Monopoli Politik Indonesia

Jakarta, majalahspektrum -Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan tanpa ada persaingan. Sedangan politik berasal dari kata policy yang berarti Kebijakan. Jadi, Monopoli politik adalah keinginan untuk menguasai kebijakan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan dari berpolitik adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan, politisi (pelaku politik) menyalurkan cita-cita (visi-misi) agungnya yang bertujuan kepada perubahan baik (kebaikan).

Partai politik (Parpol) hadir sebagai wadah bagi para politisi yang mempunyai visi-misi yang sama. Sejatinya, Parpol hadir untuk membawa perubahan bagi masyarakat. Ia berkomitment untuk, melayani bukan dilayani masyarakat.

Sayangnya, di negeri Indonesia, Parpol bukan menjadi kumpulan politisi yang visioner tetapi dijadikan alat kekuasaan untuk prestisius diri.

Di Parpol, malah dijadikan arena mencari makan (pekerjaan) bukan pengabdian. Itu sebabnya, politisi kita tidak malu menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, bahkan ingin menguasai semuanya (monopoli).

Menjabat seakan menjadi satu-satunya tafsir atas aktualisasi dan bermaknakan hidup. Tidak heran jika mereka sering tak bergeming dan tetap melaju menunggangi kursi jabatannya, meski nyata-nyata telah mengalami kekacauan peran, gagal mandat dan tanggung jawab, bahkan terindikasi korupsi sekalipun.

Hasrat kuasa kenyataan ini semakin memperkuat tesis purba filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None (1892), bahwa kekuasaan dan kekuatan adalah eksistensi hasrat manusia sebenarnya.

Hasrat berkuasa (the will to power) bagi Nietzsche adalah cermin dari manusia bermental tuan (ubermensch) yang selalu ingin dilayani, bukan mentalitas budak yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk melayani. Padahal, khitah demokrasi sejatinya menempatkan rakyat sebagai tuan. Rakyat di negara demokrasi adalah raja pada tataran massa.

Dengan kedaulatannya, rakyat adalah pemberi kuasa kepada pejabat. Pejabat dengan kuasa yang diberikan seharusnya diperuntukkan untuk mengabdi (baca: melayani) kepada rakyat. Sayangnya, kerja politik dan kekuasaan selama ini bukan ditundukkan pada apa yang semestinya (das sollen) itu. Realitas politik diejawantahkan hanya sebatas pertarungan kepentingan dan perebutan kekuasaan.

Terlebih, panggung politik menyediakan berbagai macam sumber daya (resources) yang berlimpah untuk bisa diperebutkan dan dikuasai.

Anthony Giddens dalam The Constitusion of Society (1984) mengungkapkan, ada dua sumber daya yang membentuk struktur dominasi, yakni sumber daya alokatif dan otoritatif. Sumber daya alokatif menyangkut penguasaan barang-barang yang bersifat materiil atau ekonomi.

Sumber daya otoritatif berkaitan dengan penguasaan terhadap individual (rakyat) atau institusional (lembaga pemerintahan) secara politis. Hasrat berkuasa seseorang cenderung didorong libido untuk menguasai kedua sumber daya tersebut.

Bung Hatta mengatakan, demokrasi tidak akan berjalan baik tanpa adanya rasa tanggung jawab. Jika deparpolisasi diterapkan, seperti kata Bung Hatta, rasanya tidak ada lagi Parpol di negeri ini, karena semuanya hampir menuju libido kekuasaan semata tanpa standar moral. Moral etika dipertaruhkan lewat media pencitraan. Tak heran jika mantan napi korupsi pun tidak malu lagi mencalonkan diri sebagai penguasa, atau mantan pemimpin gagal, berani mendikte pemimpin lainnya.(ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan