Ada Seruan “Hentikan Segera Pelanggaran HAM dan Pembodohan di KDT” di Pelantikan Pengurus YPDT dan Diskusi HAM

Jakarta, majalahspektrum.com – PELANTIKAN pengurus baru Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT) periode 2021-2026 ditandai dengan diskusi dalam rangka memperingati “Hari HAM dunia” bertajuk; ”Peran Negara Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Kawasan Danau Toba (KDT) yang Berkeadilan dan Berkeadilan Lokal”.

Bertempat di Klub Eksekutif Persada, Jl, Raya Protokol Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (10/12/2022) petang, Drs, Maruap Siahaan kembali terpilih dan dilantik sebagai Ketua Umum YPDT. Sedangkan diskusi menghadirkan Menteri Hukum dan HAM sebagai Keynote speaker. Adapun para pematik diskusi yang dimoderatori oleh pengacara kondang Sandi Ebenezer Situngkir, S.H, M.H yakni; Jimy Pandjaitan dari Dirut BPODT, Mantan Hakim Konstitusi dan Rektor UKI Dr, Maruarar Siahaan, S.H, Sekjend AMAN Rukko Sambolinggi dan mantan Komisioner Komnas HAM Johny Nelson Simanjuntak.

Mengawali kata sambutannya, Ketua Umum YPDT, Maruap Siahaan berseru “Hentikan Segera Pelanggaran HAM dan Pembodohan di Kawasan Danau Toba”. Menurut Maruap, YPDT berkegiatan istimewa tepat di hari HAM sedunia sekarang tentu bukan kebetulan melainkan hasil perencanaan matang. Momen ini sengaja dipilih untuk mengingatkan khalayak luas di saat yang tepat bahwa di kawasan Danau Toba pun pelanggaran HAM masih saja marak hingga detik ini. Korbannya? Terutama warga setempat yang menolak dan menentang kesewenang-wenangan kekuasaan besar yang terus-menerus menggagahi alam.

“Mereka ini ada yang terusir kemudian dari tanah leluhurnya. Ada pula yang dianiaya dan bahkan dipenjarakan. Ini hal yang yang sangat bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM yang diumumkan Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948,” katanya.

Sementara, menurut catatan AMAN, dalam 5 tahun terakhir telah terjadi 301 perampasan wilayah adat yang berdampak pada; 672 kasus kriminalisasi kepada masyarakat adat yang mempertahankan tanah leluhurnya seluas 8,7 juta hektar. Hal itu terjadi karena ada peruntukan perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, dan pembangunan proyek infrastuktur.

“Pelibatan Polisi dan TNI dalam kasus perampasan wilayah adat selalu berakibat pada intimidasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat,” kata Sekjend AMAN, Rukko Sambolinggi.

Menurut Rukko, ada 4 hal yang menjadi pemicu konflik agraria yang dihadapi Masyarakat Adat di Tano Batak saat ini yakni; Klaim Kawasan Hutan Negara, PT. TPL, BPODT, dan Food Estate.

Pada kesempatannya, mantan Komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak mengatakan, KDT dipandang cocok untuk menghadirkan wisatawan. Kemudian terjadi transaksi jualbeli tanah yang tidak dapat dikendalikan. Semakin lama, lahan sekitar Danau Toba dikuasai oleh pemilik Modal bukan oleh warga masyarakat sekitar.  Pada saat tertentu masyarakat sekitar tidak lagi memiliki tanah. Karena nilai ekonomi tanah semakin tinggi dan dibutuhkan banyak pemodal maka rebutan pengakuan atas bidang tanah oleh masyarakat Kawasan Danau Toba pun, makin terpacu.

“Sehingga konflik pertanahan muncul marak. Pada satu saat, konflik pertanahan sampai ke Pengadilan. Dalam proses peradilan yang buruk maka hak memperoleh keadilan, sirna,” kata Jhony.

Konservasi Kawasan Danau Toba, lanjut Jhony, tentu saja arus didukung. Akan tetapi jika konservasi yang dilaksanakan tidak melibatkan masyarakat kawasan Danau Toba, hal itu akan menimbulkan masalah. Apalagi jika rancangan konservasi itu diperluas dengan gagasan melayani kepentingan komersialisasi Kawasan Danau Toba, permasalahan pun akan makin melebar. Misalnya kebutuhan lokasi strategis untuk fasilitas mendatangkan kwantitas wisatawan yang lebih tinggi yang berbenturan dengan penguasaan lahan secara tradisional oleh masyarakat sekitar Kawasan.

“Maka muncullah penggusuran. Perlawanan terhadap penggusuran timbul. Kemudian perlawanan itu, dilindas oleh aparat keamanan atau ketertiban. Maka Hak untuk menyatakan pendapat bias tarhapus oleh peristiwa yang berlarut-larut,” jelasnya.

Untuk memastikan bahwa masyarakat sekitar Kawasan Danau Toba menikmati keadilan, kata dia, diperlukan setidaknya dua hal yaitu pertama, adanya kebijakan negara/pemerintah yang mengafirmasi keberadaan, peranan dan fungsi masyarakat sekitar Danau Toba. Dengan kata lain, masyarakat sekitar Danau Toba harus dipromosikan secara massive dan terus menerus untuk mampu memainkan peranan dan fungsi utama dalam pengelolaan/pemanfaatan  Danau Toba baik untuk maksud pelestarian maupun untuk maksud pengembangan ekonomi.

Kedua, perlu ada kebijakan yang menghentikan laju pemindahan hak milik atas tanah penduduk local kepada pemilik modal. Pemerintah setempat yang bersentuhan dengan prospek pengembangan daerah komersil di kawsan Danau Toba perlu menerbitkan kebijakan yang membatasi pemindahan hak milik atas tanah dan menjalankan program pengembangan kapasitas masyarakat Kawasan Danau Toba agar mampu menjadi pemain utama dalam persaingan ekonomi yang akan muncul pada KDT.

“Dua kebijakan yang berorientasi pada pemastian bahwa masyarakat sekitar Danau Toba tidak akan berubah menjadi penonton dalam perjalanan Danau Toba sebagai kawasan ekonomi, adalah kebijakan payung pengaman yang harus disediakan sebelum hadirnya masalah rumit sebagai turunan dari kebijakan yang abai terhadap HAM,” ungkapnya.

Lagi kata Jhony, pertanyaan yang menjadi agenda aktivitas lanjutan adalah apakah Pemerintah Kabupaten Kawasan Danau Toba memiliki persepsi dan komitmen yang sama dengan kita yang sedang mendiskusikan pengelolaan Kawasan Danau Toba yang mensejahterakan masyarakat sekitar? harapannya, semoga demikian adanya. (ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan