Jakarta, majalahspektrum.com – SINODE Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) berdiri pada Tanggal 21 November 1988. Hingga kini (21 November 2020) telah memasuki usianya yang ke-32 Tahun. Perjalanan 4 Windu GKSI diwarnai berbagai banyak suka cita, tantangan dan persoalan. Mulai dari masifnya pos-pos pelayanan gereja di berbagai wilayah di Indonesia, terusirnya STT SETIA dari kampusnya sendiri di Kampung Pulo hingga kini terjadinya dualisme kepemimpinan di gereja itu.
Sudah 5 tahun ini dualisme kepemimpinan terjadi di sinode GKSI. Berbagai upaya rekonsiliasi perdamaian sudah dilakukan termasuk upaya mediasi yang dilakukan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebagai aras gereja yang menaungi sinode GKSI.
Perayaan HUT Ke-32 GKSI versi Jl. Kerja Bakti, Kp.Makasar, Jakarta Timur diawali dengan Sidang sinode Ke-5 yang berlangsung sejak (pembukaan) Rabu (18/11/2020) hingga (penutupan resmi sidang) Sabtu, 21 November 2020.
Dalam acara penutupan sidang sinode, sekaligus perayaan syukur HUT Ke-32 GKSI, Ketua Umum Majelis Pekerja Harian PGI, Pdt, Gomar Gultom, M.Th berkesempatan memberikan sepata dua kata mewakili PGI selaku lembaga gereja yang menaungi GKSI.
“Pertama-tama saya mengucapkan selamat ulang tahun ke-32 sinode GKSI dan suksesnya sidang sinode ke-5 GKSI. Saya menyesal tidak bisa hadir ssecata tatap muka langsung dengan saudara karena kondisi pandemi virus corona saat. Saya mengapresiasi kepatuhan GKSI mengikuti imbauan pemerintah dalam mengikuti protokol kesehatan di acara ini. Memang sudah semestinya gereja turut mendukung upaya pemerintah menghadapi pandemi ini dan bersiap menyesuaikan diri,” kata Gomar melalui sambungan webinar zoom, Sabtu (21/11/2020) malam.
Lanjut Ketum MPH PGI, Pdt, Gomar Gultom, terkait tema sidang sinode GKSI yang sama dengan tema Sidang Raya PGI di Sumba, NTT tahun kemarin, ada sejumlah krisis yang tengah dihadapai bangsa Indonesia dan bahkan dunia saat ini yang perlu disikapi oleh gereja diantaranya; tentang krisis Kebangsaan, krisis Ekologis dan krisis ke-Esaan Gereja.
“Gereja harus turut berperan mengatasi krisis kebangsaan dimana ada polarisasi (terpecah menjadi 2 kelompok) di masyarakat karena saat Pemilu, Pilkada yang menggunakan isu-isu agama. Krisis ekologis perubahan iklim yang tak menentu membuat petani tak tentu panen dan kerusakan lingkungan akibat penggunaan plastic. PGI sejak tahun 2010 sudah mengkampanyekan pembatasan penggunaan pelastik, ini mesti didukung oleh gereja-gereja sebagai sikap kepuedulian terhadap lingkungan dan ekologi,” terang Gomar.
Yang terakhir adalah krisis ke-Esaan gereja yang ditandai oleh semakin banyaknya muncul konflik dalam gereja. Hal ini menjadi perhatian PGI yang sejak dahulu ingin mewujudkan keesaan gereja di Indonesia.
“Saya mengajak gereja yang berkonflik untuk rekonsiliasi, apalagi sebentar lagi kita akan masuk dalam minggu Advent kalender gereja menuju Natal yang direfleksikan dengan Perdamaian dengan semua pihak yang membawa cuka cita,” imbau Gomar.
Baca Juga : (Warning Penggunaan Logo GKSI Setelah Bersertifikat Merk Kemenkumham)
Gomar juga berpesan agar gereja mampu menyesuaikan diri dengan keadaan jaman, agar tidak menjadi korban perubahan zaman. Masa pandemik virus Corona (COVID-19) menghantar kita manusia di dunia saat ini untuk berinteraksi sosial secara digital.
“Transportasi Umum, Belanja bahkan peribadatan dilakukan dengan digital. Gereja mesti mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Pilihannya Berubah atau Mati (jadi korban) perubahan zaman,” jelasnya.
Ibadah syukur HUT Ke-32 GKSI dibungkus dengan tema; “Akulah Alfa dan Omega” (Wahyu 21:6). Dalam khotbahnya, Pdt, Jemmy Iwan Tangka, S.Th mengajak jemaat dan pendeta di GKSI untuk proaktif dalam pelayanan gereja.
“Jangan reaktif apalagi pasif. GKSI bergerak tanpa iming-imging materi, lakukan dengan tulus ikhlas menjalankan tugas panggilan gereja dan amanat agung Tuhan Yesus Kristus,” pesan Pdt, Iwan.
Sementara, Ketua sinode terpilih, Pdt, Marjio, S.Th, M.Th mengingatkan para pengurus dan pengerja GKSI untuk tidak mencuri haknya Tuhan. Ia mengajak untuk hidup sederhana, utamanya memberikan teladan.
“Mengedepankan teladan, Yesus adalah teladan kita. Jangan ada yang menjual-jual kesusahan dan penderitaan para misionaris dan pelayan kita (GKSI) ke donateur untuk kepentingan diri pribadi,” ajaknya.
Sementara, Ketua Majelis Tinggi GKSI, Frans Ansanay, S.Th, S.H, M.Pd mengungkapkan adanya perubahan yang radikal di kepemimpinan GKSI yang diyakini sebagai kehendak Tuhan itu sendiri. Frans lantas memberikan contoh tentang kepemimpinan Presiden kedua RI, Soeharto yang berusaha untuk terus mempertahankan kursi kekuasaannya dijatuhkan oleh mahasiswa dengan perubahan era reformasi dan cerita Alkitab tentang Raja Saul yang berupaya tingin mempertahankan kekuasannya dari Daud.
“Gerakan perubahan kepemimpinan itu atas kehendak Tuhan. Sebesar apapun upaya mempertahankan kekuasaan, kalau Tuhan Tuhan sudah berkehendak, pasti jatuh tidak ada yang dapat menghalanginya. Begitupun di GKSI, perubahan kepemimpinan dari seseorang yang ingin terus memimpin, mempertahankan kekuasaan karena ada kepentingan pribadinya,” terang Frans.
Frans lantas mengutip perkataan Rasulnya orang Papua yang mengatakan; kalau kita kerja jujur dan ikhlas maka Tuhan akan memberikan “Tanda Heran” satu ke tanda heran lainnya.
“GKSI kita (jl. Kerja Bakti) telah menerima berbagai tanda heran- tanda heran itu. Dengan upaya sendiri (swadaya), kita telah memiliki STT sendiri, GKSI berkembang jumlahnya se-Indonesia dan sudah punya kantor secretariat dan gedung pertemuan sendiri. Kita juga sudah sah di Kemenkumham, hak logo GKSI diberikan ke kita,” tandas Frans. (ARP)
Be the first to comment