Pencabutan IMB gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) oleh Bupati Bantul, Yogyakarta boleh dikata sebagai salah satu lagi contoh adanya “nasionalisme gadungan” seperti yang diungkapkan Ketum PSI, Grace Natalie.
Padahal, Bupati Bantul Suharsono merupakan pensiunan seorang perwira menengah Polri dengan pangkat terakhir Komisari Besar (Kombes). Polri diyakini merupakan aparatur negara yang nasionalismenya tidak digarukan lagi karena dalam sumpah jabatannya sewaktu menjadi anggota Polri setia kepada Pancasila dan UUD’45.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menyebut ada kaum nasionalis gadungan. Ia dengan berapi-api menuding adanya orang yang mengaku nasionalis tetapi sebenarnya tidak nasionalis.
Grace berpidato di acara Festival 11 Jogjakarta di Jogja Expo Center pada, Senin (11/2/2019) lalu. Judul pidato politiknya adalah ‘Musuh Utama Persatuan Indonesia’.
“Nasionalis gadungan adalah semua partai politik atau orang yang mengategorikan nasionalis, tetapi ketika ada peristiwa-peristiwa intoleransi diam saja. Bahkan dalam banyak kasus justru partai-partai nasionalis yang paling rajin merancang, merumuskan sampai menggolkan perda-perda diskriminatif di hampir seluruh kabupaten/kota. Itu nasionalis gadungan,” kata Grace kala itu seperti dikutip dari laman viva.com.
Dilansir dari laman tempo.co, Rabu (31/7/2019), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyebutkan serangkaian intimidasi dan serangan terhadap Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Kecamatan Sedayu, Bantul.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara telah datang ke Gereja Pantekosta Sedayu dan bertemu dengan Pendeta Tigor Yunus Sitorus untuk meminta keterangan setelah mendapatkan pengaduan tentang penolakan gereja.
Temuan awal Komnas HAM, kata Beka menunjukkan ada intimidasi dan serangan terhadap Gereja Pantekosta Sedayu. Intimidasi itu bentuknya berupa spanduk penolakan gereja. Selain itu, rumah Pendeta Tigor Yunus Sitorus dirubuhkan sekelompok orang.
“Gereja mendapatkan tekanan massa. Kami sudah memproses pengaduan mereka,” kata Beka ketika dihubungi, Selasa, 30 Juli 2019.
Komnas dalam waktu dekat akan menerjunkan timnya kembali untuk menganalisa temuan awalnya itu secara komperehensif. Pendeta Tigor Yunus Sitorus sebagai pemilik bangunan mengurus IMB gereja sejak 2017. Lalu pada 15 Januari keluarlah surat izin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu bernomor 0116/DPMPT/212/l/2019 tersebut. Semula bangunan gereja itu menjadi tempat tinggal Sitorus bersama istri dan anaknya.
Sejak 2003, Pendeta Tigor berniat untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat ibadah. Namun terganjal karena penduduk yang mayoritas Muslim menolak. Ada sekelompok orang yang merobohkan bangunan yang Tigor dirikan. Ia kemudian melaporkan kejadian itu kepada ketua RT. Pendeta Tigor lalu terpaksa menandatangani surat pernyataan yang isinya menyatakan rumah miliknya tidak untuk tempat ibadah.
Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Yogyakarta Agnes Dwi Rusjiyati yang menjadi juru bicara Gereja Pantekosta menyatakan gereja telah memberikan keterangan peristiwa intimidasi, dokumen IMB yang gereja miliki, dan surat pencabutan IMB oleh bupati Bantul. Selain mengadukan intimidasi dan pencabutan IMB itu, Agnes juga sedang menyiapkan langkah membawa persoalan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara bila bupati tidak membatalkan keputusannya mencabut IMB.
Dampak dari pencabutan izin pendirian Gereja Pantekosta Sedayu adalah pendeta besarta jemaatnya terpaksa menumpang ibadah ke Gereja Kristen Jawa yang berjarak satu kilometer dari Gereja Pantekosta. Padahal, kedua gereja tersebut punya tata cara ibadah yang berbeda. “Kami harus ibadah secara bergantian,” kata Pendeta Tigor Yunus Sitorus.
Keputusan Bupati Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Suharsono mencabut izin pendirian pendirian Gereja Pantekosta Sedayu menurut Beka tak berdasar karena gereja tersebut telah mengurus izin sesuai prosedur.
Langkah bupati, Beka menilai sebagai kemunduran penghormatan terhadap kebebasan beragama. “Bupati kalah dengan tekanan massa,” kata Beka
Pemkab Bantul berdalih IMB itu terbit karena petugas tidak cermat dalam mengecek persyaratan. Bupati Bantul Suharsono mencabut izin pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel kecamatan Sedayu dengan alasan melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pemberian IMB rumah ibadah.
“Saya cabut karena ada unsur yang tidak terpenuhi secara hukum,” kata Suharsono, Bupati Bantul yang diusung oleh partai Gerindra dan PKB saat Pilada 2015 ini.
Suharsono meneken surat pencabutan IMB rumah ibadah tersebut pada Jumat, 26 Juli 2019. Dia beralasan Gereja Pantekosta tersebut menjadi satu dengan rumah tinggal Pendeta Tigor Yunus Sitorus sehingga tak bisa difungsikan untuk ibadah. Gereja, kata Suharsono seharusnya tidak boleh sekaligus untuk tempat tinggal.
Diketahui, Bupati Bantul Suharsono akan maju kembali dalam Pilkada serentak 2020. Santer dikabarkan dia akan bersaing ketat dengan Wakilnya saat ini yang diusung partai PKB. Bila tak ada dukungan dari Parpol mengusung dirinya, bisa jadi Suharsono maju melalui jalur independen.
Untuk maju sebagai calon independen pada suatu Pilkada dibutuhkan sejumlah dukungan masyarakat yang ditandai dengan menyerahkan KTP. Atas dasar ini, bisa jadi langkah yang diambil Suharsono terkait pencabutan IMB gereja sebagai strategi politik untuk mencari dukungan.
Ibarat sebuah pepatah yang mengatakan, “Sekali Mendayung, 2-3 Pulai terlalui”, bisa jadi Suharsono ingin mendapat dukungan dari warga gereja dengan imbalan pemberian IMB atau kebebasan beribadah dan dukungan dari kelompok intoleran yang menolak keberadaan gereja, bukan sebagai nasionalis gadungan. Semoga!?. (ARP)
Be the first to comment