Sudah Disuarakan PGI dan Keluar PP Oleh Jokowi, Kaum Penghayat Masih Didiskriminasi

Jakarta, majalahspektrum.com – HARAPAN Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) terkait pemenuhan hak bagi kaum penghayat kepercayaan, terkabul lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2019 yang ditandatangani oleh Presiden RI, Ir, H, Joko Widodo.

Dalam Seminar Agama-agama (SAA) ke-35 PGI pada, Tanggal 3-5 Juli 2019 yang lalu di Kota Salatiga, Jawa Tengah diserukan permintaan kepada negara untuk dapat memenuhi hak-hak kelompok warga yang menganut agama Penghayat Kepercayaan. Seruan tersebut dimuat dalam rekomendasi di akhir acara.

Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2019, salah satunya mengakui dan mengatur tata cara pernikahan antar penghayat kepercayaan. Beberapa waktu sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui penghayat masuk dalam identtas di e-KTP.

Sebagaimana dikutip dari website jdih.setneg.go.id, Kamis (25/7/2019), PP Nomor 40/2019 itu ditandatangani Jokowi pada 23 Mei 2019. PP itu bernama Pelaksana UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Dalam Bab VI mengatur ‘Tata Cara Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’.

“Perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” demikian bunyi Pasal 39 ayat 1.

Pemuka penghayat yang dimaksud ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi tersebut harus terdaftar di kementerian terkait.

“Pencatatan perkawinan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 hari setelah dilakukan perkawinan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” demikian bunyi Pasal 40 ayat 1.

Syarat administrasi yang harus dipenuhi adalah: Mengisi formulir pencatatan perkawinan, Pasfoto suami dan istri dan Akta Kelahiran. Dokumen perjalanan luar negeri suami dan/atau istri bagi orang asing.

Setelah itu, pejabat terkait mengeluarkan kutipan akta perkawinan. “Kutipan akta perkawinan diberikan masing-masing kepada suami dan istri,” demikian bunyi pada 40 ayat 2 huruf e.

Sebelumnya, dalam sesi Lokakarya Seminar Agama-agama ke-35 PGI di Kota Salatiga, Jawa Tengah, mendiskusikan ragam topik oleh para peneliti di antaranya mengangkat topik kehidupan warga penghayat kepercayaan di Nusantara. Warga penghayat sebagai pemeluk agama lokal menerima diskriminasi pelayanan oleh negara, khususnya degan diberlakukannya UU No.23/2013 tentang Administrasi kependudukan.

Meski sudah dikabulkan Judicial Reviewnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan PP yang ditandatangani Presiden Jokowi, kolom agama pada KTP warga penghayat masih saja diberi tanda strip padahal seharusnya ditulis dengan Penghayat Kepercayaan, dan dalam praktik kehidupan sehari-haroi masih saja diperlakukan diskriminatif. Sperti saat mencari pekerjaan hingga saat meninggal dunia.

Fakta di kehidupan, kelompok pengahyat kepercayaan, yang merupakan agama budaya lokal ini, tidak memperoleh hak-hak sipilnya seperti; pengurusan akta lahir, akta nikah dan pemakaman jenazah.

Untuk diketahui, mereka-mereka yang disebut sebagai kelompok agama penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan agama kepercayaan lokal warisan budaya, diantaranya; Sunda Wiwitan (Jawa Barat), Kejawen (Jawa) dan Parmalim (Batak, Sumut). (ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan