Ada apa” kok sebegitu nafsunya mendesak agar pemerintah mengambil langkah Lockdown guna mengatasi corona?, Adakah Hidden Agenda dibalik desakan Lockdown?.
Dari beberapa kasus orang meninggal yang divonis karena terjangkit virus corona ada beberapa, setelah ditelusuri ternyata Hoax alias bukan karena virus corona. Kabar hoax orang terjangkit corona pun marak beredar, entah siapa dan apa motifnya menyebar kabar hoax tersebut.
Atas dasar itu, saya ragu akan data korban, baik ODP, PDP bahkan orang meninggal karena virus corona yang beredar resmi dari pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan virus Corona, Achmad Yurianto. Pasalnya, belum ada alat yang akurat 100 persen untuk mengidentifikasi seseorang terjangkit virus corona, apalagi untuk daerah di luar Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia. Rapidtest corona yang dikirim dari China pun tingkat akurasinya hanya 30 persen.
Sayangnya, media pers turut memberikan sumbangsih menciptakan rasa ketakutan dan kekhawatiran dimasyarakat. Dalam pemberitaannya, data belum valid, tidak ada kata “Diduga” karena terinveksi virus corona dalam pemberitaannya tetapi langsung divonis meninggal karena corona. Pasalnya ada kasus, awalnya oleh media diberitakan seseorang meninggal karena corona kemudian diralat karena penyakit lain. Pers harusnya memberikan edukasi dan membeli kepentingan masyarakat bukan provokator.
Masalahnya, gejala terjangkit corona mirip dengan penderita batuk pilek biasa, DBD, asma dan sakit paru-paru. Beberapa kasus orang meninggal divonis terjangkit corona ternyata ada yang sebenarnya meninggal karena penyakit lain seperti kanker paru-paru dan DBD.
Sangatlah biadab jika benar ternyata korban meninggal yang divonis corona ternyata karena penyakit lain. Pasalnya, jenazah dikubur bagai mengubur binatang tanpa proses dan kebiasaan umumnya. Selain itu, keluarga korban yang meninggal juga mendapat perlakuan dikucilkan oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Bisa dibayangkan jika seseorang yang berstatus PDP Corona sebenarnya menderita DBD. Penyakit DBD menurunkan trambosit darah, seseorang bila divonis corona padahal DBD diisolasi, besar kemungkinan mengalami stress yang dapat berakibat kematian karena trambosit semakin turun atau salah penanganan. Karena hingga saat ini, hamper seluruh pasien yang meninggal divonis corona meninggal di ruang isolasi atau Rumah Sakit. Ini juga tidak menutup kemungkinan seseorang yang sebenarnya menderita DBD jadi menderita corona karena dimasukan ke ruang isolasi corona yang dipenuhi virus tersebut..
Sejumlah kepala daerah pun ada yang tiba-tiba mengaku dirinya terjangkit corona. Ada juga yang mengaku di daerah sudah ada warga yang terjangkit virus corona baik yang ODP, PDP atau pun positif. Fenomena ini tidak menutup kemungkinan merupakan akal-akalan mereka. Ada yang mau mengelak dari kasus dugaan korupsi, mendramatisir kondisi penyebaran virus corona agar segera dilakukan lockdown bahkan sekedar agar dapat dana bantuan penanggulangan corona dari pemerintah pusat yang sudah barang tentu bakal dikorupsi.
Di masyarakat sudah mulai beredar obrolan jika lockdown bagaimana nanti untuk makan sehari-hari?. Bahkan ada yang berwacana bakal ada upaya keterpaksaan untuk melakukan penjarahan. Jika penjarahan terjadi, inilah yang diinginkan sekelompok orang yang menginginkan Indonesia rusuh lalu agenda berikutnya meminta Presiden Jokowi turun, mirip sseperti 1998 saat Soeharto turun dari kursi Presiden.
Presiden Jokowi harus mempunyai tim khusus yang bisa dipercaya untuk memastikan jumlah masyarakat yang sesungguhnya terjangkit corona bahkan yang terlanjur meninggal dunia divonis corona. Karena tidak menutup kemungkinan, orang-orang yang ada sekarang, yang menangani masalah corona adalah orang-orangnya si dalang makar (Politik “Kuda Troya”) memanfaatkan isu corona.
Mantan anggota DPR RI dari PAN, Didik J Rachbini dalam siaran persnya baru-baru ini mengaku kecewa kepada Presiden Jokowi setelah saran dari Mantan Wapres Jusuf Kalla (JK) untuk melakukan lockdown ditolak pemerintah. Didik bahkan menyebut Jokowi terlalu angkuh karena belum juga menetapkan Lockdown.
Didik menilai JK bukan orang baru di pemerintahan, bahkan lebih berpengalaman dibanding penghuni Istana Negara yang sekarang.
“Ikuti saran JK, yang sudah lama meminta pemerintah tegas untuk melakukan lockdown, tetapi selalu dijawab, tidak ada lockdown. Tidak ada penghuni di istana itu, yang lebih dari berpengalaman daripada JK,” ungkap Didik, Minggu (29/3/2020).
Didik menyebut paling tidak Lockdown untuk daerah (provinsi) yang masuk kategori zona merah corona. Tentu yang dimaksud Didik adalah Jakarta yang Gubernurnya adalah orang anti Jokowi.
Jangan lupa, Jakarta bias dibilang adalah Indonesia, Indonesia adalah Jakarta. Jika terjadi Lockdown di Jakarta yang diikuti aksi penjarahan, kemungkinan besar diikuti oleh daerah lain, apalagi daerah-daerah yang kepala daerahnya satu paham atau kubu politik ingin menjungkalkan Jokowi.
Di Jakarta pula terletak pusat pemerintahan, khususnya Legislatif pusat (DPR RI), tinggal kerahkan massa bayaran atau massa pendukung berunjuk rasa ke gedung parlemen untuk turunkan Jokowi.
Sekarang ini, secara defacto di Jakarta telah diberlakukan Lockdown. Gang-gang jalan menuju pemukiman warga diportal namun tanpa pengawasan (asal jadi). Sebelumnya dilakukan penyemprotan desinfektan yang menurut saya juga formalitas. Pasalnya, yang disemprot itu jalanan dan pagar rumah warga yang jelas-jelas langsung diterpa sinar matahari nan terik (corona mati di suhu di atas 30 derajat).
Yang dilakukan di Jakarta saat ini atas nama pencegahan corona tampaknya Cuma bertujuan menciptakan ketakutan dan keresahan di masyarakat. Jika serius mau memberantas virus corona di Jakarta, harusnya pemprov tidak cuman mengucurkan anggaran Rp 131 Miliar, lebih kecil dari Pemprov lain seperti Jatim dan Jateng dilihat dari pendapatan APBD-nya.
Jika di Surabaya dan beberapa daerah lain membagi-bagikan masker dan sanitizer, di Jakarta tidak, malahan dijual. Selain itu, untuk situasi saat ini (diberlakukan Pemprov) mestinya ada jaminan ketersediaan bahan makanan dengan harga normal, bukan malah jual sembako lebih mahal dari harga pasaran normal seperti yang dilakukan di pusat logistik PD, Pasar Jaya yang ada di pasar-pasar.
Saya mengusulkan agar pemerintah pusat lebih fokus menangani pandemi virus corona di Jakarta. Karena selain kepala daerahnya ngak bisa dipercaya, Jakarta adalah ibu kota Negara dan pusat pemerintahan. Menjaga Jakarta dari maneuver politik sama dengan menjaga Indonesia. Pastikan betul (akurat) jumlah warga yang ODP, PDP, positif Corona hingga yang meninggal divonis corona, karena bisa saja itu fiktif hasil rekayasa karena ada Hidden Agenda politik. (ARP)
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru)
Be the first to comment