Ini Isu Yang Sering Dipakai Saat Pemilihan Pimpinan Gereja

Jakarta, majalahspektrum.com – SAAT Pemilu, khususnya saat pemilihan Kepala Daerah maupun Pilpres isu SARA kerap dipakai untuk melemahkan pesaingnya. Politik identitas berbau SARA yang paling dasyat terjadi ialah saat Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres 2019.

Kebiasaan memakai isu negatif yang sama atau itu-itu saja bukan cuman terjadi dalam setiap pemilihan pemimpin di dunia sekuler atau politik tetapi juga terjadi di saat pemilihan pemimpin lembaga keumatan, termasuk pemilihan pimpinan gereja.

Tetapi di alam yang berbeda tersebut, baik di pemilihan pimpinan dunia sekuler maupun rohani ada kesamaan soal “Black Campign” yakni politik uang atau sogok. Politik uang bukan melulu berupa sejumlah uang yang diberikan kepada pemilik hak suara tetapi juga bisa dalam bentuk barang atau jasa.

Dalam pemilihan pimpinan gereja atau lembaga pun ormas kekristenan isu yang kerap dipakai adalah tentang kesusilaan seperti perzinahan dan perselingkuhan. Mungkin ini isu yang sangat ampuh dipakai oleh lawan calon karena ada di ranah rohani keagamaan.

Adanya kebiasaan memakai isu yang sama di setiap pemilihan pemimpin baru, baik di dunia sekuler maupun rohani akibat kurangnya kedewasaan kita dalam berdemokerasi. Akibatnya, pemilih tidak lagi memilih berdasarkan kerja nyata, visi misi dan program kerja para calon tetapi berdasarkan isu-isu yang beredar.

Ada cara lain yang dipakai dalam memilih pimpinan gereja berbeda dari pimilihan pemimpin di dunia sekuler seperti cara Konklaf di pemilhan Paus Katholik dan cara diundi. Cara diundi biasanya dilakukan dengan cara memasukan beberapa gulungan kertas berisi nama calon untuk dikocok seperti kocok arisan atau dicabut salah satu gulungan kertas oleh orang yang ditunjuk dengan sebelumnya didoakan secara sungguh-sungguh.

Cara konklaf ataupun diundi mungkin lebih pas dilakukan pada pemilihan setiap pimpinan gereja bila kenyataannya para pemilih belum dewasa dalam berdemokerasi.

Adanya pemakaian isu negatif, apalagi money politik (politik uang) dalam pemilihan pimpinan gereja atau keagamaan sesungguhnya bukan cuman mencoreng nama baik si calon tetapi juga mencoreng nama baik organisasi gereja itu sendiri. Itu sebabnya diperlukan kebijakan dan hikmat yang lebih dari otoritas gereja agar tidak kehilangan kepercayaan dari jemaat yang sebetulnya menyandarkan pembinaan akhlaknya pada gereja.

Sistem demokerasi sesungguhnya hanyalah penjabaran dari sebuah metode gaya kepemimpinan. Karena dalam kenyataannya sistem demokerasi tidak melulu cocok dan jadi yang terbaik dalam kepemimpinan. Sama halnya seperti sistem otoritas atau gaya kepemimpinan otoriter yang ducap buruk, karena nyatanya, Kerajaan Inggris dan banyak negara kerajaan lainnya yang sukses dengan sistem otoritas. (ARP /RED)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan