
Jakarta, majalahspektrum.com – ANAK pendiri Blue Bird, Elliana Wibowo melalui kuasa hukumnya menggugat salah satu pendiri Blue Bird lainnya, Purnomo Prawiro, Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, hingga mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri ke PN Jakarta Selatan.
Menurut tim kuasa hukum Elliana, Dr, Roy Rening, S.H, M.H gugatan praperadilan yang ditujukan kapada Kapolda Metro Jaya karena keputusannya menghentikan penyidikan atas kasus kekerasan Fisik-Psikis (pengeroyokan dan/atau penganiayaan) terhadap Elliana dan Alm Janti Wirjanto (Isteri dari Alm. Surjo Wibowo).
Alm. Surjo Wibowo adalah salah satu pendiri Blue Bird Group dan pemegang saham 35 persen Blue Bird Group.
Kejadian penganiayaan itu berawal dari dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Blue Bird pada 23 Mei 2000, yang berlangsung di Ruang Rapat Direksi, Gedung Pusat PT Blue Bird Taxi.
“Elliana dan Janti mendapatkan kekerasan fisik/pengeroyokan, dan intimidasi psikis yang dilakukan oleh Purnomo Prawiro, Komisaris Blue Bird Noni Sri Aryati Purnomo, Endang Purnomo, dan Indra Marki,” kata Roy Rening dalam konferensi pers yang digelar di sebuah café kawasan Menteng, Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Peristiwa kekerasan itu telah dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan dengan Tanda Penerimaan Laporan No Pol 1172/935/K/V/2000/ RES JAKSEL tertanggal 25 Mei 2000. Penyidik Polres Jakarta Selatan telah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan yang akhirnya menetapkan status tersangka kepada para tersangka tadi.
Penyidik Polres Jakarta Selatan juga telah melakukan pengiriman berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, tetapi kemudian dikembalikan oleh Kejaksaan kepada Penyidik Polres Jakarta Selatan melalui Surat Nomor B-78/P 1.13.3/E.2/08/2000 tanggal 4 Agustus 2000, dan setelahnya pihak kepolisian tidak menindaklanjuti petunjuk jaksa dan mengabaikan perkara yang dilaporkan tersebut.
SP3 Polda Metro Jaya Bertentangan dengan Putusan Hakim. Oleh karena itu, Elliana mengajukan permohonan pra peradilan di PN Jakarta Selatan dengan register No perkara: 03/Pdi/Prap/2001/PN.Jak.Sel tertanggal 2 April 2001. Permohonan itu pada pokoknya memutuskan agar Polres Jakarta Selatan segera melimpahkan berkas perkara dalam Laporan Polisi No. Pol. 1172/935/KA//2000/Res,Jak.Sel., tertanggal 25 Mei 2000 kepada penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta.
Namun, pada 4 Agustus 2000 terbit telegram dari Kadit Serse Polda Metro Jaya No Pol.TR/20/2001 Tanggal 4 Agustus 2000 yang pada pokoknya menyatakan menarik perkara dimaksud ke Polda Metro Jaya dengan alasan menjadi atensi pimpinan.
Berdasarkan penarikan perkara tersebut ke Polda Metro Jaya, Polda Metro Jaya menerbitkan Surat Ketetapan No : S.TAP/28/III/2001/Dit/Reserse tentang Penghentian Penyidikan (SP-3) terhadap Laporan Polisi No Pol :1172/935/K/V/2000/RES.Jaksel tanggal 25 Mei 2000 dengan alasan tidak cukup bukti.
“Hingga saat ini, Ibu Elliana Wibowo tidak mendapatkan keadilan atas peristiwa kekerasan fisik berupa pengeroyokan atau penganiayaan termasuk intimidasi secara psikis yang terjadi pada 23 Mei 2000,” tukas Roy.
Dikatakan Roy, saat ini Elliana tengah memperjuangkan hak-haknya sebagai salah satu pemegang saham pendiri. Sejak awal 2013 hingga saat ini ia belum menerima dividen dari Blue Bird Group. Elliana Wibowo menggugat PT Blue Bird Tbk ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan sebesar Rp 11 triliun. Dia yang tak dianggap sebagai pemegang saham mengaku ingin memperjuangkan haknya sebagai anak dari mendiang Surjo Wibowo, pendiri perusahaan taksi tersebut.
Sementara, dalam keterangannya Elliana mengatakan, ayahnya lah yang pertama kali mendirikan Blue Bird pada tahun 1971 dengan nama PT Sewindu Taxi dari PT Semuco. Perusahaan itu mendapat izin sebagai transportasi ber-agrometer dari Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin.
“Adanya klaim dari manajemen Blue Bird, saudara Sigit Suharto Djokosoetono dan saudara Yusuf Salman bahwa Blue Bird Group adalah milik satu keluarga saja yaitu Mutiara Djokosoetono adalah sebuah penyesatan informasi dan pembohongan publik,” kata Elliana kepada awak media.
Diceritakan Elliana, ayahnya Surjo Wibowo yang disebut sebagai pendiri Blue Bird sebenarnya adalah seorang pengusaha terkenal dari Ponorogo dan Surabaya. Pada akhir 1940-an mereka pindah ke Jakarta dan meneruskan usaha-usahanya seperti pabrik rokok, pabrik batik, pabrik kembang api, transportasi, importir makanan, serta pedagang perhiasan.
“Almarhum Surjo Wibowo bersama istrinya (Janti Wirjanto) yang juga putri pengusaha besar dari Pekalongan, sejak 1950-an telah berkecimpung dalam bidang usaha transportasi yaitu perbengkelan, Suburban, Taxi limousine, dan mendapatkan penunjukkan langsung dari Presiden Soekarno untuk melayani transportasi Asian Games tahun 1962 serta memiliki dealership mobil Eropa,” terang Elliana.
Pada tahun 1968, kata Elliana, keluarga Mutiara Djokosoetono mendatangi kediaman Surjo Wibowo untuk menitipkan dua buah kendaraan mobil bekas karena mengetahui bahwa Surjo Wibowo merupakan pengusaha transportasi besar di Jakarta yang telah memiliki izin taxi resmi beserta pool dan segala fasilitasnya.
“Sebenarnya kala itu bisa saja keluarga Surjo Wibowo menolak permohonan dari Mutiara Djokosoetono dan keluarganya karena kami sudah punya berpuluh-puluh mobil, tapi karena keluarga mereka saat itu datang waktu hujan ke kediaman kami, keluarga Surjo Wibowo pun tidak tega langsung memberikan bantuannya kepada mereka,” kisahnya.
Singkat cerita, keluarga Surjo Wibowo dan keluarga Mutiara Djokosoetono sepakat mendirikan perusahaan bernama PT Sewindu Taxi. Saat itu perusahaan tersebut diklaim dengan mudah mendapat pinjaman dana usaha dari beberapa bank terkemuka di Jakarta karena kredibilitas Surjo Wibowo.
Dengan perkembangan perusahaan Taxi yang semakin membaik, pada tahun 1980-an para pendiri PT Sewindu Taxi sepakat melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mengubah namanya menjadi PT Blue Bird Taxi. Dalam perjalanannya perusahaan tersebut telah memiliki berbagai anak usaha antara lain PT Big Bird, PT Ziegler Indonesia, Hotel Holiday Resort (Lombok), hingga RITRA Warehouse.
“Sehingga sebenarnya pendiri utama Blue Bird Taxi yang awalnya bernama PT Sewindu Taxi/PT Semuco adalah Surjo Wibowo dan Mutiara Djokosoetono,” tegasnya.
Lanjut Elliana, sekitar awal tahun 1980 sampai dengan awal tahun 2000, beberapa pemegang saham dalam Blue Bird menjual kepemilikan sahamnya, yang diikuti dengan penjualan saham dari beberapa perusahaan lainnya yang dibeli oleh keluarga dr. Purnomo Prawiro dan Almarhum dr. Chandra Suharto.
Keretakan dalam tubuh Blue Bird mulai terjadi pada tahun 2000-an setelah Surjo Wibowo meninggal dunia pada 10 Mei tahun 2000. Selang beberapa hari, Elliana mengaku bersama ibunya mendapat kekerasan dari keluarga Purnomo Prawiro karena mereka ingin menguasai seluruh saham Blue Bird Group.
“Nah pada 23 Mei diadakan RUPS. Setelah selesai rapat tersebutlah, di depan ruang rapat dengan tiba-tiba Purnomo Prawiro beserta istrinya Endang Basuki, anaknya Noni Purnomo, menantunya Indra Marki beserta sejumlah besar pasukan keamanannya yang berbadan besar mengepung, mengeroyok, menganiaya, memaki-maki, memukuli, menendang, mendorong ibu saya dan saya sendiri. Sungguh merupakan perbuatan yang tidak berperikemanusiaan,” bebernya sambil menunjukkan bukti rekaman saat berlangsung peristiwa tersebut.
Pasca peristiwa pengeroyokan dan penganiayaan tersebut, Elliana Wibowo beserta ibu tidak berani lagi memasuki Gedung Blue Bird dan pool-pool lainnya. Tahun 2001, keluarga Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto mendirikan perusahaan Taxi dan bus pariwisata yang serupa dengan Blue Bird Taxi dan Big Bird, yang dinamakan PT Blue Bird dan PT Big Bird Pusaka.
Pada Juni 2013, Purnomo Prawiro dan keluarga Chandra Suharto menyelenggarakan RUPS yang memutuskan untuk diberlakukannya sistem Manajemen Operasional Bersama (MOB) antara perusahaan pribadinya (PT Blue Bird, PT Pusaka Djokosoetono dan lain-lain) dengan PT Blue Bird Taxi.
Pada tahun 2014, keluarga Purnomo Prawiro dan keluarga almarhum Chandra Suharto memutuskan untuk go public perusahaan pribadi mereka. Pada 11 Mei 2015 dilakukan RUPS PT Blue Bird Taxi yang agenda rapatnya penambahan modal Rp 50 miliar dari para pemegang sahamnya dengan konsekuensi bahw bagi pemegang saham yang tidak turut serta maka jumlah sahamnya akan dikurangi sesuai komposisi perhitungan masing-masing.
“Hal itu upaya jahat merampok saham pendiri dengan cara-cara yang melanggar norma moral dan norma hukum. Saya menilai upaya ini merupakan perbuatan sistematis, terstruktur dan masif untuk mengambil saham-saham milik pendiri Blue Bird (Elliana Wibowo dan Lani Wibowo pemegang saham 20%) untuk menguasai saham Blue Bird tanpa melalui proses jual beli saham yang sah menurut hukum,” tututpnya. (ARP)
Be the first to comment