Jakarta, majalahspektrum.com – KUASA Hukum Lily selaku anak kandung dan ahli waris dari amih Widjaja, Suko, S, Pakpahan, S.H., M.H., CPCLE menduga ada “Mafia Tanah” berkedok Agama di kasus sengketa tanha dan bangunan di Komplek Perumahan Green Garden O 4 No. 16 Kelurahan Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat.
“Ada perampasan dan pemalsuan atas sertifikat hak guna bangunan nomor :07465/Kedoya Utara atas nama; Amih Widjaja,” kata Suko Pakpahan di kantor hukumnya di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Selasa (27/12/2022) petang.
Kata Suko, berdasarkan Putusan Pra Pradilan No 16/Pid. Pra 2022/PN. Jkt. Barat. Pada pertimbangan putusan pra preradilan Termohon (Penyidik) menyatakan, bahwa asal usul dari tanah dan bangunan seluas 371 M2 yang letaknya di Komplek Perumahan Green Garden O 4 No. 16 Kelurahan Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat, dibeli oleh Amih Widjaya, ibu dari Lily klien dari pengacara Suko, S, Pakpahan, S.H., M.H., CPCLE. Dibeli dari PT. Taman Kedoya Barat Indah tahun 2001, hal ini jelas dicatatkan di Notaris, PPAT Iwan Halimy SH.
Namun, lanjut dia, saat ini ada sekelompok para tersangka yang mengklaim tempat ini adalah milik kelompok mereka. Namun perkara ini muncul ketika ada yayasan yang mengklaim bahwa tanah dan bangunan adalah milik mereka berdasarkan hibah di bawah tangan sertifikat rumah atas nama Amih Widjaja.
“Perkara ini berawal dari pengakuaan dari Yayasan Metta Karuna Maitreya disebut didirikan dari Ny. Amih Widjaja, Ny. Mawarly, Ny. Tjoeng Sherly, Ny. Linda dan Ny. Eva Tjokkandau yang sepakat pada tahun 1999 membeli se-bidang tanah yang terletak di Perumahan Green Garden Blok O 4 No. 16, Jakarta Barat seluas 371 M² yang katanya, memakai nama Ny. Amih Widjaja,” terang Suko.
Menurut pernyataan para tersangka bahwa atas tanah dan bangunan Vihara Tien En Tang dan Yayasan Metta Karuna Maitreya yang dibangun dan tahun 2002 disebut bersertifikat Hak Guna Bangunan nomor 7465 atas nama Amih Widjaja yang terbit tertanggal 4 Desember 2012 dibukukan dan diterbitkan pada tanggal 4 Desember 2012 di Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat.
“Ini jadi pertanyaan besar sesungguhnya, ijin yayasan apa atau ijin rumah ibadah apa sesuai perijinannya di alamat tersebut, karena IMB-nya menurut ahli waris Lily IMB tersebut a.n Amih widjaja sudah jelas ijin rumah tinggal. Atas sertifikat hak guna bangunan nomor :07465/Kedoya Utara atas nama; Amih Widjaja kemudian berdasarkan pewarisan/Akta Keterangan Hak Waris Nomor : 16/BBH/N-KHW/XI/2020 Tanggal, 30 November.,” terang Suko Pajpahan.
Sebagaimana sesuai dengan data yang ada pada buku tanah, bahwa nama pemegang hak ahli waris. Sebagaimana berdasarkan Pewarisan/Akta Keterangan Hak Waris Nomor: 16/BBH/NKHW/XI/2020 tanggal 30 November 2020 yang dibuat oleh Benn Benyamin Haryanto, SH selaku Notaris diterbitkan atas nama Lily.
Sesuai dengan data yang ada pada buku tanah, bahwa berdasarkan Surat Ukur Nomor 00042/
2012 tanggal 07 Mei 2012 luas tanah atas Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor: 07465/Kedoya Utara tercatat atas naama Lily tersebut adalah seluas 371 M2 (tiga ratus tujuh puluh satu meter persegi).
Nyatanya, bahwa sesuai dengan data yang ada pada buku tanah, bahwa letak tanah seluas 371 M2 (tiga ratus tujuh puluh satu meter persegi) sesuai dengan data pada Buku Tanah Hak Guna Bangunan Nomor : 07465/Kedoya Utara An. Lily tersebut adalah terletak di Perumahan Green Garden Blok O 4 No. 16. atas nama Lily.
Artinya, tegas Suko, bangunan Nomor: 2925/Kedoya Utara An. Amih Widjaja status sertifikat tersebut sudah tidak berlaku karena sudah dihibahkan ke Lily. Sebagaiman klaim yayasan bahwa dihibahkan kepada mereka.
“Mereka lupa, berdasarkan KUHPER Kitab Undang-Undang Perdata Bagian tentang Cara Menghibahkan Sesuatu. Pasal 1682 Tiada suatu penghibahan pun kecuali termaksud dalam Pasal 1687 dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah,” tandasnya.
Berbagai Kejanggalan
Ada beberapa Kejanggalan yang dibeberkan Suko anataralain; berdasarkan Bukti rekam medis ibu Amih Widjaja yang menderita sakit gagal ginjal akut (hanya berfungsi 15%) membuat tangannya bengkak dan kedua tangan diinfus tidak mungkin membuat atau menandatangani surat hibah ke yayasan Maitreya. Pun adanya aturan Rumah Sakit bahwa pasien ICU hanya boleh dijaga oleh keluarga dan tidak boleh banyak orang.
“Lily yang menjaga ibunya dan dia tidak buta ada orang lain masuk atau tidak ke ruang ibunya dirawat. Pertanyaannya, Apakah seseorang yang dalam keadaan ‘koma’ sah menandatangani surat hibah? Tentu tidak. Selembar surat hibah di bawah tangan menurut KUHPerdata tidak berkekuatan hukum tetapi yang berakta notaries,” terang Suko.
Kedua, kejanggalan pada surat hibah di bawah tangan yang dimiliki tersangka tertulis nama Teh Roni yang belakangan diketahui pendiri dan pengurus Yayasan.
“Siapa Teh Roni ini? Dia bukan orang yang bersepakat seperti yang mereka klaim bahwa pembelian tanah tersebut atas kesepakan 5 orang,” ungkapnya.
Kejanggalan ketiga, bahwa permohonan praperadilan para tersangka yang diajukan penyidik Polres Jakbar ditolak namun tidak ada sanksi hokum yang diberlakukan, para tersangka tidak ditahan, meski atas ketentuan penyidik.
“Seorang Inspektur Jenderal seperti Sambo saja ditahan, lalu siapa orang-orang ini yang seperti memiliki kekebalan hokum tidak ditahan,” tukas Suko.
Kejanggalan keempat, Bangunan yang pagarnya digembok dirusak oleh para tersangka didampingi kuasa hukumnya, Deolipa, dan dikawal oleh kepolisian dari Polres dan Polsek, padahal permohonan praperadilannya sudah ditolak.
“Ini ada bukti foto-fotonya. Harusnya kepolisian tunduk pada UU No.2 Tahun 2002 pasal 13 & 14. Ini polisi bukannya menjaga ketertiban malah bikin gaduh kawal tersangka bongkar paksa objek sengketa, mereka bertindak tidak sesuai dengan fakta hukum putusan praperadilan,” ungkapnya.
“Kemudian, dalam siding praperadilan, kuasa hokum para tersangka bukanlah Deolipa. Saya menduga sampai saat ini pun Deolipa tidak mengantongi surat kuasa dari para tersangka,” tambah Suko.
Kejanggalan Kelima, bahwa berdasarkan Bidang Hukum Pemkot Jakbar, tidak pernah ada pengajuan ijin untuk rumah ibadah (Vihara) di Komplek Perumahan Green Garden Blok. O4. “Pun ada Perda pelaranagan adanya rumah ibadah di komplek perumahan,” ujar Suko.
Keenam, dalam akta pendirian Yayasan tercatat tahun 2019 oleh Notaris Fitriwati tercantum nama Amih Widjaja, padahal Amih Widjaja meninggal dunia tahun 2013. “Ini siapa yang menghidupkan mayat? Patut dipertanyakan,” kata Suko.
Selain itu, dalam akta pendirian yayasan tertera bahwa yayasan tugas dan pelaksanaannya adalah pondok pesantren dan madrasah dan menyalurkan amal, infaq dan zakat. “Yayasan Budha menyalurkan amal, zakat dan infaq? Ini patut dipertanyakan,” tukasnya.
Kasus Sengketa Diangkat ke Mabes Polri Atau Kejagung
Berdasarkan rangkaian peristiwa tersebut, Suko Pakpahan berencana menaikan kasus sengketa tanah dan bangunan tersebut ke Mabes Polri (Bareskrim) atau Kejagung. “Saya sudah bersurat ke Bareskrim Mabes Polri untuk mengambil alih kasus ini dan juga Kejagung,” ungkapnya.
Suko Pakpahan dan kliennya meminta agar pemerintah, dalam hal ini penegak hokum membongkar Mafia tanah berkedok agama dibongkar habis karena merugikan dan mentyengsarakan rakyat kecil.
“Ini sesuai pesan Presiden Jokowi untuk Memberantas Praktik Mafia Tanah karena memang praktik ini marak terjadi di Indonesia sejak dulu dan hingga sekarang masih saja terjadi,” kata Suko.
Baca Juga : ( Pak Jokowi, Akar Kejahatan Itu Terjadi Karena ‘Bau Kentut’ di Pengadilan Masih Tercium )
Memang ketika sengketa tanah dan bangunan terkait rumah ibadah atau keagamaan menjadi hal sensitive dimana umumnya aparat pemrintah, aparat hukum dan masyarakat cenderung member penilaian positif kepada pihak keagamaan. Oleh karenanya, praktik Mafia Tanah Mengunakan Topeng Agama harus Dibongkar tuntas.
Keterangan Pihak Tersangka
Sementara, dalam konferensi persnya sebulan lalu, kepada berbagai media pihak pengurus dan kuasa hukum Yayasan member keterangan bahwa Vihara sebagai rumah ibadah diresmikan penggunaannya secara resmi pada tanggal 5 Juli 2002 oleh Direktur Keagamaan Buddha Bapak Cornelis Wowor bukan Pemda DKI Jakarta. Demikian, seperti dilansir dari detik.com, keterangan pihak Yayasan Maitreya, Mas Waluyo, dalam hak jawab tertulisnya kepada detikcom, Sabtu (8/10/2022).
20 Mei 2014, Amih Widjaja menghibahkan tanah dan bangunan yang bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 7465 kepada Pengurus Yayasan dengan menyerahkan Surat Hibah dan Sertifikat aslinya. Pada 9 November 2013, Amih Widjaja meninggal dunia.
Sebelumnya diberitakan, Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Pol Pasma Royce mengatakan permasalahan memang sudah terjadi antara ahli waris dengan pengurus yayasan sejak lama. Dia menyebut pengurus yayasan dan ibu si ahli waris dulu tinggal di rumah yang kemudian dijadikan vihara itu.
Dengan berjalannya waktu, ibu dari ahli waris meninggal dunia. Kemudian, pengurus yayasan kemudian menjadikan tempat tersebut sebagai tempat ibadah.
“Setelah ibu yang punya meninggal, pengurus yayasan itu menjadikan rumah itu tempat ibadah,” kata Kapolres Jakbar Kombes Pasma Royce, Jumat (30/9/2022) lalu. Keterangan polisi inilah yang dibantah oleh kuasa hukum Yayasan.
Menurut mereka, Lokasi Vihara Tien En Tang (Thien En Tang) ada di Perumahan Green Garden Blok O4 Nomor 16. Pembangunan Vihara pada saat itu menggunakan dana umat. Yayasan juga telah mengajukan izin rumah ibadah vihara pada Kementerian Agama sesuai Surat Tanda Lapor Lembaga Keagamaan Buddha Nomor WJ/10/BA.01.1/3426/2002 tanggal 3 Juli 2002 yang diperpanjang berdasarkan Daftar Lembaga Keagamaan Buddha Nomor DJ/Dt.V.II/1/BA.01.1/12/019/2007 tertanggal 11 Juni 2007 dan Surat Tanda Daftar Yayasan Keagamaan Buddha Nomor DJ/VI/BA.01.1/12/550/2016 tanggal 29 April 2013. (ARP)
Be the first to comment