Mewujudkan Keesaan Gereja di Indonesia Ditengah “Warna-warni” Doktrin

Jakarta, majalahspektrum.com – Menyambut Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ke-17 di Sumba, Nusa Tengara Timur (NTT), Perkumpulan Senior GMKI Bekasi dan YKKM Bandung menggelar diskusi bertajuk; “Memahami Kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa Menuju Gereja Kristen Yang Esa”di Gedung Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), Lt 9, Jalan Salemba Raya 12, Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2019).

Menyadari persoalan dasar kita adalah karena ketiadaan visi teologis. Padahal dasar teologi penting sebagai pemahaman bersama gereja-gereja atas kehadiran Tuhan sebagai missio dei (misi Tuhan) di Indonesia. Demikianlah dasar pemikiran diskusi itu digelar.

Hadir sebagai pematik diskusi; mantan Rektor UKSW Salaiga, Prof. John Titaley ThD, Ketua tim Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI Pdt, Dr, Zakaria Ngelow, Ketua PGI Pdt, Dr, Albertus Patty. Sedangkan Ketua Bidang IV STT Jakarta, Pdt Joas Adiprasetya ThD memberikan kuliah sebagai pengantar diskusi tentang Spiritualitas Warna-warni, termasuk gereja yang warna-warni.

Tampak peserta diskusi terdiri dari Ketua Sinode dan pimpinan lembaga keumatan. Ada juga mahasiswa teoligi dan lainnya.

Mantan Rektor UKSW Salaiga, Prof. John Titaley ThD mengatakan, sebagaimana Pancasila dan UUD’45 bisa diterima oleh semua agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, demikianlah pula keesaan gereja dapat diwujudkan dalam hal misi pelayanan di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di sana tidak ada perdebatan doktrin gereja. Gereja di Indonesia adalah Kristen Indonesia atau nusantara. Tidak ada Kristen ala Amerika, Belanda atau lainnya, seperti saudara-saudara kita dari Islam, khususnya NU mendeklarasikan Islam Nusantara.

Menurut Ketua PGI, Pdt, Dr, Albertus Patty, mewujudkan gereja Kristen yang esa di Indonesia adalah visi bersama gereja-gereja di Indonesia yang disepakati pada siding Raya PGI di Ambon tahun 1984. Namun, sudah 35 tahun berlalu visi tersebut belum juga dapat terwujud.

“Karena saat perjumpaan gereja-gereja bukan menghasilkan dialog tetapi monolog. Percakapan didominasi oleh aspek doktrin dan dogma, bukan tentang persoalan sehari-hari yang merupakan persoalan rill yang dihadapi bersama,” katanya.

Selain itu, kata dia, sulitnya gereja bersatu karena sebagian gereja bersikap segmented, sehingga persaudaraan yang dibangun cenderung primordialistik.”Memikirkan kepentingan diri, etnik dan kelompok gerejanya sendiri,” ujarnya.

Menurut Patty, keesdaan gereja dapat diwujudkan dalam misi bersama dalam menyikapi persoalan bangsa. Untuk itu dibutuhkan kolaborasi dan sinergi gereja-gereja untuk misi melayani bangsa. Hal ini juga adalah kehendak Tuhan bagi gereja untuk memeberkati bangsa dan negaranya.

Sementara menurut Ketua tim Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI Pdt, Dr, Zakaria Ngelow, keberadaan PGI sendiri adalah sebagai wujud keesaan gereja. “Memakai Alkitab yang sama yakni yang diterbitkan oleh LAI juga wujud keesaan gereja,” kata Ngelow.

Bebebrapa contoh adanya krisis keesaan gereja menurut Ngelow ialah adanya perpecahan di suatu gereja yang sulit dimediasi, tersendatnya mengembangkan kemandirian gereja dalam bidang teologi, daya dan dana. Inilah persoalan yang membuat gereja-gereja bersatu melakukan misi bersama gereja.

“Lembaga pendidikan Kristen dikeluhkan salah urus tak bermutu. Gelar kesarjanaan para pendeta meningkat tetapi mutu pelayanannya tidak.Pembangunan gedung-gedung gereja yang megah terus berlangsung, sementara pembangunan sumber daya manusianya abai,” ungkapnya.

Hal-hal tersebutlah yang menjadi dasar pergumulan dalam Sidang Raya XVII PGI di Sumba bulan November mendatang dengan mengangkat tema; “Aku Yang Awal dan Yang Akhir” dengan subtema; “Bersama Seluruh Warga Bangsa, Gereja Memperkokoh NKRI yang Demokratis, Adil dan Sejahtera bagi Semua Ciptaan Berdasarkan Pancasila dan UUD’45. (ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan