
Opini- Jakarta, majalahspektrum.com – UNIK memang jika kita melihat di Pemerintah Kota Cilegon. Di sana ada Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) tetapi tidak ada rumah ibadah dari agama lain selain Islam yang bernaung di FKUB tersebut. Lalu pertanyaannya, untuk apa dan dipakai untuk apa APBD Kota Cilegon untuk FKUB?, ibaratnya, Makan gaji buta tanpa kerja dan berbuat apa-apa.
Yang paling mirisnya lagi, dari hasil penelusuran, kenyataanya FKUB di sana justru sebagai penghambat berdirinya rumah ibadah agama lain. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Kota Cilegon dibelenggu. Sudah 3 periode Ketua FKUB Cilegon, yang kabarnya bukanlah seorang ulama atau tokoh agama tetapi warga biasa yang merupakan Jawara bergelar Haji, menjabat tanpa ada perubahan apapun terhadap KBB. Posisinya di FKUB malahan seperti “Palang Pintu” pertama penghalang adanya rumah ibadah agama lain selain Islam di Cilegon.
Dalam argumennya terkait alasan penolakan warga terhadap berdirinya Rumah Ibadah berupa gereja di desa Cikeusih, Cilegon, Sekretaris FKUB Cilegon, H. Agus Suratman mengatakan ada 3 hal yang selayaknya dipahami mengapa penolakan pembangunan gereja HKBP Maranatha Cilegon mendapat penolakan dari beberapa kelompok masyarakat.
Pertama, peristiwa Geger Cilegon 1888 menjadi kajian bersama semua pihak. Peristiwa Geger Cilegon, menurut Agus, salah satunya dipicu karena pelarangan azan oleh pemerintah kolonial Belanda saat menjajah Indonesia.
“Tentu kita juga melihat sisi historisnya masyarakat, ada 3 ya. Pertama, historis itu kurang lebih tahun 1988 (1888) dikenal dengan Geger Cilegon yang mendasari terjadinya Geger Cilegon itu adalah karena adanya pelarangan azan kemudian pengambilan paksa atau upeti terhadap masyarakat kemudian terjadinya penggusuran terhadap masyarakat atau pribumi yang notabene hampir 100 persen adalah muslim, pada akhirnya terjadilah pergolakan, waktu itu jihad lah ya yang dipimpin oleh Kiai Wasyid,” terang Agus seperti dikutip dari detik.com.
Peristiwa itu, kata dia, kemudian memunculkan amarah alim-ulama dan masyarakat Cilegon sehingga memunculkan peristiwa pemberontakan pribumi terhadap penjajah. Pascapemberontakan yang terjadi pada 1888 itu, banyak ulama yang diasingkan ke berbagai daerah di Indonesia hingga dibunuh. Banyak ulama-ulama yang digantung, makanya ada daerah Pegantungan.
“Kisah itu menjadi turun temurun sampai sekarang dan masyarakat memahami bahwa mereka orang Belanda yang menggantung itu adalah nonmuslim,” katanya.
Pandangan dari FKUB Agus tersebut sesungguhnya menyesatkan. Selain kejadian itu jauh sebelum Indonesia merdeka dengan Pancasila dan UUD’45 sebagai pondasi dasar Negara, adalah juga seperti mengungkapkan fanatisme tokoh pejuang Cilegon. Padahal, di banyak daerah di Indonesia juga banyak tokoh agama Islam yang dibunuh Belanda, Pangeran Dipenegoro misalnya, namun di daerah itu tidak ada dendam turunan fanatisme agama yang muncul. Pun para pejuang kemerdekaan Indonesia bukan cuman umat Islam, hampir seluruh umat beragama yang ada di Indonesia turut berjuang dan dibunuh oleh Belanda.
Alasan Kedua Agus, didasari adanya bedol desa pada saat pembangunan pabrik Krakatau Steel tahun 1974-1978. Pembangunan pabrik baja terbesar di Asia Tenggara saat itu memunculkan perjanjian antara ulama, tokoh masyarakat dengan pihak berwenang yang kemudian memunculkan klausul tak ada tempat ibadah agama lain selain Islam di Cilegon.
“Kemudian yang kedua kurang lebih tahun 1974-1978 ada yang namanya projects Trikora, projects pembangunan baja Krakatau Steel pada saat itu kepemimpinan Presiden Soekarno. Nah ada kesepakatan antara para alim ulama khususnya pesantren Al-Khairiyah waktu itu dan juga tokoh-tokoh masyarakat bersedia untuk direnovasi atau sekarang lebih tepatnya bedol desa dengan catatan tidak ada tempat ibadah lain,” tuturnya.
Cerita alasan kedua Agus ini belum tentu 100 persen benar adanya. Pasalnya, dari penelusuran, diketahui perjanjian itu antar pihak Krakatau steel dengan sekolah berbentuk Pesantren Al-Khairiyah di jaman Orde Baru Presiden Soeharto. Krakatau Steel sendiri berdiri Tahun 1970. Dikutip dari laman alkhairiyahnatar.id, Al-Khairiyah adalah wadah pendidikan yang berdirii sejak taggal 5 Mei 1925 di Citangkil Banten oleh Brigjen KH.Syamun yang merupakan satu-satunya ulama dan pejuang militer di Indonesia dari Banten. Syamun Lahir di Pandeglang 15 April 1883.
Sampai saat ini belum ada bukti tertulis dari perjanjian tersebut. Lagipula, perjanjian itu adalah antara pihak Krakatau Steel dengan Al-khairiyah. Lagipula, jangankan sebuah perjanjian, UUD’45 saja bisa diamandepen.
Kemudian, alasan Ketiga menurut Agus, adanya penolakan diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Serang Tahun 1975, tepatnya tanggal 20 Desember 1975 yang saat itu dijabat Ronggowaluyo. Cilegon pada tahun itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Serang.
Dari pernyataan Agus sendiri sudah jelas bahwa Cilegon saat itu masih bagiam dari Kabupaten Serang dan saat ini sudah menjadi kota administrasi sendiri. Itu artinya SK Bupati Serang itu bias dibilang tidak berlaku lagi. Dan sama seperti alasan kedua yang berupa perjanjian, hal itu bias saja dianulir atau dicabut.
Diketahui, FKUB sempat mengakui sudah mengeluarkan rekomendasi soal pedirían gereja HKPB di Kota Cilegon, namun hal itu dibantah oleh Ketua PCNU Kota Cilegon Hifdullah. Bahkan sebagai bagian dari pengurus FKUB, dirinya tidak pernah melihat adanya rekomendasi soal permohonan izin pedirían gereja. Hal itu disampaikan Hifdullah dalam pertemuan diskusi yang diadakan di Sekretariat NU Jumat 2 Sepetember 2022 malam.
Menurut Hifdullah, diskusi menjadi penting sehingga tidak ada nantinya isu menyesatkan yang memancing kemarahan umat Islam.
“Saya yakin mayarakat kota Cilegon bisa berpikir jernih dan tidak mudah terpancing isu berita hoax,” ujarnya.
Dalam pertemuan itu sendiri jelasnya, menghasilkan beberapa kesepahaman, salah satunya, ia mengklarifikasi FKUB tidak pernah menyetujui adanya pedirían gereja HKBP. “Tidak pernah ada rekomendasi dan persetujuan,” ujarnya.
FKUB Cilegon dalam suatu kesempatan mengklaim bahwa kehidupan kerukunan umat beragama di Cilegon sudah sangat baik dengan adanya Tempat Pemakaman Umum (TPU) bagi warga non muslim dan kehidupan bermasyarakat warganya yang harmonis tanpa gesekan.
Tentu alasan itu tidak tepat. Keberadaan TPU di Cilegon bagi umat non muslim memang suatu hal yang harus tersedia, pun ada pemasukan Pemkot berupa pajak di situ. Harmonisasi hidup masyarakat Cilegon juga tidak dapat dijadikan alibi rukunnya umat beragama di Cilegon karena nyatanya tak ada satu pun rumah ibadah agama lain selain Islam di sana. Kalaupun ada dendam terhadap Belanda yang dicap Kristen, tetapi kenapa rumah ibadah umat Hindu, Budha dan Konghucu juga tidak ada di sana, padahal menurut data Dukcapil mereka juga ada di Cilegon. (RED)
Be the first to comment