Jatim Kalahkan Jabar, Ini Laporan Pelanggaran KBB SETARA Institute 2022 dan Rekomendasinya

Jakarta, majalahspektrum.com – TAHUN 2022 menjadi tahun ke-16 SETARA Institute merilis laporan dan data Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Data KBB merupakan hasil pemantauan SETARA Institute terhadap pelanggaran KBB yang terjadi sepanjang tahun 2022, yang didapat dari pelaporan korban maupun saksi, pelaporan dari jaringan SETARA Institute di berbagai daerah dan triangulasi dengan pemberitaan media.

Tidak seperti biasanya, kali ini Provinsi yang paling terbanyak terdapat pelanggaran terhadap KBB adalah Jawa Timur (Jatim). Jawa Barat yang 6 kali berturut-turut menempati nomor 1 atau teratas sebagai daerah paling intoleran kini menduduki posisi nomor 2.

Berdasarkan data SETARA Institue dalam laporannya di Jakarta, Senin (31 Januari 2023), sepanjang Tahun 2022  mencatat ada 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran KBB di Indonesia. Angka ini berbeda tipis dengan temuan peristiwa pada tahun 2021, yaitu 171 peristiwa dengan 318 tindakan. Dari 333 tindakan pelanggaran tersebut, 168 tindakan dilakukan oleh aktor negara, sementara 165 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara.

Pelanggaran KBB oleh aktor negara paling banyak dilakukan oleh pemerintah daerah2 (47 tindakan), kepolisian (23 tindakan), Satpol PP (17 tindakan), institusi pendidikan negeri (14 tindakan), Forkopimda (7 tindakan). Sedangkan pelanggaran KBB oleh aktor non-negara paling banyak dilakukan oleh warga (94 tindakan), individu (30 tindakan), ormas keagamaan (16 tindakan), MUI (16 tindakan), dan Forum Kerukunan Umat  Beragama/FKUB (10 tindakan).

“Kepala daerah takut dan menuruti kemauan Ormas intoleran,” kata Syera Anggreini Buntara, Peneliti Kebebasan Beragama/Berkeyakinan  SETARA Institute

Masuknya FKUB sebagai top 5 aktor non negara dengan pelanggaran KBB terbanyak menunjukkan bahwa alih-alih  menjalankan peran fasilitasi pendirian rumah, cukup banyak FKUB  yang masif pasif dan justru mempersulit persyaratan pendirian tempat ibadah.

Baca Juga : ( Unik, di Cilegon ada FKUB Tetapi Tak Ada Rumah Ibadah Lain Selain Islam )

  1. Highlight dan Tren Peristiwa  

Secara umum, terdapat tiga highlight kondisi KBB 2022. Pertama, tren pelanggaran pada 2022 menunjukkan kasus gangguan tempat ibadah  terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam enam tahun terakhir.  Sepanjang tahun 2022, terdapat 50 tempat ibadah yang mengalami gangguan. Temuan ini adalah angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan lima tahun terakhir, yaitu 44 (2021), 24 (2020), 31 (2019), 20 (2018)  dan 16 (2017). Dari 50 rumah ibadah yang mengalami gangguan pada  tahun 2022, gangguan terhadap Gereja masih yang terbanyak.

Kedua, tren pelanggaran pada 2022 juga menunjukkan penggunaan delik penodaan agama mengalami peningkatan cukup signifikan, yaitu dari  10 kasus pada tahun 2021 menjadi 19 kasus pada tahun 2022. SETARA  Institute memposisikan penggunaan delik penodaan agama dalam suatu  peristiwa adalah pelanggaran, karena seharusnya delik penodaan agama  tidak digunakan oleh penegak hukum dan seharusnya dihapus dari  khazanah hukum Indonesia.

Ketiga, penolakan ceramah untuk pertama  kalinya muncul sebagai top 5 (lima teratas) pelanggaran KBB oleh aktor non-negara. Penolakan ceramah mengalami kenaikan sangat pesat  dibanding tiga tahun terakhir, dari masing-masing 1 peristiwa pada tahun  2020 dan 2021 hingga menjadi 14 peristiwa pada tahun 2022.

III. Detail Tindakan 

Lima tindakan pelanggaran KBB terbanyak yang dilakukan oleh aktor  negara adalah diskriminasi (40 tindakan), kebijakan diskriminatif (25  tindakan), pelarangan usaha (18 tindakan), penolakan pendirian tempat ibadah (13 tindakan), dan pentersangkaan penodaan agama (10 tindakan).

Pada tahun 2022 ini, penolakan pendirian tempat ibadah menempati  peringkat 3 besar dan menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan  dibandingkan data tiga tahun terakhir. Mayoritas penolakan pendirian tempat ibadah didominasi alasan pemenuhan Peraturan Bersama 2 Menteri No 9 dan No  8 Tahun 2006, yang mensyaratkan 90 pengguna tempat ibadah dan 60  dukungan dari warga setempat. Sedangkan dalam kasus-kasus lainnya, meskipun persyaratan tersebut sudah terpenuhi, tetapi penolakan dari  masyarakat setempat masih terus terjadi, sehingga tempat ibadah tetap  tidak diizinkan untuk dibangun. Hal ini terlihat dari kasus Gereja HKBP  Maranatha di Cilegon, Masjid Taqwa milik Muhammadiyah di Bireuen Aceh,  dan GPIB Pancoran Rahmat di Kota Depok.

Baca Juga : ( Masjid di Taput VS Gereja di Cilegon )

Sedangkan Enam tindakan pelanggaran KBB terbanyak yang dilakukan  oleh aktor non-negara mencakup penolakan pendirian tempat ibadah (38  tindakan), intoleransi (37 tindakan), pelaporan penodaan agama (17  tindakan), pelarangan ibadah (15 tindakan), penolakan ceramah (14  tindakan), dan perusakan tempat ibadah (7 tindakan).

  1. Korban Pelanggaran 

Sepanjang tahun 2022, SETARA Institute mencatat pelanggaran KBB  paling banyak dialami oleh individu (41 peristiwa), warga (34 peristiwa), umat Kristiani (33 peristiwa; 30 peristiwa dialami umat Kristen dan 3  peristiwa dialami umat Katolik), pengusaha (19 peristiwa), pelajar (13  peristiwa), umat Islam (12 peristiwa), umat Buddha (7 peristiwa), Jemaat  Ahmadiyah Indonesia (6 peristiwa), dan penghayat kepercayaan (6  peristiwa).

  1. Sebaran Wilayah Terjadinya Pelanggaran  

Ditinjau dari sebaran peristiwa pelanggaran, terdapat pergeseran tren di  mana Jawa Timur menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan  pelanggaran KBB terbanyak dengan 34 peristiwa pelanggaran. Jawa  Timur untuk pertama kalinya menggeser Jawa Barat yang selalu konsisten menempati posisi pertama sejak pertama kali SETARA Institute merilis data  KBB pada tahun 2007.

Penyumbang terbanyak pelanggaran di Jawa Timur adalah penolakan ceramah (8 peristiwa), penolakan pendirian tempat ibadah (6 peristiwa), kebijakan diskriminatif (4 peristiwa), dan pelaporan  penodaan agama (3 peristiwa). Setelah Jawa Timur, 3 besar diikuti oleh Jawa Barat  (25 peristiwa) dan DKI Jakarta (24 peristiwa).

Dalam pandangan SETARA Institute, naiknya posisi Jawa Timur menjadi  peringkat pertama provinsi pelanggaran KBB terbanyak setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, masih kuatnya stigma terhadap  tradisi agama-agama atau kebudayaan leluhur yang menyebabkan beberapa kelompok melakukan aksi-aksi penolakan terhadap tradisi agama  atau kebudayaan leluhur tersebut, seperti penolakan maupun perusakan  sesajen dan dupa.

Kedua, di sisi yang lain, kuatnya organisasi Nahdlatul  Ulama di Jawa Timur memperkuat soliditas penolakan terhadap  penceramah-penceramah yang selama ini dikenal mengancam  kemajemukan (pluralisme) dan praktik keagamaan yang melekat dengan budaya Nusantara yang dijunjung oleh Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, dalam  perspektif HAM, penolakan-penolakan ceramah tetap merupakan  pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat, sehingga  tetap tidak dapat dibenarkan.

