Rantepao, Toraja. majalahspektrum.com – BERTEMPAT di kawasan wisata Kate Kesu. Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Imam Besar Masjid Istiqal yang juga Menteri Agama (Menag) RI. Prof. Dr, Nazarudin Umar membuka Sidang Raya 18 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (SR PGI), Jumat. 8 November 2024.
“Saya memang masih tetap diminta oleh Presiden sebagai imam besar Masjid Istiqlal di samping sebagai Menteri Agama. Seperti disampaikan tadi oleh sahabat saya Pdt. Gultom, rumah ibadah itu mestinnya menjadi rumah besar untuk kemanusiaan, siapapun yang membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual silahkan datang ke masjid istiqal,” kata Menag dalam pidatonya sebelum membuka SR PGI.
Kata Menag Nasarudin, ada energi spiritual pada setiap rumah ibadah. dirinya mengaku ingin berbicara dari hati ke hati dengan setiap tokoh dan umat beragama, bahwa tantangan yang kita hadapi bersama di masa depan ini adalah sangat Rumit sehingga itu bisa menjadi ancaman terhadap nilai-nilai keagamaan kita.
“Kalau kita bicara tentang lingkungan kehidupan kita sekarang ini, seolah-olah Kita ditantang untuk berpikir 1000 tahun kedepan. Tetapi kalau kita bicara tentang agama. kita diajak untuk berpikir 1000 tahun yang lampau. Kalau kita bicara tentang kehidupan kita sehari-hari, kita berbicara dengan sesuatu yang sangat rasional bahkan sangat liberal, tapi kalau kita bicara tentang agama kita berbicara sesuatu yang sangat-sangat kualitatif,” ujar Nazarudin.
Menag menegaskan, kehadirannya di Sidang Raya merupakan penekanan bahwa dirinya hadir sebagai Menteri Agama yang akan mengayomi semua agama.
“Bagi saya, Kementerian Agama itu bukan kementerian agama Islam saja, tapi kementerian seluruh agama,” ucapnya disambut dengan riuhnya penonton.
Oleh karena itu, Menag mengajak kepada seluruh pemuka dan tokoh agama yang hadir untuk bersama mengajak umat agar kembali mendekatkan diri dengan agama. Menurutnya, keberadaan agama dalam kehidupan sehari-hari mampu menjawab tantangan kehidupan sehari-hari.
“Bapak-Ibu sekalian, saya ingin berbicara dari hati ke hati sebagai tokoh agama, umat beragama. Tantangan yang kita hadapi bersama di masa depan ini sangat komplek dan sangat rumit. Sehingga itu bisa menjadi ancaman terhadap nilai-nilai keagamaan kita,” ucap Menag.
Lanjut Menag, kehidupan kita sangat kuantitatif statistik padahal agama itu sulit untuk di statistika. bicara tentang agama seperti kita bicara dengan sesuatu yang sangat permanen terkesan kaku.
“Jadi kita seperti mengalami split personality dalam dunia keagamaan, sebuah situasi yang sangat berbeda. Tapi kalau kita ke pasar kita ke kantor ada suasana kehidupan yang sangat lain. suasana ibadah yang kita rasakan di dalam rumah ibadah bagi saya semakin berjarak antara lingkungan keagamaan dengan kehidupan kita,” jelasnya.
Menag yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal menjelaskan, bahwa saat ini jika bicara tentang kehidupan itu selalu dengan sesuatu yang sangat rasional, bahkan sangat liberal. Namun jika bicara tentang agama, kita berbicara sesuatu yang sangat doktrinal, yang sangat nilai, sangat kualitatif.
“Kalau kita bicara tentang lingkungan pacu, lingkungan pacu kehidupan kita sekarang ini, dunia kehidupan kita, seolah-olah kita ditantang untuk berpikir seribu tahun ke depan. Tapi kalau kita bicara tentang agama, seolah-olah kita diajak untuk berpikir seribu tahun yang lampau,” lanjutnya.
Menurut Menag, semakin berjarak antara kehidupan kita dengan diri kita sebagai umat beragama, maka di situ juga ada masalah agama. Mestinya, lanjut Menag antara agama dan pemeluk agamanya itu jangan terlalu berjarak.
“Apapun agama kita mari kita evaluasi Apa yang perlu kita benahi,” sebutnya.
Selanjutnya Menag berharap kepada semua yang menghadiri Sidang Raya PGI agar menghasilkan jawaban-jawaban dari tantangan yang terjadi saat ini. Terutama tantangan terkait kualitas beragama dan kesolehan yang terjadi di Indonesia.
“Itulah tantangan kita bersama, sebagai umat beragama, mari kita konsisten mengajak pada umat kita semuanya, agar konsisten mengamalkan ajaran agama kita masing-masing,” tuturnya.
Lagi kata Menag, sebagai umat beragama maka disitu juga ada masalah agama. namun jangan menyebut itu kegagalan agama. Pasalnya, seringkali secara tidak sadar kita menanamkan fanatisme ke anak-anak kita.
“Misalnya ketika mendengar lagu-lagu rohani atau azan sholat di Televisi dan Radio, kita mematikan atau mengecilkn suara radio atau televisi kita,” katanya. (ARP)
Be the first to comment