Jakarta, majalahspektrum.com – OTONOMI Khusus (Otsus) Papua akan selesai pada bulan November Tahun 2021 mendatang. Namun polemiknya telah bergulir saat ini. Isu tentang Otsus Papua ini, menurut Ketua Badan Musyawarah (Bamus) Adat Papua-Papua Barat, Willem Frans Ansanay, S.H, sarat dimanfaatkan oleh kelompok yang anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kalau ada kelompok yang ingin Otsus Papua dicabut, mereka itu ngak ngerti apa-apa atau ikut-ikutan saja tolak otsus. Lihat dahulu maksud dari tuntutan cabut otsus tersebut?, siapa mereka?. Mereka itu kelompok separatis yang ingin Papua lepas dari Indonesia,” kata Frans saat ditemui majalahspektrum.com di kediamannya, Kampung Makasar, Jakarta Timur, Senin (17/8/2020) petang.
Dikatakan Frans, pemerintah pusat tidak akan dan mau menjawab tuntutan sekelompok orang Papua yang sudah jelas tujuannya agar Papua lepas dari NKRI.
“Kelompok radikal atau separatis di Papua ini selalu memanfaatkan isu yang terkait Papua untuk menekan pemerintah dengan tujuan memisahkan Papua dari Indonesia,” terangnya.
Lagi menurut Frans, mereka yang menolak Otsus Papua tidak representative masyarakat Papua. Jika Otsus Papua mau dicabut harus dilakukan penelitian dan survey terlebih dahulu dan masyarakat Papua harus tahu dampaknya.
“Urgentsinya Otsus Papua dicabut atau ditolak itu apa?, harus tahu dulu histori adanya otsus Papua. Otsus Papua itu bukan pemberian dari pemerintah pusat tetapi yang diminta oleh orang Papua melalui legislative,” tukas Frans Ansanay.
Baca Juga : ( Legialator dan Mahasiswa Papua Tolak Otsus Papua )
Diutarakan Frans, memang ada baik buruknya Otsus Papua, namun tidak harus dicabut atau ditolak tetapi direvisi. Untuk merevisi hal itu, usul Frans, dapat melalui perwakilan masyarakat Papua yang mengerti akan kebutuhan masyarakat Papua.
“Kalau rancangan Otsus Papua dibawa ke lapangan libatkan orang Papua akan bias dan penujukan orang yang mewakili akan atas dasar suka tidak suka, cukup perwakilan saja, seperti anggota DPR dan DPD RI dari daerah pemilihan Papua dan Papua Barat, Tokoh Adat, Masyarakat dan gereja dikumpulkan saja dari tiap daerah mewakili 7 suku besar di Papua bertemu Presiden,” usulnya.
“Kasih waktu 1 tahun kepada mereka untuk membahas rancangan Otsus Papua yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat Papua sebelum menghadap Presiden. Tetapi para perwakilan tersebut harus yang paham UU Otsus Papua jangan yang punya agenda lepas dari NKRI,” lanjut Frans.
Untuk perwakilan dari 7 suku besar yang ada di Papua, kata Frans, sebaiknya diisi oleh perwakilan yang intelek dan mewakili unsure pemuda, perempuan, tokoh adat /masyarakat dan tokoh agama (gereja).
“Kalau perwakilan tiap suku tersebut 5 orang saja cuma 35 orang, lebih mudah mendiskusikan rumusan UU Otsus Papaua bukan?. Setelah dibawa ke Presiden, Presiden punya kewenangan mengeluarkan Perpu, lalu dibawa ke DPR untuk dipertimbangkan,” ujar Frans.
Selain itu, Frans mengusulkan ada Parpol local di Papua seperti di Aceh. Hal itu, menurut dia, untuk mempermudah orang Papua menyalurkan aspirasinya.
“Yang begini saja yang direvisi. Dengan demikian yang menjadi kepala daerah di Papua adalah orang asli Papua, kalau ke bawah-bawahnya bisalah orang suku lain yang sudah lahir dan besar di Papua,” katanya.
Frans berharap pemerintah hanya mau berbicara tentang Papua dengan orang-orang yang ingin Papua maju bukan dengan orang-orang yang punya agenda refrerendum dengan alasan apapun.
“Papua itu jangan lagi dibangun dengan isu-isu politik tetapi harus dibangun dengan kesadaran SDM di bidang Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, Pembangunan dan potensi Sumber Daya Alam. Kalau isu politik itu dilatarbelakangi kepentingan,” harapnya.
Sebelumnya, sejumlah mahasiswa asal Papua dan politisi berdemo di kantor Kemendagri. Mereka menyatakan menolak Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua.
Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Willem Wandik menegaskan, selama ini masyarakat Papua tidak dilibatkan secara langsung dalam membahas nasib dan kondisi di Tanah Papua, termasuk tidak dilibatkan dalam pembahasan Otsus Papua.
Willem Wandik yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (Ketum DPP GAMKI) ini menyikapi memanasnya kepentingan terkait Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua.
“Kami menolak Otsus, selagi Pemerintah Pusat tidak duduk bersama dengan Rakyat Papua. Harus mau dan harus duduk bersama-sama, membahasnya secara langsung dan terbuka,” ujar Willem Wandik, Selasa (11/08/2020).
Menurut Willem Wandik, selama ini Otsus Papua diributkan oleh segelintir pihak saja. Tidak pernah dengan sungguh-sungguh diberikan langsung bagi masyarakat Papua itu sendiri. Oleh karena itu, lanjutnya, gelombang penolakan terhadap Otsus Papua tidak terhindarkan. Sebab, selama ini Otsus hanya dijadikan bancakan oleh segelintir elit saja.
Pada, Senin (10/08/2020), ratusan Mahasiswa Asal Papua menggeruduk kantor Kemendagri di Jakarta Pusat. Para demonstran yang mengatasnamakan dirinya Aliansi Mahasiswa Tolak Otsus itu menuding Mendagri Tito Karnavian telah dengan sengaja menipu Rakyat Papua.
“Otonomi Khusus Papua yang akan selesai di bulan November tahun 2021 mendatang. Dan itu, sejak sekarang sudah dijadikan polemik,” ujar salah seorang mahasiswa Papua yang melakukan orasi.
Baca Juga : (Terkait Otsus, Ini Solusi Agar Orang Papua Tak Rentan Diprovokasi Kelompok Anti NKRI)
Para demonstran mengatakan, Pemerintah Indonesia telah membohongi Papua dengan skema Otonomi Khusus.
“Pemerintah Indonesia, membohongi Masyarakat Papua dengan memberikan Otonomi Khusus. Katanya Otsus itu untuk mensejahterakan Masyarakat Papua. Dimana? Dimana kesejahteraan yang dimaksud Pemerintah Indonesia?” lanjut Pria yang tak bersedia dituliskan namanya itu.
Menurut orator aksi Aliansi Mahasiswa Tolak Otsus Papua itu, Orang Papua sudah menjadi bangsa sendiri sejak tahun 1961. “Dan Papua bukan Merah Putih, melainkan Bintang Kejora,” tandasnya.
Dia mengatakan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melakukan lobi-lobi politik dengan segelintir Tokoh-Tokoh Adat Papua, agar menyetujui Otonomi Khusus itu. “Kami mewakili Masyarakat Papua, untuk menyampaikan aspirasi Masyarakat Papua,” tandasnya. (ARP)
Be the first to comment