Adapun bergesernya posisi Jawa Barat dari peringkat satu ke peringkat  kedua dimungkinkan disebabkan oleh tidak aktifnya organisasi Front  Pembela Islam (FPI), yang tampak memberikan efek jera bagi pengikutnya  untuk tidak menjalankan ‘dakwah’ sehingga berkontribusi terhadap  menurunnya jumlah pelanggaran KBB di provinsi tersebut. Seperti diketahui, Jawa Barat  selama ini menjadi arena ‘dakwah’ utama bagi FPI dan organisasi  sejenisnya, seperti Gerakan Reformis Islam (GARIS) dan Aliansi Nasional  Anti Syiah (ANNAS).

Baca Juga : ( Cilegon Layak Disebut Kota Intoleran Rumah Ibadah Tapi Toleran Kepada Rumah Maksiat )

  1. Proyeksi Tahun 2023 

SETARA Institute mengamati beberapa variabel yang dapat memengaruhi kondisi KBB di Tahun 2023. Pertama, disahkannya KUHP pada  Desember 2022 tentu akan berdampak pada KBB, mengingat beberapa  pasal dalam KUHP tersebut masih mengedepankan perlindungan terhadap  agama/kepercayaan, yang mana tidak selaras dengan prinsip HAM yang  seharusnya menjunjung perlindungan terhadap individu (orang) beragama/berkeyakinan.

Kedua, potensi politisasi identitas menjelang  pemilu 2024 dapat memperburuk KBB, terutama dalam bentuk persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan menguatnya kehendak politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas.

VII. Rekomendasi Kebijakan 

  1. Presiden Joko Widodo memperkuat kepemimpinan toleransi dan  mengakselerasi kebijakan tata kelola inklusif untuk memunculkan gerak  pemerintahan yang masif dari pusat hingga daerah guna mengatasi  permasalahan-permasalahan KBB secara efektif, termasuk gangguan tempat ibadah. Pernyataan Presiden Joko Widodo pada tanggal pada  tanggal 17 Januari 2023 yang menegaskan KBB semua pemeluk agama/kepercayaan  dijamin dalam Konstitusi harus ditindaklanjuti dengan kebijakan dan tata kelola konkret, sehingga memastikan seluruh jajarannya dapat menegakkan jaminan KBB dalam Kontitusi tersebut, termasuk  memastikan kepala daerah patuh pada Konstitusi.
  2. Pemerintah pusat dan daerah mengefektifkan penanganan kebijakan  diskriminatif yang sering menjadi justifikasi bagi kelompok tertentu  untuk mempersekusi minoritas. Kebijakan diskriminatif dalam berbagai  bentuknya, baik yang existing dari tahun-tahun sebelumnya maupun  yang terbit pada periode riset ini, telah secara nyata mengakselerasi  peningkatan jumlah peristiwa pelanggaran KBB.
  3. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri agar segera mengkaji ulang  Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM 2  menteri) No 9 dan 8 Tahun 2006. Pasal-pasal persyaratan pendirian  rumah ibadah dalam PBM 2 menteri tersebut, khususnya syarat  minimal 60 dukungan warga yang menuntut penegakan disiplin bahwa  dukungan boleh berasal dari warga dengan agama/ kepercayaan yang  berbeda, sebagaimana desain awal PBM ini.
  4. Menteri Agama meninjau ulang desain dan kinerja Program Moderasi Beragama, yang saat ini telah diinstitusionalisasikan dengan pembentukan badan khusus, sehingga di lapangan tidak menimbulkan  dan memicu konflik baru antarsesama agama dan antarsesama anak bangsa.
  5. Menteri Dalam Negeri memastikan pengarusutamaan inclusive  governance bagi pemerintahan daerah, dengan menerbitkan kebijakan  khusus tata kelola yang inklusif dalam mengelola kemajemukan  republik.
  6. Polri agar mengintensifkan pemantauan tindakan ujaran kebencian dan  hoaks, yang sering menjadi sarana untuk mempersekusi kelompok  minoritas, terutama menjelang pemilu, dengan pendekatan dialogis dan  preventif, sehingga tidak menimbulkan pelanggaran HAM baru pada  kebebasan berpendapat dan berekspresi. (ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan