Kata John Palinggi Soal 100 Hari Kerja Presiden dan Pemotongan Anggaran

Jakarta, majalahspektrum.com – PENGAMAT Sosial-Politik, Dr John Palinggi, MBA mengatakan, tidak ada aturannya kinerja Presiden diukur dalam 100 hari. Penilaian 100 hari kerja hanya dapat dijadikan harapan masyarakat agar pemerintahan bergerak lebih cepat dan realisasi janji politik.

Menurut John, mengurus negara tidak seperti mengurus lingkungan RT/RW.

“Presiden Prabowo Subianto pastinya menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang tidak mudah dan kompleks, yang tidak dapat diukur dalam waktu 3 bulan,” kata John saat ditemui di kantirnya, Grha Mandiri, Menteng, Jakarta, Jumat (14/02/2025).

Menurut pengusaha nasional yang juga mediator resmi negara ini, evaluasi kinerja pemerintahan idealnya dilakukan paling tidak mulai bulan ke-6 hingga ke-9, khususnya terhadap program-program skala prioritas yang telah dicanangkan.

John menyesalkan adanya pihak-pihak yang dengan alasan penilaian 100 hari kinerja Presiden untuk menjatuhkan Prabowo dan melemahkan pemerintahan.

“Bahkan muncul isu yang sengaja dihembuskan mengenai lonjakan angka pengangguran yang begitu besar hingga membuat orang ingin pindah ke luar negeri. isu semacam ini dibuat dengan tujuan menghambat program pemerintahan yang sedang berjalan. dan jika ada masalah, ada mekanismenya,” tukasnya.

Pengurangan Anggaran di Kementerian dan Lembaga

Terkait pengurangan anggaran Kementerian dan Lembaga sebesar Rp306,7 triliun, menurut John, langkah ini bertujuan untuk lebih mengarahkan anggaran kepada Program Strategis Nasional. Selain itu, efisiensi ini dimaksudkan agar pemerintah lebih memahami cara mengelola anggaran secara optimal demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, anggaran yang tidak perlu sebaiknya dihapus.

“Selain itu, bisa saja pak Prabowo sedang menguji kinerja para menteri di kabinetnya apakah mampu bekerja secara efektif dan efisien,” kata John.

Ketua Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor Indonesia (Ardin) ini juga heran, mengapa keputusan pemotongan anggaran ini menimbulkan kehebohan, seolah-olah Presiden telah gagal. Bahkan, ada pihak yang mencaci maki hingga Prabowo menegaskan bahwa ada “raja-raja kecil” yang merasa terganggu.

“Saya melihat reaksi berlebihan ini bukan karena kepentingan rakyat, melainkan karena kepentingan pribadi mereka yang terganggu,” ujarnya.

John lantas mengomentari seorang pengamat yang juga dosen, sebagai ADN di Universitas Negeri yang kerap berkomentar miring bahkan tidak sopan terkait pemerintahan.

“Seharusnya, para dosen di kampus bertugas mengajar dan membimbing mahasiswa agar memiliki akhlak serta moral yang baik, sehingga pola pikir mereka berkembang dengan maju. Namun, yang terjadi justru sebaliknya ada dosen yang berstatus ASN, digaji oleh pemerintah, tetapi malah sibuk mencaci maki Prabowo di media sosial dan televisi, seolah-olah dirinya paling pintar,” ungkapnya.

“Saya ingin mengingatkan mereka, silakan memilih apakah ingin tetap menjadi dosen ASN yang dibayar oleh pemerintah, atau ingin menjadi pengamat yang kerjanya hanya mencaci maki presiden dari luar? Jangan berlindung di balik status dosen sementara Anda sendiri mencederai Presiden,” tambahnya.

John juga melihat fenomena dimana banyak orang merasa dirinya pintar, padahal ketika diperiksa lebih jauh, mereka tidak memiliki pekerjaan tetap dan bahkan kesulitan menghasilkan uang untuk sekadar membeli beras. Akibatnya, kejahatan yang muncul bukan sekadar kriminalitas biasa, tetapi kejahatan intelektual yang berbahaya.

“Seharusnya, sebagai warga negara, memiliki loyalitas, rasa hormat, dan dukungan terhadap Presiden. Memberikan kritik dan saran yang konstruktif tentu diperbolehkan. Jangan pula menawarkan pakaian kepada orang lain sementara diri sendiri masih telanjang. Suka mengkritik padahal dirinya penuh kebusukan. mantan napi kok bicara moral,” ketus John.

ujarnya menyindir mereka yang gemar mengkritik dan menciptakan kehebohan, padahal dirinya sendiri dipenuhi dengan kebusukan.

Lagi kata John soal pemotongan anggaran. hal itu merupakan hal yang wajar dan sah, mengingat negara-negara maju seperti Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan serupa. Hal itu mungkin akibat resesi ekonomi global.

“Efesiensi adalah hal positif , negara maju seperti Amerika saja melakukan itu dan sebetulnya anggarannya kan sudah ditetapkan sebelumnya tahun 2024 terhadap 46 kementerian. RAPBN yang saya baca itu sudah ditetapkan,” ujarnya.

Menurut John, kondisi Indonesia saat ini dapat diibaratkan sebagai sebuah kapal yang sarat dengan berbagai muatan, salah satunya adalah utang yang terlalu besar. Beban cicilan, baik pokok maupun bunga, semakin berat hingga berisiko mengalami keterlambatan pembayaran.

Selain itu, permasalahan pencurian uang negara masih menjadi beban hingga saat ini. John menceritakan kembali kasus tahun 1998 lalu, di mana terjadi kredit macet sebesar Rp450 triliun. Dari jumlah tersebut, hanya Rp139 triliun yang berhasil diselamatkan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sementara sisanya, Rp311 triliun, hilang tanpa jejak, belum lagi kasus BLBI.

“Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021-2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa beban negara akibat BLBI ini masih akan terasa hingga tahun 2043,” katanya.

Ironisnya, sambung John, para pengusaha kerap mengeluhkan kurangnya fasilitas dan dukungan, namun jika ditelusuri lebih dalam, kehilangan Rp311 triliun ini justru melibatkan para pengusaha itu sendiri. (ARP)

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan