaman umum bagi kelompok mereka.
“Sewaktu hidup dipersuliy, mati pun dipersulit. Sementara jika dukuburkan di halaman pekarangan rumah tidak diperbolehkan, ada larangan untuk itu. Padahal mereka ini adalah agama lokal yang lebih dahulu hadir di Indonesia. Kalau Islam, Kristen dan lainnya itu khan agama inpor,” jelasnya.
Pendapat dan pandangan dari Rosyid dan Merphin mendapat respon dan dukungan dari seluruh peserta SAA ke-35 PGI tersebut. Itu sebabnya, dalam rumusan dan rekomendasi SAA kali ini diserukan agar pemerintah atau negara mengeluarkan kebijakan tentang pemenuhan hak-hak warga penghayat kepercayaan tersebut.
Secara khusus, SAA ke-35 PGI mengangkat isu atau tema Agama dan Masyarakat yang Terpinggirkan dalam Kepemimpinan Indonesia Baru. Hasil SAA juga merekomendasikan kepada PGI sebagai salah satu lembaga keumatan yang diakui pemerintah untuk membawa dan membela kaum penghayat kepada pemerintah serta masuk dalam pembahasan sidang raya PGI nanti.
“Kami mengusulkan agar perwakilan dari keompok pengahyat kepercayaan ini juga diundang nanti pada SAA ke-36 dan sidang Raya PGI nanti sebagai peninjau dan narasumber,” kata Merphin lagi mewakili peserta SAA.
Perlakuan kepada warga penghayat oleh peserta SAA untuk segera ditindaklanjuti, dan mereka diharapkan bukan sekedar wacana tetapi dipraktikan dalam kehidupan bermasyarakat. “Dalam waktu dekat ini kami (MUKI) akan menemui mereka dan akan melakukan kegiatan bersama,” ungkap Merphin
Baca Juga : ( Ada Perilaku Baik di Seminar Agama-agama ke-35 PGI )
Untuk diketahui, mereka-mereka yang disebut sebagai kelompok agama penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan agama kepercayaan lokal warisan budaya, diantaranya; Sunda Wiwitan (Jawa Barat), Kejawen (Jawa) dan Parmalim (Batak, Sumut). (ARP)
Be the first to comment