Jakarta, majalahspektrum.com – DUALISME Kepemimpinan di Sinode Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) akhirnya berdamai. Perdamaian itu dimulai saat acara Sidang Raya ke 18 PGI di Toraja, 8-14 November 2024 yang lalu. Kemudian berlanjut di kantor PGI Jl.Salemba, No.10, Jakarta pada Tanggal 19 November 2024 dimana kedua kubu GKSI dipertemukan untuk dilakukan pengundian (konklaf dalam katolik) nomor keanggotaan masing-masing kubu di PGI.
“Setelah ada kesepakatan antara dua pihak memilih berpisah dengan 4 klasual syarat yang diajukan PGI, dilakukan pengundian nomor urut keanggotaan di PGI dimana kita dapat nomor 64 sedangkan pihak sebelah nomor 105,” kata Sekum Sinode GKSI Rekonsiliasi beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, pada Sidang Raya ke 18 di Toraja, PGI menerima 7 anggota baru sinode gereja. dengan penetapan 7 anggota baru tersebut, jumlah sinode gereja yang tergabung di PGI menjadi 104 dari yang sebelumnya 97 anggota.
Dengan demikian, dengan pecah duanya sinode GKSI, yang keanggotaannya nanti di PGI wajib berganti nama sinode gereja (sesuai klasual kesepakatan), salahsatunya menjadi anggota baru dengan nomor urut terakhir yakni 105, yang penetapannya akan disahkan pada Sidang MPL PGI Tahun 2025 yang akan datang di kota Malang, Jawa Timur.
Terkait hal itu, Ketum PGI, Pdt, Dr, Jacky Manuputty menegaskan bahwa keanggotaan penuh kedua GKSI baru nanti diserahkan dan diputuskan di Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) awal Tahun 2025 di Malang.
“Jadi keputusan penuh nanti diambil oleh Sidang MPL PGI Malang. Sidang itu yang berdaulat penuh untuk menentukan penambahan keanggotaan PGI termasuk No 64 atau No 105,” kata Pdt, Jacky saat ditemui pada “Nonton Bareng Ketum PGI” Film “Mariara” di XXI Plaza Senayan, Jakarta, Rabu (27/11/2024).
Kata Pdt, Jacky, adalah kewajiban PGI menjadi mediator ketika ada sinode gereja anggotanya yang bertikai. Namun PGI tidak mencampuri kesepakaran perdamaian kedua belah pihak. dengan kata lain. PGI bukanlah juri atau hakim yang memutus perkara.
“Tugas PGI mendorong GKSI untuk berdamai dan mencari jalan keluar yang baik bagi keduanya, setelah lama berseteru,” ujar Pdt, Jacky.
“Masalahnya mungkin di tingkat elit sudah berdamai tetapi apakah di akar rumput (jemaat) langsung bisa damai? Saya kira masih perlu berjuang dan membutuhkan waktu. Saya kira PGI dan elit GKSI harus mengambil peran lebih di sini. Sesuai prinsip PGI agar gereja ada kesatuan dan persatuan, sesuai amanat Agung,” sambung Pdt, Jacky menambahkan.
Menanggapi Ketum PGI, Ketua Majelis Tinggi yang juga salah seorang pendiri GKSI, Frans Ansanay, S.H, M.Pd mengatakan dirinya telah mengajak seluruh stokeholder GKSI untuk menjaga suasana kondusif dan menjaga hubungan baik dengan GKSI pimpinan Pdt, Dr, Matheus Mangentang.
“Ya benar saya sebagai ketua Majelis Tinggi dan Pak Iwan Tangka sebagai ketua sinode telah menginstruksikan kepada seluruh pelayan dan jemaat GKSI untuk menjaga sikap sehingga tercipta suasana kondusif dan damai. Bahkan, terbuka untuk melakukan kegiatan sosial dan natal bersama,” kata Frans, yang turut hadir di acara nonton bareng itu.
“Saya meminta Tuhan mendamaikan saya dengan beliau. Bagaimanapun perseteruan ini, saya tetap mendoakan dan ingin bertemu beliau sebagai orang yang juga berjasa dalam membangun GKSI. Berdamai dalam doa karena secara fisik belum bertemu,” ungkapnya.
“Mudah-mudahan, sambung Frans, nanti ketika bertemu kita bisa saling merangkul untuk bekerja sama memajukan pekerjaan Tuhan. Prinsip kebersamaan dalam PGI itu akan kami terapkan juga,” kata Frans menambahkan.
Frans mengaku dirinya dan seluruh pengurus sinode sangat senang karena akhirnya ada perdamaian meski bentuk perdamaiannya adalah berpisah, tetapi akan tetap bekerja sama sebagai sesama anggota PGI nantinya.
“Nomor keanggotaan PGI hanya alat mempersekutukan kita dalam wadah PGI dan itu cara Tuhan memakai PGI menentukan cara penyelesaian dengan mengundi supaya terjadi rekonsiliasi sebagai sesama anggota PGI yang akan ditetapkan di Sidang MPL PGI di Malang Jawa Timur,” kata Frans.
Menurut Frabs, berpisah menjadi 2 sinode itulah rekonsiliasi yang baik agar tidak terjadi perseteruan terus menerus.
“Kami akan terus berusaha menenangkan anggota-anggota kami di lapangan untuk menjaga kondusifitas pelayanan dengan membangun kerjasama dengan pihak Mangentang,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Frans, pihaknya sudah menyampaikan soal aset tidak boleh saling mengganggu.
“Jemaat dan aset-aset di pihak Mangentang harus kita akui, itu milik mereka dan begitu juga jemaat dan aset-aset yang ada pada kita itu milik-milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita untuk kita rawat,” tegas Frans.
“Intinya, semoga dengan momen Natal di bulan Desember kita semua bisa berdamai karena kelahiran Kristus di bumi ini adalah membawa Damai Sejahtera bagi kita semua,” tandasnya. (ARP)
Be the first to comment