Jakarta, majalahspektrum.com – MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhi hukuman mati kepada Ferdy Sambo karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu, pidana mati,” kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso, Senin (13/2/2023).
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut agar Ferdy Sambo dijatuhi pidana penjara seumur hidup
Menyikapi vonis hukuman mati atas Ferdy Sambo tersebut, Ketua Umum MPH Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt, Gomar Gultom, M.Th menilai putusan hakim tersebut sangat berlebihan.
Dalam sikap dan pandangannya, PGI menghargai proses peradilan yang berlangsung dan memahami perlunya hukuman yang berat atas Ferdy Sambo atas pembunuhan berencana dan tindakan perintangan proses hukum yang dilakukannya. Namun hukuman mati adalah sebuah keputusan yang berlebihan mengingat Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. Dengan demikian, hak untuk hidup merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia. Dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya.
“Apakah harus hukuman mati?. Dalam satu segi hukuman mati itu justru enak bagi sebagaian orang, ia tidak lagi mengalami kesakitan dan penderitaan, selesai sudah. Tetapi sebagai orang beriman, kehidupan itu di tangan Tuhan, tidak satu orang pun diantara kita mampu membeli waktu. Waktu itu diberikan Tuhan kepada kita, dari lahir sampai mati, itu otoritas Tuhan,” kata Gomar saat ditemui di kantornya, Grha Oikumene PGI, Jl. Salemba 10, Jakarta, beberapa hari lalu.
Menurut Gomar, penegakan hukum oleh negara haruslah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Oleh karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Peluang untuk memperbaiki diri ini akan tertutup, bila hukuman mati diterapkan.
“Saya berharap setiap orang mempertimbangkan ini, hukuman mati juga tidak menyelesaikan persoalan, Brigadir Josua pun tidak akan hidup kembali. Hukuman mati terhadap Ferdi Sambo mungkin menjadi kepuasan bagi sebagaian orang khususnya keluarga Bgrigadir Joshua, tetapi itu sesaat setelah itu sama saja. Ingatlah, Setiap orang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertobat, kembali menjadi manusia yang baik. Hukuman mati menutup peluang seseorang untuk memperbaiki diri,” ujar Gomar.
Lagipula, kata Gomar, Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, maka mestinya kita tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati. Dalam perspektif HAM, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) bahwa “hak untuk hidup, …. adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Hukuman mati itu juga, lanjut Gomar, mengesankan lebih merupakan “pembalasan dendam” oleh negara, atau bahkan frustasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustasi itu dilampiaskan kepada terhukum.
“Saya meragukan pendapat sementara pihak yang menganggap hukuman mati akan memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut. Terbukti kasus narkoba terus meningkat meski negara telah mengeksekusi mati beberapa pelaku tindak pidana narkoba. Pun tindak terorisme,” bebernya.
Gomar berharap, Ferdy Sambo melalui kuasa hukumnya akan mengajukan banding, di Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung (Kasasi) agar keputusan hukuman mati terhadap Ferdy Sambo dapat dikoreksi.
“Saya termasuk salah satu orang yang akan berkampanye untuk menghapuskan hukuman mati di Indonesia. Kalaupun Negara masih mempertahankan adanya hukuman mati, paling tidak mengatur eksekusinya, carilah bentuk-bentuk hukuman yang lebih bernartabat,” tegasnya.
“Kita khan sudah menghilangkan kata penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan, itu khan artinya sebuah koreksi agar lebih bermatabat,” tutupnya.
Tonton Vidio : (Pernyataan Ketum PGI, Pdt, Gomar Gultom Alasan Tak Setuju Hukuman Mati Terhadap Ferdy Sambo)
Senada dengan Pdt, Gomar Gultom, peneliti Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan, vonis mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim tidak sesuai dengan konstruksi hukum hak asasi manusia (HAM) karena telah melanggar hak hidup seseorang.
“Dalam konstruksi hukum hak asasi manusia, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran hak hidup. Hak hidup adalah given dan nilai universal bagi rezim hukum HAM dan dianut negara-negara beradab,” kata Ismail, seperti dikutip dari laman kompas.com, Minggu (19/2/2023).
Baca Juga : ( Pesan Damai PGI di Perayaan “Harmony Week” MPR RI; “Sumber Kemelut Dunia Adalah Kerakusan)
Ismail mengungkapkan, dalam menghukum seseorang, negara melalui peradilan semestinya tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman mati apapun jenis kesalahannya.
Ia juga memaklumi keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman mati karena pidana mati masih dianggap sebagai hukum positif, meski Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru telah menjadikan hukuman mati sebagai pidana alternatif. Oleh sebab itu, ia berharap, negara melalui lembaga peradilan dapat mengoreksi pidana mati yang dijatuhkan terhadap eks kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri itu.
“Pengadilan di tingkat banding dan kasasi masih memungkinkan negara mengkoreksi pidana mati dengan hukuman lain yang setimpal dan membuat efek jera,” ujar Ismail. (ARP)
Be the first to comment