Jakarta, majalahspektrum.com – KETUA Umum Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI), Baktinendra Prawiro, M.Sc, M.H mengatakan, menjelang bonus demografi Indonesia 2045 dan tantangan era revolusi industri 4.0, Indonesia hendak kemana? atau hendak kemana Indonesia mengarah sebenarya?.
Pertanyaan itu dilontarkan Mas Bakti, panggilan akrab Baktinendra, sebagai pengantar diskusi di acara “Refleksi Awal Tahun 2020” PIKI bertajuk; “Indonesia, Quo Vadis?” di Hotel Gran Melia, Jl. Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (31/01/2020).
“Melihat Indonesia sekarang ini melalui kebijakan dan program pemerintah, pertanyaannya, Indonesia mau dibawa kemana? atau mau kemana arah Indonesia?. Indonesia Quo Vadis atau Quo Vadis Indonesia”. Di sinilah, dalam rangka refleksi awal tahun 2020 ini PIKI diharapkan dapat memberikan masukan atau masukan melalui diskusi yang akan kita gelar dalam 2 sesi,” kata mas Bakti.
Fokus Grup Diskusi (FGD) dalam rangka refleksi awal tahun PIKI digelar dalam 2 sesi. Sesi pertama tentang Kesiapan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia Indonesia menuju Indonesia Emas 2045 dengan pematik diskusi
Dr (HC) Willi Toisuta, Ph.D sedang penanggap oleh Dr. Badikenita Putri Sitepu, dan Dr. Pos Hutabarat.
Sesi kedua diskusi berbicara tentang kesiapan peoduk Hukum Indonesia menuju Indonesia Emas dengan menghadirkan pematik diskusi Dr, Daniel Yusmic, M.H dan Aldentua Siringoringo, S.H, M.H dengan penanggap Dr, Bernard Nainggolan dan Dr, Theofransus Litaay.
Diketahui, diperkirajan pada tahun 2045 jumlah penduduk Indonesia mencapai 370 jutaan. Dari jumlah itu, 60 persen di antaranya memiliki tingkat pendidikan SMA ke bawah. Ini merupakan tantangan kesiapan SDM Indonesia ke depan.
Indonesia, Quo Vadis, lanjut mas Bakti, ada 3 hal pertanyaan mendasar saat ini, yang pertama yakni soal investasi.
“Adanya Investasi yang masif saat ini, apakah hasilnya akan menciptakan Kesejahteraan dan Keadilan Sosial. Kemudian yang kedua, Bagaimana dengan Capital Social (modal sosial) untuk pembangunan dengan perubahan-perubahan yang ada?,” jelasnya.
Ketiga, lanjut mas Bakti, adanya produk hukum yang bertentangan dengan pilar kebangsaan yang perlu dicermati oleh pemerintah saat ini.
“Contohnya, SKB 2 Menteri jika dipertahankan akan menjauhkan kita cita-cita didirikannya negara Indonesia. Peraturan yang berbau diskriminatif seperti ini tidak boleh ada dalam demokerasi,” tukasnya.
Terkait dengan keberadaan PIKI yang sudah berusia 56 tahun, kata mas Bakti, PIKI adalah kelompok intelektual kristen bukan dalam arti dilihat dari kesarjanaan (tingkat pendidikan) tetapi adalah kalangan terdidik yang mau tahu dan peduli terhadap perkembangan masyarakat dan negara Indonesia lalu memberikan solusi.
“PIKI aktif dalam membuat kajian-kajian melalui Fokus Grup Diskusi dengan membangun jejaring dengan kampus-kampus dan gereja. Ke depan saya yakin Tuhan punya rencana terhadap PIKI,” paparnya.
Di hadapan Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara, mas Bakti menjelaskan bahwa PIKI memang seperti ICMI tetapi jauh lebih dahulu ada.
“Tadi pak Mensos nanya ke saya apa itu PIKI, apakah sama seperti ICMI-nya muslim?. Saya jawab ya tetapi kita (PIKI) lahir duluan,” katanya.
Hadir dalam acara refleksi awal tahun 2020 PIIKI Mensos RI, Juliari Batubara. Mensos di acara itu didaulat sebagai Keynote Speaker. Dalam kesempatannya, Mensos Juliari mengajak PIKI untuk bersinergi agar PIKI semakin berdaya guna, dikenal dan disegani eksistensinya di Indonesia.
“PIKI bisa kerjasama dengan kementerian sosial melalui program. Ini juga saya katakan kepada kalangan umat lain. Saya sadar saya atau pemerintah tidak bisa kerja sendirian harus dibantu untuk mencapai visi-misinya,” kata Mensos Juliari.
Bukan hanya pertanyaan Indonesia, quo vadis, mas Bakti juga menantang dengan pertanyaan bagaimana dengan quo vadis kekristenan di Indonesia ke depan. (ARP)
Be the first to comment