Kasus Sudah P21 di-SP3?. Laporan Devi Taurisa Seret AKP Kuswadi ke Sidang Komisi Etik Polri

Jakarta, majalahspektrumcom – KASUS yang sudah berjalan 8 Tahun akhirnya mendapatkan secercah harapan bagi Devi Taurisa dalam mencari keadilan. Betapa tidak?, Laporan Devi yang sudah P21 tiba-tiba di-SP3. Hal itulah yang membawa AKP Kuswadi ke sidang Komisi Etik Polri.

Pada, Selasa (25/3/2025), Devi hadir di Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri yang digelar di Polda Metro Jaya, Dalam sidang tersebut, ia hadir sebagai saksi perkara pelanggaran Pasat 7 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri atas nama AKP Kuswadi.

Selain telah memaafkan mereka yang telah berlaku tidak adil atas kasus yang dilaporkannya, Devi menilai bahwa perwira pertama tersebut sebenarnya tidak terlalu memiliki peran signifikan dalam penanganan lapiran kasusnya, Menurutnya, di levelnya, tidak mungkin Kuswadi bisa melakukan hal tersebut.

“Namun, sidang ini tetap penting bagi saya karena menjadi kesempatan bagi saya untuk mendapatkan titik terang atas kasus yang telah menghantui saya selama 8 (delapan) tahun tanpa kejelasan,” kata Devi di Polda Metro kemarin.

Diketahui, Devi membuat Laporan Polisi atas dugaan pemalsuan, penggelapan, penipuan, hingga pencucian uang dengan Terlapor, Budi Santoso di Polda Metro Jaya pada tanggal 3 April 2017, yang akhirnya membawa AKP Kuswadi harus menghadapi Sidang Etik hari ini.

“Justru sidang hari ini memberikan saya kesempatan setelah enam tahun saya tidak mendapat jawaban apa pun dari laporan DUMAS yang saya buat,” jelasnya.

Lebih lanjut, Devi mengapresiasi jalannya persidangan yang berlangsung secara kooperatif. Ia merasa dihargai karena majelis sidang menunjukkan empati atas perjalanan panjangnya mencari keadilan.

“Saya bersyukur sidang ini berjalan dengan baik. Para majelis benar-benar membimbing jalannya kasus secara menyeluruh dan sangat berempati terhadap perjuangan saya sejak 2017. Itu bukan waktu yang singkat,” ungkapnya.

Kata Devi, di sidang Komdis itu ia mengungkapkan berbagai kejanggalan proses hukum yang ia laporkan. Ia mempertanyakan mengapa kasusnya, yang sudah dinyatakan P21 dan seharusnya berlanjut ke penyerahan tersangka, justru masih membuka peluang bagi tersangka untuk mengajukan praperadilan.

“Seharusnya setelah P21, kasus langsung berlanjut ke penyerahan tersangka. Tapi anehnya, tersangka justru bisa mengajukan praperadilan. Bahkan, dalam sidang praperadilan tersebut, kasus saya dihentikan melalui SP3,” ujarnya dengan nada kecewa.

Yang lebih mengejutkan lagi, hakim tunggal, Arlandi Triyogo, yang mengabulkan praperadilan tersebut ternyata terbukti melanggar kode etik, atas Laporan Devi ke Komisi Yudisial Republik Indonesia. Hal ini tertuang dalam Petikan Putusan Nomor 0158/L/KY/IX/2019 tertanggal 6 April 2020, dengan Ketua Majelis Sidang Pleno, Dr. H. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum. Namun, meskipun rekam jejak hakim itu dipertanyakan, keputusannya tetap dijalankan.

“Ini kan suatu produk hukum, yang katanya demi hukum harus dijalankan. Tapi bagaimana jika hakim yang menghasilkan keputusan itu sendiri melanggar kode etik? Menurut saya, ini kurang fair,” ketus Devi.

Seharusnya, menurut Devi, praperadilan hanya menilai apakah penangkapan tersangka sah atau tidak, bukan justru masuk ke dalam materi pokok perkara. Namun, dalam kasusnya, hakim melampaui kewenangannya dengan memutuskan bahwa tidak ada pemalsuan tanda tangan berdasarkan kesaksian yang dianggap bermasalah.

“Kesaksian yang digunakan berasal dari menantu Budi Santoso, yang jelas memiliki konflik kepentingan,” ungkapnya.

Tak berhenti di situ, setelah kasusnya dihentikan dengan SP3, Devi justru berbalik dituduh mencemarkan nama baik. Lebih parah lagi, ia digugat untuk membayar ganti rugi dengan nilai yang fantastis Rp301 miliar untuk kerugian materiel dan Rp1 triliun untuk kerugian immateriel.

“Di Pengadilan Negeri, permohonan itu ditolak. Tapi di Pengadilan Tinggi dan Kasasi, saya justru dinyatakan bersalah dan dihukum membayar Rp500 juta untuk kerugian materiel serta Rp10 miliar untuk immateriel,” jelasnya.

Namun, setelah perjuangan panjang, Devi akhirnya mendapatkan keadilan. Pada 10 Juli 2023, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK)-nya, dan gugatan terhadapnya dinyatakan ditolak.

Untuk diketahui. kasus yang menjerat Devi ternyata berawal dari dugaan pemalsuan tanda tangannya oleh Budi Santoso, yang diduga sengaja memalsukan tanda tangan Devi dalam kapasitasnya sebagai salah satu direktur PT Batavia Land. Perusahaan ini mengelola bisnis Hotel MaxOne, yang berlokasi di Jalan Agus Salim (Sabang), Menteng, Jakarta Pusat, di mana Devi memiliki 30% saham.

Dugaan pemalsuan ini dilakukan untuk mengajukan pinjaman kredit untuk kepentingan grup Budi Santoso sebesar +/- Rp 300 miliar ke PT Bank QNB Indonesia Tbk, dengan Hotel MaxOne sebagai salah satu jaminan.

Hal itu terungkap ketika Bank QNB hendak menyita Hotel MaxOne akibat gagal bayar, dan kasus ini sempat berlanjut ke perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kini masih berproses di tingkat kasasi. Saat ini, nilai Hotel MaxOne diperkirakan mencapai Rp 120 miliar.

Devi baru menyadari besarnya skandal ini setelah mengetahui bahwa Budi Santoso bukan hanya memalsukan tanda tangannya, tetapi juga mengalihkan aset Hotel MaxOne ke pihak lain serta mengambil keuntungan Rp500 juta per bulan secara diam-diam tanpa sepengetahuannya.

Kasus ini masih terus bergulir, dan publik menantikan bagaimana hasil akhir nya. Devi berharap perjuangkannya dalam mencari keadilan bertahun- tahun berpihak kepadanya. Semoga!. (ARP)

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan