Pernyataan PGI dan Kemenag Terhadap Penolakan Pembangunan Gereja di Cilegon

Jakarta, nmajalahspektrum.com – BEREDAR vidio viral Wali Kota dan Wakil Wali  Kota Cilegon kompak ikut menandatangani petisi menolak pembangunan gereja di wilayah administrasinya pada selembar kain kafan yang dibawa gerombolan massa yang menolak ada pembangunan gereja di kota Cilegon.

Terkait hal itu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bereaksi dengan mengeluarkan surat pernyataan sikap. Dalam siaran persnya yang diterima redaksi, Jumat (9/9/2022), PGI mengecam keras aksi penolakan pembangunan gereja tersebut.

Menurut PGI, peristiwa itu membuktikan bahwa dampak politik identitas semakin mengkhawatirkan dan mengancam jalinan keragaman yang wajib disyukuri sebagai anugerah Tuhan bagi bangsa ini.

“Sungguh mengenaskan bahwa di tengah berbagai bencana yang melanda negeri ini, dan menuntut diperkuatnya solidaritas kebangsaan, masih saja ada kelompok-kelompok masyarakat yang menyakiti saudara sebangsanya,” kata Kepala Humas PGI, Jerry Sumampouw dalam surat pernyataan PGI yang diterima.

Dalam pernyataan sikapnya, PGI mengatakan bahwa peristiwa itu sangat mencederai amanat Konstitusi RI yang memberikan garansi kesetaraan bagi setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah secara bebas, menurut agama dan keyakinan yang dianutnya. Berhadapan dengan situasi ini, kehadiran pemerintah mutlak diperlukan, sehingga tidak terkesan membiarkan jiwa konstitusi dilecehkan di hadapan para penguasa daerah.

Bahwa, peristiwa itu sangat berlawanan dengan semangat Moderasi Beragama yang sedang diarus-utamakan pada semua level pemerintahan dan masyarakat. juga sangat bertentangan dengan nilai-nilai Gerakan Nasional Revolusi Mental yang tengah digalakan oleh pemerintah.

Kepada umat Kristen PGI menganjurkan untuk tetap mengedepankan nilai-nilai kasih dalam menyikapi peristiwa penolakan pendirian gereja di Cilegon.

“Hendaklah kita tidak goyah di dalam iman dan keyakinan kita, juga tidak terjebak di dalam kebencian dan dendam, serta generalisasi yang keliru, namun “bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain, dan terhadap semua orang” (Band. I Tes 3: 11-13),”

Sementara, merespons langkah Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta yang menandatangani penolakan pendirian gereja di sebuah kain putih, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Wawan Djunaedi menilai Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tahun 1975 yang dijadikan dasar penolakan pendirian gereja oleh warga Cilegon, Banten, sudah tidak relevan lagi.

Sebagai informasi, ketika Cilegon masih menjadi bagian dari Serang, Bupati Serang pada 1975 sempat mengeluarkan Keputusan Bupati Nomor 189/Huk/SK/1975 tanggal 20 Maret 1975 tentang penutupan gereja/tempat jemaat bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang. SK ini yang kemudian diduga menjadi dalih penolakan warga atas pembangunan gereja di Cilegon.

Wawan menjelaskan setidaknya ada tiga faktor SK bupati itu sudah tak relevan lagi. Pertama, regulasi tersebut diterbitkan pada saat komposisi penduduk muslim daerah Cilegon sebesar 99 persen, sebagaimana disebutkan pada konsideran menimbang pada SK Bupati dimaksud.

Di sisi lain, kata Wawan, situasi kota Cilegon sekarang sudah berubah. Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, komposisi umat Kristen di Cilegon telah mencapai 16.528.513, sementara umat Katolik mencapai 6.907.873.

“Jumlah tersebut setara dengan 9,86 persen. Sementara komposisi umat non-muslim secara keseluruhan mencapai 12,82 persen. Bertumpu pada data jumlah penganut agama Kristen di atas, tentu ikhtiyar untuk pendirian rumah ibadah sudah memenuhi kebutuhan nyata,” kata Wawan seperti dilansir dari laman cnnindonesia.com, Jumat (9/9/2022).

Faktor kedua, lanjut Wawan, konsideran ‘menimbang’ SK Bupati tahun 1975 juga merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 yang keberadaannya sudah dicabut. Aturan itu telah digantikan dengan PMB Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

“Dalam hukum, ada asas lex posterior derogat legi priori, yakni hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama. Yang berlaku saat ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006,” terang Wawan.

Faktor ketiga, Wawan mengatakan SK Bupati tahun 1975 diterbitkan dalam konteks merespons Perguruan Mardiyuana sebagai bangunan, bukan rumah ibadah. Sementara pada waktu itu, Perguruan Mardiyuana dipergunakan sebagai gereja. Oleh karenanya, penganut agama Kristen diarahkan untuk menunaikan ibadah di gereja-gereja yang ada di Kota Serang.

Wawan mengaku sudah bertemu dan mendiskusikan persoalan ini dengan Wali Kota Cilegon pada April 2022. Kemenag mengimbau Pemerintah Kota Cilegon memedomani Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

“Kami juga mengajak FKUB sebagai lembaga kerukunan umat beragama dan seluruh komponen masyarakat untuk kembali berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tandasnya.

Terkait pendirian rumah ibadah, Wawan meminta Kepala Daerah seharusnya merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PMB) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yakni harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

“Jadi, tidak ada alasan apapun bagi kepala daerah untuk tidak memfasilitasi ketersediaan rumah ibadat ketika calon pengguna telah mencapai 90 orang,” kata Wawan. (ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan