Jakarta, majalahspektrum.com – KETERANGAN Terdakwa dugaan Pemalsuan putusan Mahkamah Agung (MA), Guru Besar Universitas Hasanudin (Unhas), Makasar, Prof. Dr, Marthen Napang, S.H (MN) dalam sidang ke-15 perkara nomor 465/PIT.B/2024/PN JKPS dinilai janggal oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Saat JPU bertanya kepada terdakwa apakah berada di Jakarta pada Tanggal 12 Juni 2017, dimana di Tanggal tersebut seperti laporan korban adalah waktu terdakwa menerima uang untuk mengurus perkara PK di MA. Menjawab JPU, Terdakwa membantahnya.
Terdakwa berdalil bahwa dirinya baru terbang dari Makasar ke Jakarta pada 12 Juni 2017, pukul 24:00 menggunakan pesawat Batik Air. Namun terdakwa tidak dapat menunjukan bukti penerbangan dan atau manifes penerbangan dari Batik Air yang merupakan bagian dari Lion Grup. Terdakwa memperkuat dalilnya dengan keterangan saksi meringankan terkait bukti absensi dosen Unhas.
“Anda katakan tidak dapat meminta manifes dari batik air karena sudah lama, sementara kami punya bukti print manifes penerbangan anda dari Lion Grup dimana seperti wing air, lion air. Batik Air adalah bagian dari Lion Grup,” kata JPU, Selasa (10/12/2024).
Untuk diketahui. pada sidang perkara ke 10, JPU menghadirkan saksi dari 2 meskapai penerbangan yakni Garuda Indonesia dan Lion Air Grup, untuk membuktikan keberadaan Terdakwa terkait kejadian kasus perkara. saat itu. dari keterangan Staf Legal Lion air Grup. Vande Samosir, tidak ada penerbngan atas nama Marthen Napang (MN) dari Makasar ke Jakarta di Tanggal 12 Juni 2017 pukul 12 malam menggunakan Batik Air, yang ada penerbangan pada Tanggal 13 Juni 2017 dari Jakarta ke Makasar pukul 10:00 pagi dan penerbangan Tanggal 6 Juni 2017 dari Makasar ke Jakarta.
Keterangan terdakwa terasa semakin janggal saat JPU menanyakan apa keperluan terdakwa berada di Jakarta dalam rentang waktu yang begitu singkat yakni; dari 12 Juni 2017. pukul 12 malam hingga pukul 10 pagi 13 Juni 2017 jika pengakuan terdakwa benar bahwa dirinya pada saat kejadian (12 Juni) berada di Makasar.
Menjawab itu, terdakwa mengaku ingin bertemu dengan orang dari Kemendikti terkait persetujuan gelar Profesornya.
“Karena orang dari kemendikti berhalangan tidak jadi bertemu lalu saya check ke bandara ada penerbangan pagi. saya terbang ke Makasar karena harus tugas promotor mahasiswa pasca sarjana,” terang terdakwa MN.
Baca Juga : ( 2 Saksi Maskapai Penerbangan Ungkap Keberadaan MN. Tersangka Dugàan Pemalsuan Putusan MA, Saat Kejadian Perkara )
Sebelumnya, di awal pertanyaan JPU terkait gelar Profesor terdakwa, yang bersangkutan mengaku baru dikukuhkan dengan SK Profesor pada Tahun 2019. pengajuan Profesor di tahun 2015 dan disetujui Tahun 2017. Namun bukti fakta mengungkapakan bahwa terdakwa telah menggunakan gelar Profesor Tahun 2016-2017 di berbagai kesempatan sebagai narasumber dan muncul di cover majalah.
Begitu juga soal 3 rekening Bank atas nama Suaeb, Sahyudin dan Elsa Novita. dimana korban pelapor John Palinggi mentransfer uang dengan total 850 juta atas permintaan terdakwa. Menjawab itu, Terdakwa mengaku tidak pernah memberikan ketiga nomor rekening Bank tersebut dan meminta korban untuk mentransfer uang.
Terdakw MN juga mengaku tidak kenal dan bertemu dengan ketiga orang dalam rekening tersebut. Namun, tetkait adanya uang masuk ke nomor rekening tersebut dari dirinya, terdakwa mengaku uang itu ia kirim untuk pembelian sejumlah lahan tanah di Jakarta, Surabaya dan Sulsel.
“Saya beli tanah untuk investasi hari tua melalui telephone. saya percaya saja, saya dapat nomor rekening bank tersebut dari telephone,” kata terdakwa MN.
Awalnya Terdakwa MN mengaku dirinya dapat penawaran tanah dan nomor rekening bank untuk pembayaran dari seseorang yang mengaku eks mahasiswanya bernama Hasanudin. Namun saat JPU membacakan keteramgan terdakwa di BAP Penyidik Polda, dimana tidak ada nama Hasanudin tetapi Febri Widjianto, terdakwa berkelit bahwa benar Febri-lah yang memberikannya nomor rekening itu namun informasi jual-beli tanahnya di Surabaya dari Hasanudin.
Lucunya. terdapat nama yang persis sama Febri Widjianto sebagai Panitera Peganti di Mahkamah Agung (MA) dengan Febri Widjianto yang diakui Terdakwa sebagai seorang pengusaha pemilik perusahaan Jual-Beli Kavling Tanah.
Untuk diketahui. Febri Widjianto adalah Panitera Pengganti di MA yang memberikan salinan putusan PK asli kepada korban pelapor John Palinggi saat memgecheck keaslian putusan MA yang dikirim Terdakwa kepadanya bia email yang belakangan tidak diakui tetdakwa sebagai alamat email miliknya. Dugaan. Terdakwa telah mencatut nama PP MA Febri Widjianto untuk transaksi pengitiman uang oleh korban ke ketiga nomor rekening bank yang tidak diakui terdakwa berasal darinya.
Dipersidangan itu. terdakwa malah menuding pelapor John Palinggi memperkarakan dirinya karena sakit hati tidak diberikan pinjaman uang sebesar 500 juta darinya.
Merespon tudingan terdakwa itu. John Palinggi tertawa terpingkal-pingkal. pasalnya, selain sebagai seorang Mediiator resmi negara, ia juga adalah seorang pengusaha dan konsultan investor asing dengan transaksi atau omzet puluhan hingga ratusan miliar.
“Sudah puluhan tahun saya sewa kantor di Grha Mandiri satu lantai di lantai 25. saya pengusaha tanpa hutang, silahkan dicheck,” terang John Palinggi. (ARP)
Be the first to comment