Jakarta, majalahspektrum.com – GUBERNUR DKI Jakarta, Anies Baswedan tak pernah sepi dari kecaman. Mulai dari penanganan banjir di Jakarta, Kemasetan, PKL dan parkir liar, APBD yang tak masuk akal, Formula E dengan pembabatan pohon di Monas dan kini soal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta.
Sistem penerimaan siswa baru untuk SMP, SMA dan SMK tahun ajaran baru 2020-2021 di DKI Jkarta banyak dikeluhkan orangtua murid. Pasalnya, mereka menyesalkan anak mereka kalah bersaing untuk masuk sekolah negeri, khususnya sekolah negeri favorit atau unggulan hanya karena faktor usia meski nilai anaknya lebih bagus dari siswa yang diterima karena umurnya lebih tua.
“Gimana gak sedih anak saya paling tinggi nilainya di sekolah tapi tidak diterima hanya soal umur, sampai anak saya nangis,” ujar Maryati menceritakan kesedihan dia dan anaknya.
Akibat aturan yang dinilai tak adil dan tak ada manfaatnya tersebut, para Orangtua murid di Jakarta melakukan aksi damai ke Balai Kota, tempat Anies berkantor sebagai Gubernur Jakarta. Mereka menuntut agar Anies menghapus prioritas usia dalam aturan PPDB DKI Jakarta.
“Pak Anies yang mengesahkan dari juknis dari Disdik DKI,” ujar Tita Soedirman selaku koordinator para orang tua siswa itu saat berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (23/6/2020).
Tita bersama para orang tua siswa itu mengaku tergabung dalam Gerakan Emak-Bapak Peduli Keadilan dan Pendidikan (Geprak). Tita mengaku unjuk rasa itu dilakukan karena audiensi yang sebelumnya dilakukan bersama Anies tidak membuahkan hasil yang diinginkannya, yaitu menghapus aturan prioritas usia di PPDB DKI.
“(Anies) tetap tidak ingin mengubah dari keputusan yang ada,” kata Tita.
Para pendemo berharap Pemprov DKI mengubah aturan PPDB yang memprioritaskan usia itu. Menurutnya, aturan tersebut tidak sesuai dengan Permendikbud Nomor 44 mengenai zonasi.
“Ini tuntutannya untuk menghapuskan usia pembatasan usia pada jalur masuk PPDB untuk khusus DKI dan mengembalikan pada Permendikbud Nomor 44 mengenai zona jarak. Jarak yang dipakai seperti yang dipakai dalam aturan itu menuju sekolah, bukan jarak menurut kelurahan, karena di daerah lain juga sesuai dengan Permendikbud, sesuai jarak rumah ke sekolah. Kalau memang menerima usia yang lebih tua tidak dicampur kuotanya dengan anak-anak lulus dengan normal usianya,” ujar Tita.
“Keluar, Pak Anies…, keluar,” pekik salah atau perwakilan orang tua lainnya dari Jakarta Utara, Devi Renitasari.
Sekarang saya dari pagi di sini, dia (Anies) bisa duduk di situ karena siapa? Karena warga, karena masyarakat, dia dipilih bukan asal naik saja. Pada saat mau pemilihan, dia bisa kok blusukan, dia bisa turun. Kenapa pada saat ingin menyuarakan suara kita yang tidak adil buat kita, kenapa dia susah?,” sambung Devi
“Ya, kami kecewa. Kami sangat kecewa, terutama saya, kenapa susah sekali (Anies menemui warga). Pada saat ingin dipilih, (dia) menyuarakan suara hatinya, ‘pilih saya, saya akan begini, saya akan begitu’, apakah itu janji-janji? Kita di sini tidak perlu janji, yang kita perlukan bukti. Tolong aspirasi masyarakat ini didengarkan. Paling nggak, ada sopan santun. Orang tua mengajarkan sopan santun, siapa pun tamu yang datang, silakan masuk,” kata Devi lagi.
Baca Juga : (Bukti Keputusan Jokowi Pecat Anies Sebagai Mendikbud Tepat )
Kecaman terhadap kebijakan Anies soal PPDB DKI Jakarta juga datang dari Ketua Umum Relawan Advokasi Pendidikan Indonesia (RAPI INDONESIA), Syah Dinihari, SH. Melalui siaran persnya (21/6/2020) di Jakarta, Hari, begitu ia biasa dipanggil, mengatakan pemerintah dalam membuat sistem harus berlandaskan keadilan sosial sehingga tidak menimbulkan kerugian terhadap siswa-siswa sekolah yang sudah bertahun-tahun berjuang di sekolah untuk mendapatkan nilai yang bagus.
“Ini akan menjadi preseden yang buruk, di mana orangtua dan siswa akan beranggapan tidak perlu pintar bersekolah itu yang penting umurnya tua bisa masuk sekolah negeri. Dan jika ini terjadi maka sistem pendidikan di Indonesia terancam ambruk,” tegas Hari, mantan aktivis 98 dari organisasi Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (KOMRAD).
Hari juga menyampaikan keluhan dari tenaga pendidik yang mengeluhkan sistem penerimaan siswa baru yang ada saat ini dinilai diskriminatif. Sekolah negeri dipaksa untuk menerima siswa dengan jalur afirmasi yang lebih terkesan menurunkan kualitas pendidikan di sekolah negeri.
Sementara sekolah swasta bonafid tidak ada aturan khusus tentang penerimaan murid baru dengan syarat KJP.
“Guru-guru menyesalkan sekolah negeri jadi tempat buangan siswa yang nilainya tidak bagus dan hanya berbekal KJP dan umur yang tua. Kalau mau adil sekolah swasta bonafid juga menyediakan slot sosial yang sama,” kata Hari.
Diakhir siaran persnya, Hari juga mengusulkan agar pemerintah menghapus syarat usia pada seleksi masuk sekolah negeri dan bagi siswa pemegang KJP tetap diberlakukan standarisasi nilai untuk masuk ke sekolah negeri agar terdapat rasa keadilan kepada siswa non KJP yang nilainya lebih bagus.
“Siswa pemegang KJP yang nilainya kecil sebaiknya sekolah di swasta saja karena masih tetap dibiayai pemerintah, sudah bertahun-tahun disubsidi oleh pemerintah tapi tidak bisa meningkatkan prestasi belajarnya, begitu lulus dengan mudah masuk sekolah negeri, ini kan aneh,” usulnya.
Kecaman juga datang dari Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, melalui vidio streamingnya yang beredar, Arist menilai sistem PPDB DKI Jakarta sudah merenggut hak anak.
“Melanggar UU sisdiknas dan Permendikbud Nomor 44. Tidak ada keadilan untuk anak,” kata Arist.
Kata Arist, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan UUD’45. Ia meniali, PPDB DKI Jakarta yang ditentukan oleh usia telah menghapus rasa keadilan terhadap pendidikan anak. (ARP)
Be the first to comment