Kuningan, Jabar, majalahspektrum.com – SEMINAR Agama-Agama (SAA) Ke-37 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Tahun 2022 yang berlangsung di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat telah usai. SAA yang dilaksanakan di tengah Komunitas Sunda Wiwitan itu berlangsung sejak Tanggal 16-19 November 2022 salah satunya menghasilkan suatu maklumat
Dalam release yang diterima, Minggu (20/11/2022), Peserta SAA Ke-37- yang terdiri dari tokoh agama, tokoh kepercayaan, tokoh masyarakat, akademisi, pemuda lintas agama, organisasi kemasyarakatan serta pegiat HAM dan demokrasi – menyatakan sikap dan keprihatinannya dalam bentuk Maklumat Cigugur. Maklumat Cigugur ini menekankan dan menegaskan beberapa hal sebagai berikut;
- Mendesak lembaga legislatif dan pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat untuk menjamin kepastian hukum demi rekognisi, pemenuhan, perlindungan hak konstitusional masyarakat adat.
- Menuntut agar pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan semua agama yang ada di Indonesia, termuat di dalam Undang-Undang/sistem pendidikan nasional.
- Menolak segala bentuk stigma, diskriminasi, intoleransi dan kekerasan atas nama agama, suku, dan kepercayaan terhadap setiap warga negara.
- Menuntut perbaikan kebijakan yang berkeadilan dan penghapusan segala bentuk tindakan yang menghambat layanan negara terhadap setiap warga negara.
- Mengajak semua elemen masyarakat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keutuhan NKRI.
SAA kali ini mengangkat Tema: Rekognisi, Pemenuhan dan Perlindungan Hak Beragama dan Berkeyakinan Warga Negara, merupakan SAA pertama yang dilakukan PGI di mana pesertanya live-in di rumah masyarakat adat. Terjadi proses interaksi langsung antara peserta dan warga yang menarik sebab memunculkan banyak cerita dan pengalaman inspiratif dan mengharukan. Suasananya penuh kasih dan persaudaraan.
Dinamika proses empat hari SAA kali ini menunjukkan betapa diskriminasi dan intoleransi masih terjadi secara sistematis kepada kelompok masyarakat penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan. Sumber masalahnya pun jelas yaitu tak adanya pengakuan negara yang sungguh bahwa penghayat kepercayaan adalah sebuah agama yang hidup secara nyata dalam masyarakat Indonesia. Sebuah ironi di tengah bangsa yang mengagungkan kerukunan dan toleransi antar umat beragama. (ARP)
Be the first to comment