Masjid di Taput vs Gereja di Cilegon

Jakarta, majalahspektrum.com – SOAL Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), Sumatera Utara dapat dijadikan rujukan atau contoh bagi Kota Cilegon. Membangun rumah ibadah umat Islam seperti Masjid dan Mushala di Taput tidaklah sulit. Tidak ada warga yang protes apalagi meyegel bangunan Masjid atau Mushala. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau syarat sesuai Peraturan Bersama Meneteri (PBM) pengganti SKB 2 Menteri tak pernah ditanyakan.

Berbanding terbalik dengan susahnya mendirikan gereja di Kota Cilegon Banten. Sudah mengurus syarat mendirikan rumah ibadah sesuai PBM pun masih ditolak dan sulit keluar ijin. Jangankan gereja yang uamat Kristianinya mayoritas kedua di Cilegon, rumah ibadah umat beragama lain pun tak ada yang berdiri di sana. Artinya tak ada satu pun rumah ibadah umat beragama lain selain Masjid dan Mushala di Cilegon.

Di Taput, jumlah umat Islam hanya sebanyak  4,7%, atau 15.269 jiwa. Namun di sana ada 58 Masjid dan 10 Mushala, yang jika dihitung rata-rata 1 masjid dihuni 250 jiwa umat Muslim. Setiap Kecamatan di Tapanuli Utara ada sedikitnya 1 Masjid, tidak pernah terdengar adanya protes terhadap berdirinya masjid dan tidak pernah ada yang yang menanyakan IMB nya, baik dari warga maupun pemerintah setempat. Tidak ada yang minta masjid dibongkar dan tidak ada warga Kristiani yang khawatir terjadi islamisasi di sana.

Bahkan ada satu masjid berdiri di Taput yang 99% warga di sekelilingnya umat Kristen. Namun masjid tersebut tidak diganggu. Warga di sana sadar bahwa beribadah adalah hak semua manusia. Bahkan warga tak sungkat, dengan kesadaran merawat dan memebersihkan masjid.

Contoh teladan toleransi pun ditunjukan oleh pemimpin pemerintahan di sana. Tahun lalu Bupati Taput, Nikson Nababan hadir buka puasa bersama di Masjid Tuan Syekh Ibrahim Sitompul dan hadir meresmikan Masjid Al-Musafirin.

Apa yang terjadi di Taput berbanding 180 derajat dengan di Kota Cilegon. Ada 7.000 jiwa umat Kristen protestan dan 1.620 jiwa umat Katholik namun tak ada satu pun gereja di sana. Contoh intoleran pun dipertontonkan oleh pemimpin pemerintah di sana. Mulai dari Lurah, Camat hingga Wali Kota menghalangi berdirinya Rumah ibadah umat beragama lain selain muslim di sana.

Baca Juga : ( Cilegon, Layak Disebut Kota Intoleransi Rumah Ibadah Tetapi Toleran Rumah Maksiat )

Miris memang saat  Walikota dan Wakil Walikota Cilegon, yang notabene adalah aparatur pemerintah, justru ikut menandatangani kain putih sebagai tanda penolakan berdirinya gereja, dengan alasan klasik yakni tekanan massa.

Yang paling unik dan anehnya lagi, di Kota Cilegon ada FKUB yang notaene anggotanya berisi perwakilan dari berbagai tokoh agama tetapi tak ada satu pun rumah Ibadah agama lain di sana.

Baca Juga : ( Unik, di Cilegon ada FKUB tetapi Tidak ada Rumah Ibadah Lain Selain Islam )

Ada 455,72 ribu jiwa (97,64%) umat muslim di Cilegon. Jumlah fantatis ini sangat mungkin dimanfaatkan politisi yang biasanya memakai politik identitas untuk meraih kekuasaan sebagai kepala daerah (Wali Kota) di sana saat Pilkada. Sudah barang tentu politisi Yang haus kekuasaan akan menanamkan nilai-nilai fanatisme agama (bila perlu mengarang cerita mengandung nilai fanatisme agama)dan berlagak paling Islami dalam kampanyenya agar dipilih. Namun tak disadari akhirnya menimbulkan intoleransi neragama kepada warga.

Padahal dalam konteks Indonesia, sejak berlakunya UUD 1945, rumusan Pasal 29 ayat (2) telah menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Amandemen UUD 1945 kemudian mengatur lebih jelas tentang kewajiban negara terhadap HAM maupun kebebasan beragama berkeyakinan. Pasal 28I ayat (4) mengatur perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Pasal ini menjadi sumber komitmen Indonesia terhadap HAM dan juga asal usul kewajiban Pemerintah.

Lebih lanjut Pasal 28I ayat (5) menyatakan untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini adalah turunan dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya, berjalannya negara diatur dan harus sesuai dengan hukum. (ARP)

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan