Menelisik Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Cilegon

Investigasi Berita, Cilegon, majalahspektrum.com – JAMINAN hak atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia ibarat panggang jauh dari api. Aksi-aksi intoleran masih kerap terjadi, dan yang teranyar menimpa jemaat HKBP Maranatha, Cilegon, Banten. Mirisnya Walikota dan Wakil Walikota Cilegon, yang notabene adalah aparatur pemerintah, justru ikut mendukung dengan menandatangani kain putih sebagai tanda penolakan berdirinya gereja, dengan alas an tekanan massa.

Padahal dalam konteks Indonesia, sejak berlakunya UUD 1945, rumusan Pasal 29 ayat (2) telah menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Amandemen UUD 1945 kemudian mengatur lebih jelas tentang kewajiban negara terhadap HAM maupun kebebasan beragama berkeyakinan. Pasal 28I ayat (4) mengatur perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Pasal ini menjadi sumber komitmen Indonesia terhadap HAM dan juga asal usul kewajiban Pemerintah.

Lebih lanjut Pasal 28I ayat (5) menyatakan untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini adalah turunan dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya, berjalannya negara diatur dan harus sesuai dengan hukum.

Menilik Banten, khususnya Kota Cilegon, memang salah satu daerah yang sulit untuk mendirikan rumah ibadah bagi penganut agama lain, terkhusus gereja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute pada 2021, Cilegon menempati urutan ketiga sebagai kota yang tidak toleran. Ada tiga hal yang mendasari penilaian ini, yaitu adanya aturan daerah yang diskriminatif, tidak berfungsinya fungsi sosial masyarakat, dan tidak berjalannya fungsi pemerintah daerah.

Sementara itu, mengutip artikel yang berada di laman kemenag.go.id, berjudul Mengurai Polemik Penolakan Pendirian Gereja di Cilegon, catatan sejarah dari tahun 1994 saat terjadinya tindakanan anarkis terhadap tempat ibadah umat Kristen HKBP dan pembongkaran Gereja Advent membuat tak ada satu pun tempat ibadah berupa gereja di wilayah tersebut hingga saat ini.

Banyak pendapat mengungkapkan, apa yang terjadi di Cilegon tidak terlepas dari faktor yang melatar belakanginya, semisal dari sisi demografis. Data Direktorat Jenderal Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, jumlahpenduduk Banten sebanyak 11,79 juta jiwa pada Juni 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 11,12 jutajiwa (94,82%) atau mayoritas penduduk provinsi paling Barat di Pulau Jawa tersebut beragama Islam.

Kemudian Kristen menjadi agama mayoritas kedua dengan jumlah pemeluk sebanyak 308,94 ribu jiwa atau 2,62% dari penduduk Banten. Berikutnya, 143,32 ribu jiwa (1,22%) beragama Katholik, 141,64 ribu jiwa (1,2%) beragama Budha, 8,47 ribu jiwa (0,07%) beragama Hindu, 2,22 ribu jiwa (0,02%) Bergama Konghucu, dan yang menganut aliran kepercayaan 6,54 ribujiwa (0,06%).

Sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 43 gereja di Provinsi Banten pada 2021. Rinciannya, ada 28 gereja Protestan dan 15 gereja Katolik. Dari 8 kabupaten /kota di provinsiini, hanya Kota Cilegon yang tidak ada gereja, baik gereja umat Kristen maupun umat Katolik. Sehingga umat Katolik dan Protestan yang akan beribadah harus ke wilayah lain.

Kabupaten Tangerang tercatat paling banyak memiliki gereja, yakni ada 10 gereja dengan rincian 7 gereja Protestan dan 3 gereja katolik. Kemudian, Kabupaten Pandeglang yang memiliki 8 gereja, semuanya merupakan gereja Protestan.

Sementara di Kabupaten Lebak juga ada 8 gereja dengan rincian, 7 gereja protestan dan 1 gereja Katolik. Kota Tangerang terdapat 6 gereja dengan rincian, 1 gereja protestan dan 5 gereja Katolik. Kemudian di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) terdapat 5 gereja, semuanya merupakan gereja Katolik. Sedangkan di Kabupaten Serang terdapat 4 gereja, semuanya merupakan gereja Protestan. Lalu di Kota Serang ada 2 gereja, masing-masing 1 gereja protestan dan 1 gereja Katolik.

Khusus di Cilegon, masih menurut data Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, ada 455,72 ribu jiwa (97,64%) penduduk Kota Cilegon yang beragama Islam. Artinya, mayoritas penduduk kota ini adalah muslim. Terdapat pula 7 ribu jiwa (1,54%) penduduk Kota Cilegon yang beragama Kristen, ada 1,82 ribu jiwa (0,4%) memeluk agama Katolik, sebanyak 1,68 ribu jiwa (0,37%) beragama Buddha, sebanyak 244 jiwa (0,05%) beragama Hindu, serta 10 jiwa (0,0%) beragama Konghucu.

Dari sisi historis, memori kolektif masyarakat Cilegon masih sangat kuat dengan peristiwa Geger Cilegon yang terjadi pada Juli 1888. Peristiwa ini terjadi sebagai respons terhadap perjuangan para petani yang dipimpin oleh Haji Wasjid. Pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda menerjunkan 5000 tentara dari Batavia untuk menumpas para pejuang yang hanya berjumlah 100 orang.

Dalam peristiwa ini, semua guru agama dan haji ditangkap, disiksa, dibuang, dan diasingkan ke Sulawesi dan Maluku. Bahkan banyak yang dibunuh. Pemerintah colonial bersikap keras terhadap ekspresi keagamaan guru dan ulama. Snouck Hurgronje mengkritik keras sikap pemerintah ketika itu. Kondisi ini terekam turun temurun hingga kegenerasi sekarang seperti “Dosa Warisan” yang bagi mereka, Belanda identik dengan Kristen, Kristen adalah penjajah yang memusuhi Islam.

Namun, jika melihat pejuang kemerdekaan se-Indonesia, dalam membunuh para pejuang, Belanda tidak memilih-milih agama apa, banyak juga para pejuang kita beragama Kristen, Hindu, Budha, Agama Keyakinan Lokal dan lainnya. Dan di banyak daerah lain selain Cilegon juga banyak pejuang agama Islam dari para Kiayi dan ulama terbunuh oleh Belanda namun tidak mewariskan “Dosa Turunan” fanatisme agama, Pangeran Dipenegoro misalnya. Lagipula, Geger Cilegon terjadi pada Tahun 1888, jauh sebelum Indonesia merdeka dengan dasar Negara Pancasila dan UUD’45.

Selain Geger Cilegon, ada juga peristiwa historis di sekitaran tahun 1974-1978 ketika Krataul Steel berdiri di Cilegon. Pemerintah Orba sangat terbantu dengan kesediaan pimpinan Pondok Pesantren Al-Khairiyah memindahkan Pesantrennya dari area perluasan Krakatau Steel. Ini bukan perkara mudah ketika itu, meski dengan rejim Suharto yang otoriter.

Pada 1970 PT. Krakatau Steel  berdiri berdasarkan PP 35/1970 dengan maksud untuk menyelenggarakan penyelesaian pembangunan proyek baja Trikora serta mengembangkan industry baja dalam arti luas. Pada 1973 berupaya Krakatau membebaskan lahan lagi seluas ±1.588,103 Ha2, dan itu berarti banyak desa, termasuk Kampung Citangkil, lokasi Pondok Pesantren Al-Khairiyah. Alamsyah Ratu Perwiranegara berkali-kali diutus oleh Suharto untuk menemui pimpinan pesantren tersebut.

Walau semula sulit, kesediaan pesantren ini memungkinkan pemerintah bisa memindahkan beberapa desa lainnya. Dalam berbagai argumentasi lisan, pimpinan Pesantren ini selalu berkata bahwa pada saat pemindahan itu ada kesepakatan antara Pimpinan Pesantren dan Pemerintah serta PT Krakatau Steel, bahwa gereja tidak bisaberdiri di Cilegon. Cilegon akan tetap menjadi kota Islami sebagaimana sebelumnya.

Ujung dari kesepakatan tersebut, Bupati Serang mengeluarkan SK Nomor 189/Huk/SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975, tentang Penutupan Gereja /Tempat Jemaah bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang dimana tidak noleh ada Gereja di Cilegon yang saat itu masih dalam otoritas wilayah Kabupaten Serang. Itu sebabnya Gereja bagi umat kristiani untuk beribadah dilokasikan di wilayah jauh dari Krakatau Steel atau Cilegon yakni di wilayah Kabupaten Serang saat ini. Dan terakhir terkait Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri (PBM) no 9 dan 8 tahun 2006 terkait syarat pendirian rumah ibadah.

Penelusuran KBB di Cilegon

Memotret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Cilegon, selama dua hari berturut-turut (24-25/9/2022), bersama Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP), Yakoma PGI, majalahspektrum.com mewawancarai warga, diskusi secara terpisah dengan komunitas interfaith seperti Jaringan Gus Durian Banten, Ahmadiyah, juga perwakilan gereja.

“Sejak dahulu masyarakat Cilegon memelihara kerukunan, termasuk dengan pendatang, tapi memang ada orang atau kelompok tertentu yang belum bisa menerima, seperti yang terjadi di Kelurahan Gerem, penolakan terhadap HKBP CIlegon, yang dilakukan bukan dari keseluruhan warga. Memang sangat membingungkan, terlebih melibatkan aparat pemerintah daerah,” ujar Kang Latif dari Gusdurian Banten.

Menurut Latief warga kota Cilegon yang diakenal sangat ramah dan santun, terbuka kepada warga pendatang. Kalaupun ada warga yang intoleran itu Sebagian kecil saja dan bagi dia itu adalah oknum saja.

“Semua tergantung pemimpinnya. Ya bersabar saja sampai ada keinginan baik dan keberanian dari pemimpinannya saja,” kata Latief.

Adapun pemimpin yang dimaksud oleh Latief bukan cuman pemimpin pemerintahan tetapi juga pemimpin masyarakat (tokoh masyarakat) dan pemimpin keagamaan yang ada di Cilegon.

Lagi menurut dia, yang menjadi “Pekerjaan Rumah” sekarang ini adalah bagaimana membangun jembatan yang dapat menyatukan diantara penganut agama di Cilegon. Hal ini bisa dilakukan diantaranya mempererat silaturahmi dan membangun hubungan kekeluargaan dalam berinteraksi sosial kemasyarakatan.

“Harus pelan-pelan karena masyarakatnya lemah lembut. Selain itu perlunya pendekatan kepada masyarakat, jangan hidup mengeksklusivekan diri di masyarakat,” katanya.

Lebih jauh dijelaskan, faktor sejarah memang kerap dijadikan alasan untuk penolakan pendirian rumah ibadah. Selain itu, faktor politik dan dinasti penguasa Banten kerap bergesekan dengan kehidupan KBB. Meski demikian, Latif optimis, seiring berjalannya waktu, semua rumah ibadah bisa dibangun di daerah yang dijuluki sebagai kota baja ini. Selain membangun jembatan, yang juga dibutuhkan kesabaran, serta pentingnya mencari formula yang tepat.

“Saya kira solusinya adalah pendekatan kepada masyarakat, tidak ekslusif. Hal ini juga ditekankan dalam pertemuan tanggal 18 September di Serang, yang dihadiri para aktifis dan lintas agama menyikapi kasus HKBP di Cilegon,” ujarnya.

Apa yang disampaikan Latif juga diamini Ferdias dari Jemaat Ahmadiyah. Pria yang mengaku asli warga Cilegon, yang setelah merantau kini tinggal menetap kembali di Cilegon ini melihat, adanya komunikasi yang baik, terlebih dalam rangka membangun rumah ibadah memang sangat dibutuhkan. Menurutnya tidak akan ada aksi intoleransi jika diawali dengan relasi yang baik.

“Betul faktor sejarah masih memiliki pengaruh terhadap KBB. Di sini momen peristiwa Geger Cilegon masih diperingati. Maka yang diperlukan adalah bagaimana kita membangun jembatan agar tercipta relasi yang baik dari setiap penganut agama. Jadi membangun jembatan yang dapat menyatukan sangatlah penting,” terang Kang Dias, panggilan akrab Ferdias yang mengaku tidak pernah mendapat cerita “Dosa Warisan” dari orangtua maupun kakeknya.

Menyinggung perlunya relokasi tempat ibadah sebagai alternatif, yang perlu disiapkan pemerintah daerah, menurut Dias ini juga penting dilakukan sebagai perwujudan pemenuhan hak masyarakat untuk beribadah. Namun, dia menekankan pentingnya membangun relasi yang baik.

Baik Latif maupun Dias sepakat pendekatan kultural kepada masyarakat perludi lakukan, semisal melalui festival-festival budaya yang ada di Cilegon, maupun lewat kegiatan olahraga.

“Kalau hubungan kita baik, hati masyarakat sudah tersentuh, jangankan ijin membangun rumah ibadah, mereka bahkan bias turut serta berpartisipasi membangun. Sebab itu, menjadi tugas kita semua untuk saling menasehati dalam kesabaran, sama-sama menahan diri, dan sebanyak-banyaknya melakukan kebaikan, niscaya perwujudan KBB di Cilegon dapat terwujud,” papar Dias.

Menurut Dias, UUD’45 saja bisa diamandemen apalagi SK Bupati Serang di tahun 1975 pun Perjanjian antara PT. Krakatau Steel dengan Pesantren Al’Khairiah yang tidak diketemukan bukti tertulisnya.

Sementara, beberapa warga (nama disamarkan guna kebaikan narasumber) yang dapat dimintai pendapatnya seperti, Tika, seorang karyawan swasta di tengah Kota Cilegon ini berpendapat bahwa berbaur, dan menghormati adat istiadat masyarakat setempat penting dilakukan oleh pendatang. Perempuan kelahiran 1998 ini yakin jika hal tersebut dilakukan, apapun yang akan diperbuat termasuk membangun rumah ibadah, tidak akan mendapat hambatan.

Demikian pula komentar Nisa, salah seorang pedagang makanan di sekitar Masjid Agung Cilegon atau Masjid Nurul Ikhlas, di Jalan Jombang Masjid No.1, Jombang Wetan, Kec. Jombang, Kota Cilegon, Banten.

“Saling menghargai, menghormati penting sekali. Juga ada agama mu…agama mu, agama ku….agama ku, menurut saya penting untuk dihormati supaya bias hidup rukun,” jawabnya singkat.

Juru parkir di dalah satu mini market, Luzan (58 thn) mengatakan tidak masalah adanya gereja yang berdiri di Cilegon.

“Orang mau beribadah ke Tuhan kenapa dilarang, itu tempat dugem aja diperbolehkan. Lagipula, yang saya pahamai dari pengalaman saya berkelana ke Jakarta dan daerah lain, biasanya kalau ada gereja di situ jadi ramai, akan ada peluang ekonomi, Parkiran kendaraan, sekuriti dan warung pasti ada,” kata pria, warga asli yang leluhurnya sudah tinggal di Cilegon Ini.

“Dulu tanah tenpat mini market ini berdiri adalah tanah orangtua saya, pun tanah yang di seberang sana. Orangtua dan kakek saya punya tanah 5000 hektar di sisni,” sambung kakek 2 cucu ini sembari menunjuk tanah kosong di seberang jalan.

Ibu Eman pedagang makanan di desa Sumur Wuluh tidak masalah ada gereja, dia mencontohkan di kampung asalnya, Masjid dan gereja berdiri berdampingan. Ia mendukung ada gereja di Cikeusih karena bagi ibu Eman yang menikah dengan warga asli situ dan beragama muslim, orang beribadah jangan dihalangi.

Masih dari Desa Sumur Wuluh, Kelurahan Gerem, Dian (30 Tahun), yang rumah tidak jauh dari lokasi bakal berdirinya gereja HKBP Maranatha dengan tegas mengatakan, KBB bisa terwujud  jika komunikasi dan sosialisasi dilakukan dengan baik kepada masyarakat. Ibu Rumah Tangga yang asli warga pribumi Cilegon ini mengaku tidak alergi dengan keberadaan rumah ibadah lain seperti gereja.

Terkait adanya pemberian uang dalam rangka tandatangan persetujuan pembangunan HKBP Maranatha Cilegon, Dian membenarkan hal tersebut. Menurutnya, sekitar 5 orang yang menerima, namun karena sudah terendus pihak Kelurahan, dan akhirnya memperkarakan hal ini. Dian tidak mengatahui dari pihak mana yang membagi-bagikan uang tersebut.

Selain itu, menurut Dian pihak HKBP Maranatha tidak melakukan sosialisasi terkait pembangunan gereja. Hal serupa juga disampaikan Hajah Inah (76). Sosialisasi pembangunan gereja tidak disampaikan ke warga sekitar dengan menemui warga secara langsung namun melalui perantara dan berupa perwakilan saja.

Sementara, menurut Pendeta HKBP Maranatha Cilegon, Pdt, H. Marbun, lahan bakal pembangunan gereja HKBP Maranatha bersertifikat atas nama gereja HKBP Serang. Tanah tersebut hasil ruslah dengan PT. Nusa Raya Mandiri Makmur yang difasilitasi oleh Wali Kota Cilegon pada saat itu TB.Aat Syafaat Tahun 2006. Kala itu, Aat yang merupakanWali Kota Cilegon pertama itu menegaskan bahwa lahan itu bisa digunakan untuk gereja HKBP. Penegasan itu tertuang dalam surat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh pihak Pemkot, gereja HKBP dan perwakilan masyarakat sekitar.

“Jadi sejak awal warga dan Pemkot sudah tahu bahwa tanah itu bakal gereja, sertifikat tanah atas nama gereja,” kata Pdt, Marbun yang ditemui tengah bersama salah seorang penatua gerejanya di sebuah Lapo (Rumah Makan khas Batak) di perbatasan Kota Cilegon dengan Kabupaten Serang, Selasa (25/9/2022).

Bahkan, lanjut Pdt, Marbun, yang menunjukan lahan itu adalah seorang warga masyarakat di situ, orang tersebut masih ada dan tinggal di sekitar lahan itu. Namun sayangnya orang tersebut tidak turut menandatangani surat dukungan pendirian gereja di lahan itu terkait syarat PBM.

Menurut Pdt, Marbun dan penatua gereja, sosialisasi sudah mereka lakukan ke masyarakat sejak Tahun 2006. Saat hari-hari besar keagamaan umat Islam, seperti Idu lAdha, pihak gereja kerap memberikan sumbangan hewan kurban.

“Kita juga sering bagi-bagi sembako, memang tidak hanya kepada warga sekitar lokasi bakal pembangunan gereja,” kata Pdt, Marbun yang dibenarkan oleh penatua yang mendampinginya saat diwawancara majalahspektrum.com.

Pada saat hendak membangun gereja, pihak gereja HKBP, kata Pdt, Marbun, melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang ada di desa Cikuasa, Sumur Wuluh dan Kalibaru di Kelurahan Gerem

“Kita kirimkan surat rencana sosialisasi dan saat sosialisasi kita kasih pemahaman kepada warga yang hadir tentang niatan kami membangun gereja bukan Gedung yang lain di lahan itu. Memang kita koordinasi dengan pihak RT, dan RT mengutus beberapa orang saja mewakili warga saat sosialisasi,” terang Pdt. Marbun.

Lanjut Pdt, Marbun, jika memang sekarang ini gereja tidak bisa dibangun di Cilegon, harusnya pemerintah setempa memfasilitasi, menyediakan tempat bagi warganya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya karena beribadah itu adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi.

“Kalau memang dilarang berdiri gereja disitu, ya pemerintah berkewajiban memberikan tempat, dimana pun itu untuk kami beribadah karena itu hak asasi manusia yang tidak bisa dihalangi. lalu bagaimana nasib hak beribadah 3 ribuan warga kami, ini khan juga untuk pembentukan moral yang baik sebagai warga masyarakat,” kata Pdt, Marbun.

Baca Juga ; (Unik, di Cilegon ada FKUB Tetapi Tak Ada Rumah Ibadah Lain Selain Islam)

Sebelumnya, tim investigasi mendatangi area lahan tempat gereja HKBP Maranatha hendak dibangun. Di lokasi itu, tim melihat plang bertuliskan “Tanah Ini Milik HKBP Maranatha Cilegon dengan nomor sertifikat Tanah : 28.06 01.04.3.00147 Luas Tanah 3915 meter. Dilarang mengelola tanah ini tanpa seizin pemilik”. Gerbang yang terbuat dari seng lebar lima meter tersebut, digembok dengan menggunakan rantai. Sebuah kejanggalan terlihat, dua meter dari gerbang lokasi gereja tersebut ada bangunan rumah makan berdiri. Menurut pemilik rumah makan tersebut, tempat tinggal dan sekaligus tempat usahanya sudah berdiri sejak lama sekali. Dan, pihaknya merasa terganggu /tidak setuju dengan adanya rumah ibadah.

Dari hasil pengamatan, lahan tersebut berada di pinggir jalan utama menuju pelabuhan Merak. Sepanjang jalan itu, radius 100 M sebelum dan sesudah areal bakal gereja banyak usaha bengkel, tambal ban dan rumah makan yang mayoritas adalah orang Batak. Bahkan ditemui sebuah rumah Sekretariat Ormas Pemuda Batak Bersatu (PBB), 100 M sebelum area bakal gereja dari arah Pusat Kota Cilegon.

Di samping areal bakal gereja ada pemukiman warga sekitar 30-an KK. Di belakang areal bakal gereja sebuah bukit tinggi 20 M-an yang di baliknya ada pemukiman warga padat (Desa Sumur Wuluh dan Kalibaru).

Salah seorang warga, yang kebetulan pendatang orang Batak tidak mau berkomentar tentang persoalan penolakan gereja HKBP di situ. Dalam bahasa Batak yang dimengerti oleh majalahspektrum.com ia berkata “Kami tidak bisa bicara apapun,” katanya tanpa menoleh dipenuhi rasa kekhawatiran dan takut.

Lalu, muncul seseorang yang mengaku eks pengurus FPI Cilegon yang duduk di atas motor. Orang tersebut langsung melontarkan pertanyaan kepada kami yakni; datang darimana dan agama apa, dengan nada tinggi. 5-10 menit ngobrol ngalurngidul dahulu, akhirnya orang tersebut mengajukan penawaran untuk bekerja sama dalam mengurus ijin berdirinya gereja.

“Bagusnya bekoordinasi  dengan ormas saja bang. Kita siap berkoordinasi jika ada dibutuhkan,” katanya mengakhiri pembicaraan kami.

Sementara dari sisi pemerintah daerah dan tokoh masyarakat, tim tidak melihat adanya upaya penyadaran dan pencerahan tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan kepada masyarakat Cilegon. Tidak adanya keinginan dari pemimpin tersebut membuat sulitnya ada rumah ibadah umat beragama lain selain Islam di Cilegon. Ini tentu sudah melanggar Pancasila dan UUD’45 yang merupakan dasar dan faslsafah hidup bangsa, NKRI.

FKUB dan pihak Pemkot serta MUI tak bersedia kami temui dengan alasan sedang “Cooling Down” akibat viralnya berita kemarin soal penolakan berdirinya gereja oleh warga dan Wali Kota serta Wakilnya yang bertandatangan dalam sebuah kain kafan. (ARP/Tim)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan