Jakarta, majalahspektrum.com – PEMIMPIN Diktator artinya orang yang memerintah suatu negara/pemerintahan dengan hak-hak dan kekuasaan absolut dan –isme. Pemimpin absolut dengan kekuasaan terlalu lama sangat tidak baik dan berpotensi melakukan korupsi. Itu terbukti di negara yang kekuasaanya terlalu lama.
Monarki absolut, istilah dalam pemerintahan, adalah satu ciri pemerintahan monarki, dengan pemimpin yang mempunyai kekuasaan mutlak dan tidak dibatasi konstitusi maupun hokum.
Bukan hanya dalam pemerintahan Negara, pemimpin yang terlalu lama memimpin juga berdampak buruk bagi organisasi yang dipimpinnya. Selain dicap sebagai pemimpin yang tak mampu melahirkan kaderisasi, seorang pemimpin yang terlalu lama memimpin biasanya diikuti oleh “Dosa-dosa” pribadi yang dibuatnya, yang tak ingin orang lain mengganggunya.
Dalam dunia bisnis, menurut penelitian dari Temple University dan University of Missouri, diungkapkan bahwa terlalu lama memimpin tidak bagus. Penelitian ini dilakukan di 365 perusahaan di Amerika Serikat antara tahun 2000 sampai 2010. Mereka mengukir lama kepemimpinan dan kekuatan hubungan dengan pelanggan dan karyawan.
Sebenarnya semakin lama seorang atasan bercokol, makin bagus namun jika terlalu lama maka melemahkan perusahaan. Salah satu peneliti, Xueming Luo, mengatakan bahwa atasan yang mengumpulkan informasi terlalu lama bersandar pada pegawainya untuk informasi sehingga tidak menyentuh dunia nyata.
Rata-rata seseorang menjadi atasan adalah 7.6 tahun, namun penambahan optimalnya adalah 4.8 tahun. Mereka lebih cari aman sebab hanya mengejar untung. Status quo ini membuat mereka tidak responsif terhadap keadaan yang ada. Ketika atasan sudah mulai bisa menjalankan pekerjaannya, mereka akan mencari aman.
Ini bukan berarti seorang atasan harus dipecat setelah terlalu lama, namun bagaimana seorang atasan selalu belajar dan tidak nyaman dengan status quo saja.
Dunia pemerintahan dan bisnis secara nyata menolak adanya pemimpin yang terlalu lama memimpin. Demikian juga sebaiknya pemimpin Gereja. Pemimpin sinode atau aras gereja sebaiknya jangan terlalu lama memimpin. Untuk mencegahnya, harus diatur dalam AD/ART organisasi.
Menurut Ketua Majelis Tinggi sinode Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI), Frans Ansanay, S.H, M.Pd, tidak ada yang boleh mengklaim sinode gereja sinode sebagai miliknya. Gereja seharusnya dibangun di atas perkabaran Injil. Kristus-lah yang awal dan yang akhir (alfa dan Omega. Wahyu 22:13) yang pemilik gereja itu sendiri.
“Tidak ada yang boleh mengklaim sinode GKSI miliknya. Jangan takut ngak makan, takut miskin dan takut tak dihormati lagi. Saat kita menganggap diri kita hebat (tak tergantikan), saat itu juga kita akan jatuh. Kalau masih ada yang main-main melayani di GKSI segera bertobat,” kata Frans saat memberikan kata sambutan dalam acara pembukaan Sidang Sinode Ke-5 GKSI, di aula kantor pusat sinode GKSI, Kp.Makasar, Jakarta Timur, Rabu (18/11/2020).
Hal itu dikatakan Frans terkait kondisi sinode GKSI saat ini terjadi dualism kepemimpinan. Menurut Frans, sudah sejak lama pihaknya mengajak untuk adanya rekonsiliasi di tubuh GKSI, namun ajakan tersebut hingga saat ini ditolak oleh pihak lainnya.
“Dalam siding sinode sebelumnya (Tahun 2015) dan Rakernas (2017) selalu lahir rekomendasi rekonsiliasi. Pun di siding sinode ke-5 ini tetap mengusung semangat rekonsiliasi di GKSI,” terangnya.
Baca Juga : (Sidang Sinode Ke-5 GKSI Usung Semangat Rekonsiliasi )
Menurut Frans, belum adanya perdamaian atau rekonsiliasi di GKSI karena ada pihak yang tidak mau turun dari jabatannya. Ia kemudian merefleksikan 32 tahun keberadaan GKSI (1988-2020) dengan masa “Orde Baru” dibawah kepemimpinan Presiden ke-2 RI, Soeharto.
“Keasikan di atas dengan kursi nyaman jadi lupa tangga turunnya. Kenapa demikian, ya pasti ada kepentingan pribadi terkait materi sesuatu yang disembunyikan agar orang lain tidak tahu. Ini kan pihak sebelah tidak ingin berdamai karena ingin mempertahankan status Quo, maunya jadi pemimpin terus (32 Tahun). Bagi kami GKSI 1 versi, yang lain anggap 2 versi. Yang sah terdaftar di Kemenkumham adalah kami,” jelasnya.
Lanjut Frans, sesungguhnya dualisme kepimimpinan di sinode gereja bukan hanya terjadi di GKSI, di gereja lain pun terjadi, bahkan di gereja mainstream (sinode besar). “Tapi akhirnya mereka bisa berdamai (rekonsiliasi), kenapa kita (GKSI) tidak?. Ya karena ada yang merasa GKSI miliknya, karena kerakusan kekuasaan dan ingin menguasai asset atau harta gereja” tukasnya.
“Kita tidak sedikitpun menyuarakan soal asset gereja seperti yang disuarakan sumbang dari sebelah sana,” sambung Frans yang juga Ketua Bamus Adat Papua dan Papua Barat ini.
Menurut Frans, gereja jangan menjual kemiskinan dan orang-orang miskin untuk mendapatkan uang dari donator yang kemudian sebenarnya diambil untuk kepentingan pribadi si pemimpin.
“Kita pernah dijengkali mereka tidak akan bertahan paling lama 4 tahun, tetapi nyatanya sudah 5 tahun ini kita tetap eksis bahkan berkembang pesat. Ada 200-an gereja se-Indonesia dibawah kita. Kita sudah punya Sekolah Tinggi Teologia sendiri, gedung aula dan kantor sinode sendiri,” ungkap Frans. (ARP)
Be the first to comment