Politik Identitas dan Meningkatnya Ujaran Kebencian berbau SARA Setiap Tahun

Jakarta, majalahspektrum.com – DARI tahun ke tahun, ujaran kebencian berbau Suku, Agama, Ras dan Antar golongan terus meningkat. Beberapa kasus besar yang kita ketahui sudah diproses hukum dan pelakunya di penjara. Politik identitas yang membuat polarisasi di masyarakat, khusunya pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, disinyalir sebagai pemicu tingginya kasus ujaran kebencian dari tahun ke tahun.

Bedasarkan data Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Tahun 2017,  terdapat 542 kasus SARA, Penghinaan 382 kasus, Hoax 5 kasus dan Persekusi 105 kasus. Di Tahun 2020-2021 Kepolisian ada 443 kasus Hoax dan ujaran kebencian. Sementara dari data Kemkominfo dari Tahun 2018-2021 terdapat 3.640 ujaran kebencian berbasis SARA.

Ujaran kebencian dan kampanye politik identitas marak ditemui di media-media social (Medsos). Sudah ribuan akun medsos dan website diblokir oleh Kemkominfo hingga kini. Masyarakat kita harus terus diberi edukasi tentang bijak menggunakan medsos, “Saring sebelum Shearing”.

Bukan cuman medsos, media-media umum, khususnya media online pun sering kali dalam pemberitaannya melakukan provokasi yang mengundang terjadinya ujaran kebencian dan prilaku intoleran. Entah karena ada kontrak politik dukung-mendukung calon, atau memang redaksi di media tersebut dimiliki atau dihuni oleh para kaum intoleran pula.

Ledakan ujaran kebencian dan kasus SARA dapat terjadi pada masa Pemilu 2024, yakni sejak akhir Tahun 2023 hingga pencoblosan Febuari 2024. Penyebabnya, jika calon Presiden yang diusung pada kontestan Pilpres adalah penganut politik identitas yang didukung oleh kaum intoleran yang kerap memakai agama sebagai bahan kampanye.

Baca Juga : ( Politik dan Diskriminatif Kepala Daerah Jadikan Kota Depok Sebagai Daerah Paling Intoleran )

Untuk mencegah ledakan kasus ujaran kebencian dan keributan berbau SARA, khususnya sentiment agama, dibutuhkan kesadaran tokoh penentu Capres yang ada di Partai Politik untuk tidak mengusung calon intoleran atau penganut politik identitas. Rakyat pun harus cerdas dalam memilih para tokoh politik nasional yang layak menjadi calon presiden, jangan asal usung (karena fulus) padahal berpotensi memecahbelah bangsa.

Aturan 20 % suara partai politik untuk mengusung calon Presiden pada Pilpres 2024 sesungguhnya dapat dimanfaatkan partai politik berbasis Nasionalis, atau Parpol yang komitmen dengan keberagaman dan Kebangsaan untuk tidak mengusung Capres berhaluan politik identitas. Atau paling tidak, jangan berkoalisi dengan Parpol yang selama ini dikenal dengan Parpol yang sering melakukan politik identitas dan sehingga tak ada Capres politik identitas yang dapat ikutan dalam Pilpres 2024.

Kesadaran masyarakat untuk tidak memilih Parpol intoleran dan yang kerap memainkan politik identitas juga dibutuhkan, agar parpol macam itu tidak memiliki kursi di DPR RI dan utamanya tidak dapat mengusung pemimpin daerah dan nasional.

Akhirnya, jika kita masih sayang dengan NKRI, Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tunggal Ika, mari bersama kita secara massif mendengungkan anti intoleran dan anti politik identitas dan melakukan penyadaran kepada setiap warga masyarakat agar Negara Indonesia yang kita cintai ini selamat dari perpecahan dan kehancuran. Semoga!. (ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan