Jakarta, majalahspektrum.com – SINODE Gereja Bethel Indonesia (GBI) kembali akan menggelar Sidang Sinode, yang rencananya akan digelar pada Tanggal 23-25 Agustus 2023. Pada event 4 tahunan tersebut akan dilakukan pemilihan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (Ketum BPP) sinode GBI yang baru untuk periode 2023-2027.
Ada aturan baru tentang mekanisme pemilihan Ketum BPP kali ini yakni; Bakal Calon (Balon) Ketum BPP GBI akan dipilih menjadi calon di Sidang Majelis Daerah (SMD) di tiap Badan Pengurus Daerah (BPD) GBI yang ada se-Indonesia dan luar negeri. Hasil dari SMD, yakni nama-nama Bacalon Ketum BPP GBI akan dibawa ke Sidang Majelis Lengkap (MPL) pada Sidang Sinode GBI ke-XVII, 21 – 23 Agustus 2023 mendatang.
Berbeda dengan Sidang Sinode ke-XVI dimana pemilihan BPP GBI dilakukan pada Sidang Sinode oleh seluruh Pendeta GBI yang hadir, sedangkan Sidang Sinode ke-XVII kali ini hanya dipilih oleh sekitar 140 orang pendeta GBI yang merupakan anggota MPL.
Mirisnya, beredar kabar adanya upaya menggiring pemilihan Ketum BPP GBI, mulai dari SMD (Bacalon) hingga sidang MPL (Calon) di sidang sinode GBI dengan cara aklamasi merujuk kepada satu nama calon.
Sidang Majelis Daerah (SMD) saat ini sedang berlangsung di berbagai daerah. Dalam SMD di beberapa BPD tercium oknum BPP yang menjadi Majelis Ketua pimpinan sidang di SMD yang mendorong terjadinya keputusan aklamasi untuk Balon Ketum BPP. Bahayanya, bila semua SMD di BPD melakukan hal yang sama, maka siding MPL pada sidang Sinode GBI akan sama, yakni secara aklamasi memilih calon tunggal yang diaklamasikan di SMD.
Dari informasi yang diterima, saat ini terdapat dua nama calon yang digadang-gadang menjadi Ketum BPP GBI periode 2023-2027, keduanya yakni; Ketua BPP GBI saat ini (petahana), Pdt. Dr, Rubin Adi Abraham dan Ketum BPH GBI periode 2016 – 2019, Pdt. Dr, Japarlin Marbun.
Ditemui di kawasan Kelapa Gading, kepada majalahspektrum.com Pdt, Dr, Japarlin Marbun membenarkan adanya isu tersebut. “Benar, tapi dalam Juklak tidak ada opsi untuk aklamasi memilih seorang Balon Ketum BPP, tidak ada. Kalau ada daerah yang mengambil keputusan aklamasi untuk Balon Ketum BPP, itu mengingkari Juklak yang dibuat oleh BPP sendiri,” terang Japarlin Marbun.
Lebih jauh dijelaskan Japarlin, Proses awal adanya pemilihan Balon Ketum BPP ada di SMD tiap BPD. Proses pemilihan di SMD sudah diatur dalam Juklak yang dibuat oleh BPP dan telah dibagikan kepada BPD – BPD.
“Bahwa memang AD/ART ada aturan mengedepankan musyawarah dan mufakat. Tapi bila tidak terjadi mufakat dapat menggunakan pemungutan suara. Aturan ini berlaku untuk umum, misalnya untuk penetapan tata tertib, penetapan majelis ketua, penetapan hasil komisi, pleno dan lain sebagainya,” katanya.
“Sedangkan untuk pemilihan, seperti pemilihan Ketua BPD, MPL dan Balon Ketum BPP diatur oleh Juklak yang dibuat BPP. Sekali lagi Juklak itu tidak memberikan opsi untuk aklamasi,” tambah Japarlin menegaskan.
Terkait adanya oknum BPP yang berupaya menggiring SMD pada opsi aklamasi kepada satu nama Bacalon, Japarlin mengatakan itu hal yang aneh dan tidak boleh dilakukan.
“Utusan BPP di SMD harusnya netral, menjunjung tinggi demokratis. Berilah pembelajaran organisasi yang benar, adalah aneh (saya dengar) ada oknum BPP yang menjadi Majelis Ketua di SMD mendorong terjadinya keputusan aklamasi untuk Balon Ketum BPP. Ini seperti lagu, kau yang memulai, kau yang mengingkari,” jelasnya.
Menurut Ketua Bamagnas ini, oknum BPP tersebut tidak taat asas terhadap organisasi, dan tidak konsisten dalam mengeluarkan Juklak.
“Saya himbau kawan – kawan di daerah untuk menolak cara mencari hasil yang cepat tetapi melangkahi prosedur. Itu tidak betul. Saya meminta kawan – kawan mengawasi jalannya SMD agar kalau ada oknum BPP yang mengarahkan untuk aklamasi harus segera dengan berani menunjukkan Juklak buatan BPP,”imbau Japarlin.
Melihat adanya indikasi cara pemilihan aklamasi, seperti sudah didesain (upaya) agar di Sidang MPL memilih Ketum BPP secara aklamasi, Japarlin yakin rekan-rekan Pendeta GBI, dengan mengetahui Juklak, idak akan diam bila ada mobilisasi untuk aklamasi di SMD. “Sebab satu suara saja yang berbeda nama dengan mayoritas tetap akan dihitung Balon dari SMD tersebut 2 orang,”ujarnya.
Sempat tersiar kabar di kalangan Pendeta-pendeta GBI bahwa Pdt, Dr, Japarlin Marbun tidak lagi berminat maju sebagai Ketum BPP GBI. Namun hal tersebut dibantah tegas oleh Japarlin.
Baca Juga : (Diminta Kembali Pimpin GBI, Pdt, Dr, Japarlin Marbun; “Berbakti Untuk GBI Itu Penting”)
Japarlin mengaku terpanggil untuk membangkitkan GBI kembali karena melihat pengaruh GBI secara nasional sekarang ini makin meredub dibanding saat ia memimpin. Pun GBI era sekarang ini banyak dinilai banyak kalangan menjadi gereja yang eksklusif tidak lagi inklusif seperti dahulu saat dipimpin oleh Japarlin Marbun.
“Ketum GBI saat ini dinilai tertutup, elitis. Ketika ada isu nasional dan gejolak di GBI yang perlu diklarifikasi susah ditemui dan bersikap pasif. Ini kata lawan-kawan wartawan, khususnya wartawan Kristen loh ya., pun program-program GBI tak terinformasi ke publik padahal itu hal penting, paling tidak dapat menjadi studi banding bagi pihak atau gereja lain kan, dapat dicontoh, jadi berkat bagi banyak orang,” bebernya.
“Pada saat kepemimpinan sayanya, karena GBI pengaruh positifnya secara nasional begitu kuat sampai – sampai Presiden RI, Ir. Joko Widodo, mengajak GBI (pengurus BPH) bertemu di Istana. Tapi sekarang ini, bisa dinilai sendiri, GBI bagaikan mau hilang ditelan bumi,” lanjut Japarlin memaparkan.
Khusus untuk wartawan, silahkan beritakan perbandingan kinerja saat saya memimpin dan saat kepemimpinan periode ini,” tuturnya.
Japarlin kemudian mengajak semua yang memintanya untuk kembali memimpin GBI lewat pencalonan di Sidang Sinode GBI, dapat membuktikan komitmenya secara bersama – sama dengannya untuk melangkah mengikuti proses demi proses sesuai AD/ART dan Juklak yang dibuat oleh BPP.
Dijelaskan Japarlin, BPP lewat mekanisme telah memutuskkan AD/ART bukan di Sidang Sinode. Dan salah satu keputusan yang ada sangat merugikan hak dan keterlibatan pendeta serta gembala – gembala dalam Sidang Sinode yaitu pemilihan Ketua Umum hanya akan dilangsungkan lewat perwakilan oleh Majelis Pekerja Lengkap (MPL) tidak sesuai karena tidak dalam Sidang Sinode.
“Kalau saya terpilih maka saya akan kembalikan hak para pendeta dan gembala. Sebab saya mengerti adanya sidang tempat pemilihan Ketua Sinode ya di Sidang Sinode, bukan sidang MPL. Sidang sinode itu adalah tempat, pertama berfellowship para pendeta dan gembala satu dengan yang lain. Kedua, untuk pendeta dan gembala ikut menentukan jalannya GBI ke depan dengan menggunakan hak pilih tanpa diwakili,” kata Japarlin Marbun berjanji.
Menurut Japarlin, adalah sebuah kebanggan yang melekat dalam kehidupan para pendeta dan gembala GBI adalah ikut menentukan perjalanan dari organisasi mereka bernaung. Tentu lewat keterlibatan mereka dalam mengambil keputusan tingkat nasional (Sidang Sinode). Juga Sidang Sinode (acara tingkat nasional) menjadi tempat pembelajaran berorganisasi yang sangat bagus.
“Kalau yang terjadi saat ini hanya MPL yang memilih, ini tidak sesuai nama memilih Ketua Sinode, ya harusnya di Sidang Sinode tetapi sekarang namanya Sidang MPL malah memilih Ketum Sinode,” tukasnya.
Kepada BPP GBI saat ini Japarlin Marbun berpesan jangan takut adanya perdebatan dalam organisasi. Berdebat itu, kata dia, bukanlah suatu dosa, karena yang terpenting dari itu adalah setelah diputuskan, sepakat dan sahkan.
“Jangan sudah diputuskan secara sepakat yang namanya proses demokrasi masih ditentang, itu jangan dan bila masih begitu berarti belum dewasa berorganisasi. Tapi warga GBI sudah terbiasa dalam proses demokrasi dari periode ke periode berjalan baik. Bagi warga GBI proses demokrasi dianggap seni dalam berorganisasi. Hanya periode ini saja yang membingungkan kenapa proses demokrasi organisasi dibatasi?” tuturnya.
Proses demokrasi yang dibatasi hanya lewat pemilihan di MPL, dinilai Japarlin Marbun supaya tidak banyak uang yang dikeluarkan.
“Kalau alasannya uang, itu resiko dari sebuah proses demoktrasi dari organisasi yang mau sehat. Juga uang itu memangnya milik siapa? Milik para gembala dan pendeta juga. BPP itu hanya untuk mengelolah uang bukan pemilik uang. Jadi jangan berkata alasannya demi menghemat uang maka proses demokrasi di GBI (Sidang Sinode) dibatasi hanya dinikmati segelintir orang,” tandasnya. (ARP)
Be the first to comment