Jakarta, Opini – DALAM pengamatan, mengapa jelang Hari Raya Idul Fitri, di masa bulan Puasa marak aksi gangguan terhadap rumah ibadah, khususnya gereja dan café?. Pada masa sebelum pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), gerombolan berjubah, dengan alasan agama rajin melakukan sweeping terhadap café, warung-warung dan rumah makan.
Bukan cuman ormas intoleran, aparat dan kepala daerah juga ikut-ikutan melakukan aksi serupa. Anehnya, mereka sangat hobby mengganggu gereja.
Saya pernah melakukan investigasi berita penutupan sejumlah gereja yang berada di satu komplek perumahan di daerah Rancaekek, Bandung, Jawa Barat tahun 2010 lalu.
Kesimpulan dari investigasi berita tersebut didapati adanya oknum aparat pemerintah yang menggerakan sebuah ormas yang terkenal intoleran untuk mengganggu gereja-gereja di wilayah komplek perumahaan tersebut. Aksi tersebut akibat dari penolakan keberatan gereja dinaikan iuran keamanan.
Masa yang mendemo gereja berasal dari luar pemukiman komplek, bahkan ada yang dari luar daerah (beda Kota /Kabupaten dan Provinsi). Masa yang masuk menggeruduk salah satu gereja mencari-cari warta jemaat di kantor konstitori, setelah mendapatkan warta jemaat, halaman yang pertama kali mereka cari dan baca adalah laporan keuangan gereja.
“Mereka bohong, ternyata cukup besar uang pemasukan gereja,” kata seorang pendemo yang membaca laporan keuangan di warta jemaat kala itu yang sempat saya rekam.
Saya mengikuti jalan pulang para massa pemdemo hingga ke Pasar dekat Perumahan tersebut, mereka mengumpulkan seragam ormas yang mereka pakai kepada seorang koordinator pendemo dari suatu ormas tersebut, ternyata mereka adalah para preman pasar yang dimobilisasi, tentu dengan mendapatkan imbalan sekedar “Uang Rokok”.
Timbul dugaan akan maraknya aksi penutupan atau gangguan terhadap rumah ibadah, khusunya tempat ibadah umat kristiani dan café pun warung-warung merupakan kedok belaka dari upaya oknum yang buntutnya memanfaatkan isu agama untuk mendapatkan sejumlah uang, itung-itung uang THR Idul Fitri (Lebaran).
Dahulu sebelum era Jokowi, gerombolan ini mengganggu gereja dan Café serta restoran bukan cuman saat menjelang Idul Fitri, bahkan mereka melakukan sweeping saat Hari Raya Natal. Dengan alasan penolakan pakaian Santaclaus dan pernak-pernik Natal, mereka lakukan demo yang ujungnya bila dikasih uang keamanan makan amanlah Gereja, Resto dan café di mall-mall beraktifitas Natal.
Sayangnya, hingga kini pemerintah atau aparat keamanan kurang berani berlaku tegas kepada oknum pengganggu ini.
Penangkapan Ketua RT di Lampung yang mengganggu aktifitas peribadatan di sebuah gereja mungkin menjadi pembelajaran bagi orang-orang yang doyan menggangu gereja, belajar dari situ, kini bisa saja mereka menprovokasi pejabat daerah yang melakukannnya.
Otonomi Daerah yang melahirkan Kerajaan-kerajaan kecil dengan Raja-raja kecilnya memang membuat persoalan tersendiri terkait kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Republik ini. Instruksi pemerintah pusat sepertinya tak mereka anggap karena mereka merasa raja di daerahnya dengan alasan “Kami juga dipilih Rakyat”.
Kasus GKI Yasmin, Pelarangan Rumah Ibadah agama lain di Cilegon dan Perda-perda berbau Agama adalah contoh betapa Raja Kecil begitu berkuasa di daerahnya tanpa menghiraukan keputusan ataupun ketetapan pemerintah pusat.
Oleh karenanya, dapat diusulkan supaya ke depan, dengan merubah Undang-undang, dihapuskan pemilihan langsung Kepala daerah di Tingkat Kabupaten dan Kota, Bahkan Gubernur. Sudah saatnya system pemerintahan daerah dikembalikan ke system seperti di jaman Orde Baru atau Presiden Soeharto dimana mereka dipilih oleh Presiden. (RED)
Be the first to comment