Hard Terrorism dan Soft Terrorism Sama-sama Harus Ditumpas Tuntas

Jakarta, majalahspektrum.com – LAGI terjadi aksi bom bunuh diri di Indonesia. Kali ini aksi terorisme bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, pada, Minggu (28/3/2021) pagi yang dilakukan oleh sepasang suami isteri yang baru saja menikah. Selain dari pemerintah, banyak pihak yang mengutuk aksi tersebut, pun pernyataan-pernyataan sikap dari berbagai lembaga dan kelompok masyarakat.

Pernyataan sikap, mengutuk aksi terorisme sudah lumrah dilakukan, namun jangan sampai di situ, harus ada upaya pencegahan oleh pemerintah agar tidak ada lagi aksi-aksi serupa. Bukan cuman menyisir kelompok teroris tetapi upaya pencegahan berupa tumpas tuntas bibit-bibit doktrin dan oknum-oknum yang selama ini menebar paham kebencian, fanatisme dan radikalisme.

Atas peristiwa bom bunuh diri di Makasar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan Kapori Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk mengusut tuntas teror bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar.

“Saya sudah perintahkan Kapolri untuk mengusut tuntas jaringan-jaringan pelaku dan membongkar jaringan itu sampai ke akar-akarnya,” kata presiden Jokowi dalam pernyataan resminya, Minggu sore. Menurut Kepala Negara, terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan semua ajaran agama menolak terorisme apa pun alasannya.

Meyakini semua agama menolak aksi terorisme, maka pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi juga harus menumpas tuntas paham-paham radikalisme termasuk para tokohnya yang selama ini berkoar-koar seenaknya di media.

Seperti yang dikatakan seorang konsultan politik dan tokoh media social, Denny Januar Ali, atau biasa disapa Denny JA dalam tulisannya di media sosial,  bahwa kita mesti dapat membedakan antara “Hard Terrorism” dengan “Soft Terrorism”.

Menurut Denny JA, Hard terrorism menggunakan kekerasan fisik seperti pembunuhan. Tapi soft terrorism tak menggunakan kekerasan fisik tetapi menggunakan kekerasan kata, ujaran kebencian.

Elemen tafsir agama tak bisa dibuang, dinihilkan, dari serangan bunuh diri yang memang menggunakan retorika agama. Tapi Hard Terrorism dan Soft Terrorism berangkat dari tafsir agama yang sama. Agama yang tidak bertoleransi atas perbedaan.

Maka agak aneh rasanya jika kita mengecam hard terrorism, tapi kita diam saja atas soft terrorism. Bisu saja atas aneka ujaran kebencian, terhadap penganut kepercayaan minoritas. Atau terhadap hak hak warga yang dijamin konstitusi.

Hard Terrorism dan Soft Terrorism tak hanya melanda agama Islam. Tapi juga semua agama. Bahkan tak hanya melanda dunia agama. Juga melanda kepercayaan non- agama, spt Facisme, Komunisme, Rasisme. Peradaban modern telah datang menghadapi aneka isme soft terrorism di atas. Peradaban modern memberikan bunganya yang paling harum: Prinsip Hak Asasi Manusia.

Saya jadi ingat apa yang pernah dikatakan oleh Presiden RI ke-4, Alm. KH, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur berkata bahwa telah terjadi “Arabisasi Islam” dan “Amerikanisasi Kristen”. Keduanya dinilai cenderung menerapkan doktrin fanatisme yang berpotensi meruntuhkan nasionalisme kita, memecah persatuan anak bangsa.

Dari catatan sejarah aksi bom bunuh diri, Chichago Project on Security and Terrorism mengumpulkan darabase untuk serangan bunuh diri. Membaca data itu kita mengerti. Serangan bom bunuh diri, bagi aktor intelektualnya, dianggap sangat efektif menghancurkan apa yang diidentifikasikan sebagai musuh.

Sejak tahun 1981 hingga 2015, telah terjadi 4814 serangan bunuh diri di 40 negara. Dalam periode itu, sudah terbunuh, mati, 45 ribu orang.

Frekwensi serangan bunuh diri cukup beragam di seluruh dunia. Di tahun 1980an, rata rata serangan bunuh diri terjadi  sekali per 3 tahun. Tahun 1990an, ia meningkat. Rata- rata serangan bom bunuh diri terjadi sekali setiap bulan.

Tahun 2001-2003, frekwensi serangan bunuh diri semakin meningkat. Rata rata, ia terjadi sekali setiap minggu. Di tahun 2003 hingga tahun 2015, serangan bunuh diri rata rata terjadi setiap hari. Mengapa kian lama serangan bunuh diri rata rata meningkat frekwensinya? Ini jawabnya.

Serangan bunuh diri itu adalah metode yang digunakan dalam 4 persen dari seluruh metode serangan terorisme. Tapi ia menyebabkan 32 persen dari total kematian pihak yang dipahami sebagai musuh.

Terlepas dari reaksi dunia luar, bagi aktor intelektual, data itu menunjukkan serangan bunuh diri tetap menjadi pilihan utama, efektif, strategis, dramatis, sensasional, untuk dimainkan. Serangan bunuh diri lebih heboh pula untuk berita.

Ada riset yang mengelaborasi mengapa mereka bersedia bunuh diri untuk menyerang siapapun yang dianggap musuh?. Jawabnya, bagi teroris yang “membajak” Islam, karena mereka menganggap tindakan bunuh diri ini sejenis jihad. Martyrdom. Dan mereka akan mendapatkan reward di surga, antara lain, ditemani 72 bidadari perawan (bagi lelaki), dan suami yang terbaik (bagi wanita).

Bagi orang luar, itu adalah ilusi. Bukankah memang demikianlah realitas dunia kepercayaan? Orang luar selalu menganggap kepercayaan itu ilusi. Tapi orang dalam, yang meyakini, menganggapnya kebenaran mutlak.

Bukan Sekedar Bubarkan HTI dan FPI

Pemerintah secara resmi telah membubarkan organisasi HTI dan FPI karena dianggap radikal dan mengancam keutuhan NKRI. Namun, sebaiknya tidak sampai di situ, pemerintah melalui aparat keamanan seperti TNI/Polri bahkan harus melibatkan Intelegen Negara untuk mengawasi orang-orang yang pernah terlibat di dalamnya, karena dikhawatirkan mereka akan melakukan doktrin-doktrun “Soft Terorism”.

Dapat pula dilakukan pembinaan kepada para eks tokoh dan anggota HTI dan FPI agar kembali memiliki jiwa toleran, nasionalisme dan cinta NKRI. Namun jika tidak, mereka bias dideportasi atau dipenjarakan dengan tuduhan menebar paham radikalisme terorisme (buat UU nya jika belum ada).

Bukan hanya mereka yang pernah terlibat di HTI-FPI atau organisasi yang dianggap radikal lainnya, pemerintah juga harus menumpas tuntas para tokoh politik atau masyarakat yang kerap membuat pernyataan berupa provokativ fanatisme, menebar kebencian dan memancing aksi radikalisme.

Saya mendukung pernyataan Presiden Jokowi untuk menumpas tuntas aksi terorisme di Makasar sampai ke akar-akarnya. Tetapi harus lebih dari itu, cari tahu dan tumpas tuntas juga dalang atau “Pemesan” aksi tersebut (Kalau ada). Saya yakin ada tokoh “Peternak Teroris /Radikalis” di Indonesia, karena tak dapat ditampik bahwa ada kepentingan besar di balik aksi terorisme /radikalisme, bias kepentingan ekonomi ataupun politik.

HAM  Jadi Pedang Bermata Dua

Hak Asazi Manusia (HAM) saat ini dijadikan “Pedang Bermata Dua”, dua sisi yang berdampak positif dan negative. Para kelompok fanatisme radikalisme pun kerap memakai atas nama HAM untuk tameng mereka berlindung dari jeratan dan penegakan hukum.

Aksi intimidasi terhadap kaum minoritas dalam menjalankan ibadah agamanya, menutup rumah ibadah, aksi sweeping dan kekerasan adalah tindakan pelanggaran HAM yang sering dilakukan oleh FPI dan HTI. Namun mereka juga menggunakan HAM ketika organisasinya dibekukan oleh pemerintah, bahkan menuntut keadilan dengan ujaran kebencian kepada aparat pemerintah.

Ketika anggotanya terbunuh ditembak mati oleh aparat karena melawan, mereka protes dan meminta kasus tersebut diusut atas nama HAM. Pelanggar HAM memakai HAM untuk melindungi diri ketika dirugikan atau merasa terdesak.

Saya berharap pemerintah dalam mewujudkan keinginannya menumpas tuntas terorisme, baik Hard maupun Soft Terorism sampai ke akar-akarnya jangan terjebak dengan tameng HAM. Kemanan, kenyamanan dan menjaga keutuhan NKRI dengan semanagat nasionalisme harus diutamakan. Karena tidak mustahil kelompok-kelompok radikal yang ada di negeri ini merupakan “Kaki Tangan” asing menjaga kepentingannya di Indonesia. Mereka menciptakan HAM dan menjadikan HAM sebagai pedang bermata dua.

Saya yakin seyakin yakinnya mayoritas rakyat Indonesia mendukung upaya pemerintas dalam menumpas tuntas kelompok ataupun tokoh pelaku Hard terrorism dan Soft terrorism. Para kaum fanatisme radikalisme itu hanyalah minoritas di NKRI, bahkan sangat minoritas bila ditarik persentasenya dari total seluruh jumlah warga Indonesia, hanya saja suara mereka sangat nyaring.

Untuk meredam suara nyaring kaum ini, perlu kerja sama, kesadaran pelaku media (Jurnalis) untuk tidak membuat pernyataan mereka agar tak terdengar.

Tak dipungkiri, dan fakta nyata, kelompok fanatisme radikalisme yang merupakan bibit aksi terorisme ini juga punya media umum dan medsos. Mereka bahkan berani membayar iklan pemberitaan mereka di google ataupun media social umum. Ini harus diperhatikan dan ditumpas tuntas juga. Bila dianggap (dituntut) melangar HAM, abaikan saja, karena itu hanya dijadikan alas an untuk melindungi diri mereka, yang terpenting adalah NKRI harga mati dan dukungan mayoritas rakyat Indonesia yang masih waras.

Penulis:  Agus Riyanto Panjaitan      

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan