Jakarta, majalahspektrum.com – SEORANG warga yang berperkara karena digugat cerai isterinya di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jakarta Utara tidak berterima dengan amar putusan hakim yang dibacakan pada, Rabu (5 Januari 2022). Pasalnya, putusan perkara Nomor; 348/Pdt-G/2021 yang dipimpin hakim Tiares Sirait, SH, M.H itu dirasa janggal dan dinilai telah merampas hak anak terkait kemana sang anak memilih diasuh oleh salah satu orangtuanya yang bercerai.
“Saya merasa telah terjadi penganiayaan proses hukum terhadap saya yang dilakukan secara massif dan terorganisir sejak awal pemanggilan sidang hingga putusan. Karena hal itu, saya jadi bisa merasakan apa yang dirasakan Ahok saat divonis hakim bersalah telah menodai agama. Sama seperti Ahok saya pun berkata sambil menangis, Tuhan akan membalas mereka, waktu yang akan datanglah yang akan membuktikan siapa yang bercela dan salah, satu-satu dari mereka akan Tuhan permalukan dan mendapat hukumannya, dia dan keturunannya. Dan saya yakin akan hal itu,” kata Riyan, nama samaran Tergugat perkara tersebut, Senin (7/2/2022).
Menurut Riyan, dia dan sang anak sulungnya yang telah berumur 16 tahun 4 bulan berencana akan mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena anaknya merasa hakim telah merampas haknya dan seolah-olah paling tahu apa yang menjadi keinginan dan yang terbaik bagi dirinya.
“Akibat putusan hakim tersebut dapat menghancurkan cita-cita dan keinginan anak saya melanjutkan studi selepas tamat SMA tahun depan,” terang Riyan.
Riyan lantas berencana akan mengadukan masalah ini ke Mahkamah Yudisial dan Dewan Pengawas Hakim di Mahkamah Agung.
“Saya menduga kuat Hakim yang menyidangkan perkara ‘masuk Angin’. Ada istilah di Pengadilan, ini saya baru tahu setelah mengalaminya, bahwa Hakim masuk angin seperti Kentut, dapat dicium tetapi tidak dapat dilihat dan dibuktikan. Masuk angin bisa karena terima suap atau ada intervensi dari saudara sepupu Penggugat yang seorang Hakim. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi apalagi sekolah hukum untuk dapat menilai janggalnya putusan hakim PN Jakut tersebut,” ungkapnya.
Baca Juga : ( Pak Jokowi, Akar Kejahatan itu Karena bau Kentut di Pengadilan Masih Tercium )
Menurut Riyan, dari berbagai pendapat pakar hukum, secara umum, aturan Agama Kristen melarang pemeluknya memutus tali pernikahan (Bercerai). Kalaupun terjadi perceraian, hanya ada satu alasan yang membolehkannya, yakni perzinahan. Selebihnya, perpisahan dalam pernikahan terjadi karena kematian.
Dalam Agama Kristen, pernikahan merupakan janji suci seorang penganutnya kepada Tuhan. Oleh karena itu, janji suci itu tidak bisa diputus begitu saja karena problem yang duniawi seperti masalah ekonomi, ketidakcocokan, dan sebagainya.
Lalu, bagaimana dengan hak pengasuhan anak ketika terjadi perceraian pada pernikahan penganut Agama Kristen? Dalam Agama Kristen tidak ada aturan yang secara khusus memuat hak asuh anak setelah kedua orang tuanya bercerai. Pada praktiknya, hak pengasuhan anak pada pasangan beragama Kristen, kerap ditentukan oleh aturan adat orang tua.
Kalaupun pihak keluarga meminta persetujuan, pihak gereja bisa menentukan hak pengasuhan tersebut. Pemberian hak pengasuhan ditentukan dengan mempertimbangkan kemampuan psikis serta fisik dari masing-masing pihak. Namun Jika ingin mengacu pada pasal 105 KHI ayat c; Bagi anak yang sudah berumur di atas 12 tahun, anak tersebut boleh memilih untuk ikut kepada siapa apakah ibu ataupun ayahnya.
Selain itu itu ada beberapa hal lain, yang jadi penyebab ibu kehilangan hak asuh anak mengacu kepada Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Mengenai Perkawinan, seperti :
– Meninggalkan pihak suami dan anak, tanpa izin dan tanpa alasan yang sah, atau ada alasan lain yang diluar kemampuannya.
– Juga alasan lainnya yang dikhawatirkan, dan tidak mampu menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak-anaknya.
“Surat Pernyataan saya yang menegaskan saya siap tidak akan menikah lagi pasca cerai demi anak dan larangan firman Tuhan diabaikan hakim. Pun Surat Pernyataan anak saya yang menyatakan memilih ikut hak asuh saya selaku ayah kandungnya diabaikan. Makannya saya menduga kuat hakim dan panitera sudah masuk angin, pertimbangan dalam amar putusan seperti mencari-cari alasan pembenaran atas dasar putusannya,” bebernya.
Tak terima atas amar putusan tersebut, Riyan telah mendaftarkan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. “Moga-moga tidak sampai banding ke MA. Saya banding hanya ingin menyelamatkan anak-anak saya, khususnya anak sulung saya agar tidak terhalangi menggapai cita-citanya,” tutup Riyan. (RED)
Be the first to comment