Jakarta, majalahspektrum.com – ANEKA jabatan penting di lingkungan Pemerintahan Povinsi Papua telah drg, Aloysius Giyai, M.Kes duduki. Mulai dari Direktur RSUD Abepura, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua hingga Direktur Eksekutif Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP). Dan kini Direktur RSUD Jayapura.
Dia juga adalah mantan Ketua Lembaga Adat Masyarakat Pegunungan Tengah Papua (LMPT), kini Ketua Pertimbangan Tunggal LMPT.
Ketika menjadi Direktur RSUD Abepura, dia berhasil “menyulap” RS yang kumuh dan yang manajemennya berantakan itu menjadi RS yang rapi dan memiliki manajemen modern. RSUD Abepura kemudian menjadi RS rujukan nasional.
Ketika ia menjadi Kepala Dinas Kesehatan, ia melakukan berbagai terobosan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sampai ke pedalaman yang sulit dijangkau sekalipun. Dia selalu berusaha sekuat tenaga, bahkan kerap melupakan keselamatan diri.
Di mana pun dia ditempatkan, dokter lulusan Universitas Air Langga Surabaya ini selalu membawa serta elan kerja keras, disiplin dan kerelaan membantu siapa saja. Pria kelahiran Kampung Onango, Kabupaten Deiyai, 8 September 1972 inimenerapkan pola kepemimpinan partisipatif saat menjadi Kepala RSUD Abepura.
RSUD Abepura menjadi RS rujukan nasional sehingga masyarakat Papua, untuk penyakit tertentu harus berobat ke Makassar atau bahkan ke Jakarta, mereka cukup dilayani di Abepura.
Ketika ia menjadi Kepala Dinas Kesehatan, ia melakukan berbagai terobosan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sampai ke pedalaman yang sulit dijangkau sekalipun. Jika mengetahui masyarakat di sebuah wilayah mengalami kesusahan, dalam cuaca buruk pun, ia terbang.
“Kalau kita ikhlas, alam akan mendukung atau bersahabat dengan kita, dan Tuhan tetap akan mengawasi dengan mata-Nya yang penuh kasih. Tuhan akan selalu mengirim malaikat-Nya untuk melindungi,” katanya saat menerima penghargaan sebagai “Tokoh Inovatif Kesehatan” dari Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (PERWAMKI) dalam acara puncak Perayaan HUT Ke-17 organisasi wartawan kristen tersebut Pada, Selasa (10 November 2020) di Hotel Aston, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Saat ini, dengan segala pencapaiannya, hidup Alo, begitu sapaan akrabnya, sudah jauh lebih baik. Namun demikian, Alo tetaplah pribadi yang sederhana dan mau bergaul dengan siapa pun.
“Saya tidak boleh lupa dengan masa lalu yang penuh perjuangan. Masa itulah yang mengantar saya bisa seperti ini sekarang,” kata dokter gigi yang sudah menulis sejumlah buku ini.
Lolos dari Jerat Maut
Alo, terlahir dalam keluarga miskin dan terbelakang. Orangtuanya buta huruf dan menggantungkan hidup dari berburu. Kemiskinan akut di wilayah Deiyai, Papua, membuat lima kakaknya meninggal dunia terserang wabah kolera dan malaria.
Sebagai “manusia koteka” yang hidup di hutan, orangtua Alo, Giyaibo Raymondus Giyai dan Yeimoumau Albertha Yeimo tak bisa berbuat banyak ketika satu persatu buah hati mereka meregang nyawa. “Benar-benar berkat Tuhan sehingga saya dan kedua kakak saya Damianus Giyai dan Oktovina Giyai lolos dari kematian akibat penyakit mematikan itu,” ungkapnya.
Setelah meniti perjuangan yang tidak ringan, Alo bisa tamat sekolah dasar dan meneruskan pendidikan. Saat mengenyam pendidikan di sekolah menengah pertama, Alo masuk asrama. Kesempatan hidup di asrama, dia akui sebagai fase terpenting dan menentukan dalam peziarahan hidupnya.
“Bagi saya, asrama ibarat penyelamat masa depan. Saya benar-benar bersyukur dididik di asrama asuhan rohaniwan Katolik. Mereka mengajari saya nilai-nilai kehidupan dan sikap bersyukur di tengah keterbatasan hidup. Itulah yang membuat saya tabah,” ujar Alo.
Alo melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Abepura, sebuah sekolah unggulan, tempat belajar anak-anak orang kaya di Papua. Hampir tak ada orang dari pegunungan tengah Papua yang berlatar belakang keluarga petani sederhana atau miskin seperti Alo yang bersekolah di sini. Inilah yang membanggakan Alo, bisa masuk ke sekolah tersebut.
Bisa tembus ke sekolah favorit bukan berarti beban kehidupan Alo sudah ringan. Ia tetap kekurangan uang. Demi sesuap nasi, Alo rela bekerja sebagai penimba tinja WC dan pembabat rumput di halaman rumah orang lain. “Hampir semua WC di kompleks Perumahan Universitas Cenderawasih Jayapura sudah saya timba tinjanya,” ucap Alo sembari tertawa.
Perjuangan hidup yang berat membuat PLT Direktur RS Jiwa Abepura—melayani 2 provinsi (2015 – 2016) inimemendam “dendam”. Dendam itu telah ia torehkan dalam dua buku tentang perjalanan hidup, karya, dan cita-citanya menangani kesehatan masyarakat Papua berjudul Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua dan Melawan Badai Kepunahan.
Setelah berdaya, apalagi memangku jabatan strategis, Ketua JurusanAdministrasi Kebijakan Kesehatan FKM Uncen (2005 – 2009) ini tidak ingin tragedi terulang pada orang lain. Ia menceburkan diri ke arena kerja keras, penuh peluh, dan tantangan. Ia turun langsung ke tengah masyarakat.
“Saya tidak mungkin membiarkan masyarakat menderita, apalagi sampai meninggal dunia. Mereka tidak boleh mengalami hal yang lebih pahit dari yang saya pernah alami. Itu tekad saya!” tandasnya. (ARP)
Be the first to comment