Diskusi Hari Pahlawan Batak Center Ungkap Tokoh Layak Tak Layak Pahlawan Nasional

Jakarta, majalahspektrum.com – MEMPERINGATI “Hari Pahlawan”, Batak Center menggelar diskusi bertajuk “Legacy dan Keteladanan Para Pahlawan Dalam Konteks Masa Kini”. Diskusi yang digelar di secretariat Batak Center, Jl, Tanah Abang II/41D, Petojo Selatan, Jakarta Pusat tersebut menghadirkan 3 orang pematik yakni; Bambang Sulistomo (Putra Pahlawan Nasional Bung Tomo), Arif Nahari (Direktur Pemberdayaan Masyarakat Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial RI), dan Jhon Rivel Purba (Peneliti muda di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN).

Pematik pertama Bambang Sulistomo mengatakan, pejuang adalah seseorang yang mau berkorban dan ikhlas serta dapat diteladani. Seorang pejuang, kata dia, berjuang untuk keadilan.

“Karena adanya ketidak adilan oleh penjajah makanya para pejuang kita memperjuangkan kemerdekaan. Ada 5 kali kata ‘Adil’ disebut dalam Pembukaan UUD’45. Semangat perjuangan menurut saya adalah Persatuan Bangsa untuk Keadilan,” kata Bambang yang mengaku baru tahu ayahnya seorang Pahlawan Pejuang setelah beranjak dewasa.

Menurut Bambang, semua kita bisa menjadi pejuang. Di masa sekarang dan akan datang, aka nada pahlawan baru yaitu mereka yang mau berjuang untuk keadilan dan persatuan bangsa dengan mau berkorban dan ikhlas.

“Saya berharap Batak Center memperjuangkan keadilan dan persatuan bangsa. Saya juga berharap akan lahir tokoh-tokoh bangsa dari Batak Center,” harap Bambang yang mengaku banyak berteman dan dibesarkan oleh orang batak.

Sementara, Arif Nahari dari Kemensos mengungkapkan saat ini baru ada 200 orang yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah yang 14 diantaranya dari Sumatera Utara. Pihaknya berhati-hati dalam menentukan gelar Pahlawan karena harus memiliki nilai-nilai Kepahlawanan dan keteladanan.

“Kami berharap nilai-nilai Kepahlawanan merestorasi generasi muda. Sebenarnya masih banyak tokoh, khususnya dari Sumatera Utara yang layak diajukan sebagai Pahlawan, sayangnya Pemda setempat tak mengajukannya. Malahan ada Pahlawan dari Sumatera Utara, orang Batak tapi yang mengajukan dari Yogyakarta,” terang Arif.

Menurut Arif, nilai-nilai kepahlawanan perlu ditanamkan ke generasi muda, khususnya di sekolah-sekolah. Pengenalan akan pahlawan bukan sekedar pelajaran sejarah hafalan tetapi menamkan nilai-nilai keteladanan sang pahlawan yang otomatis karena itu generasi muda akan memiliki jiwa kebangsaan.

Baca Juga : ( Kemensos Jadikan Batak Center Mitra Pengajuan Pahlawan Nasional )

Dalam paparannya, Jhon Purba dari peniliti BRIN mengakui Bung Tomo sebagai tokoh sentral “Hari Pahlawan”. Orasi bung Tomo “Lebih Baik Hancur Lebur Daripada Tidak Merdeka, Merdeka atau Mati” dinilai dapat menggelorakan semangat para pejuang di Surabaya saat itu untuk melawan penjajah hanya bermodalkan bambu runcing.

“Seperti yang dikatakan Bung Karno, ‘Bangsa yang Besar adalah yang Menghargai Pahlawannya’. Para pahlawan kita meninggalkan keteladanan yakni pemberani rela berkorban dan berdampak bagi orang banyak,” kata Jhon.

Adapu diskusi yang digelar Batak Center tersebut berlangsung secara On-Site dan Online (zoom meeting). Sebanyak 30-an orang hadir secara on-site. Baik yang mengikuti diskusi secara on-site dan online diberikan kesempatan memberikan pandangan dan pertanyaan kepada pematik oleh moderator Drs, Jerry Sirait (Sekjend Batak Center).

Para peserta diskusi dengan Pengurus Batak center dan Pematik putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo (diulosi)

Ada pertanyaan dari seorang peserta diskusi kepada pematik dari Kemensos, Arif Nahari selaku pihak yang menetapkan gelar kepahlawanan yakni, apakah seseorang yang telah dianugerahi gelar pahlawan dapat dicabut. Pasalnya, menurut penanya, ada seorang pahlawan nasional yang dinilai tidak pantas mendapat gelar pahlawan karena dinilai melakukan penjajahan kepada sesama anak bangsa dan tidak memiliki keteladanan yakni; Tuanku Imam Bonjol.

Hal senada juga dinyatakan oleh peserta yang mengikuti diskusi dengan online. Menurutnya Imam Bonjol tidak layak dianugerahi Pahlawan Nasional karena pernah menjajah Bakara dan membunuh banyak orang Batak yang tidak mau memeluk agama Islam. Perlawanan Imam Bonjol terhadap penjajah Belanda juga diragukan karena unsur bela tanah air dan keadilan tetapi karena fanatisme agama.

Sementara, menurut Peserta diskusi lainnya, DR, Hutagalung mengungkap beberapa sejarah yang faktanya dikaburkan. Hal itu menurut dia karena dipengaruhi unsure politis. Hutagalung mengungkapkan adanya beberapa tokoh yang mestinya paling layak mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional yang beberapa diantaranya gelar pahlawanya digantikan orang lain.

“Rumusan Sumpah Pemuda itu sudah ada pada Kongres Pemuda Pertama oleh para pelajar pribumi yang sekolah di Belanda. Jadi bukan Moh.Yamin yang pantas menjadi pahlawan nasional, kenetulan saja saat itu dia yang jadi menterinya. Kemudian Ki Hajar Dewantara bukanlah orang pertama yang mendirikan sekolah dan menjadi guru tetapi ada Jalman Nasution yang adalah orang Indonesia pertama yang menjadi guru, dia bersekolah di Belanda mengambil sekolah guru dan mendirikan sekolah sepulang studi. Sekolah yang didirikannya sudah ada 26 Tahun sebelum ada Taman Siswa. Nasution sudah sekolah guru sebelum Ki Hajar Dewantara Lahir,” bebernya.

Baca Juga : ( Ini alasan Tuan MH Manulang Layak Jadi Pahlawan Nasional )

Peserta diskusi lainnya ada yang mengkhawatirkan diusulkannya Ki Wasyid (Haji Wasyid) oleh masyarakat Cilegon sebagai Pahlawan Nasional dengan alasan sebagi tokoh pejuang dalam peristiwa “Geger Cilegon”.

“Sampai saat ini ‘Geger Cilegon diperingati warga Cilegon dan ada tugunya di tengah alun-alun kota. Sayangnya peristiwa dan tokoh ini dijadikan alasan utama ditolaknya rumah ibadah agama lain, khususnya Kristen di Kota Cilegon. Dalam bingkai kebangsaan, nilai-nilai fanatisme seperti ini sangat berbahaya dan tidak memiliki keteladanan bagi generasi muda bangsa, bukankah pahlawan adalah sosok yang diteladani, lalu apa teladan yang mau disampaikan oleh sosok Ki Wasyid?. Lagipula, harus diluruskan, yang dilawan oleh Rakyat Cilegon saat itu bukanlah Negara Belanda tetapi perusahaan VOC dari Belanda dan tidak ada itu misi penjajah Belanda Glory (menyebarkan agama Kristen) sehingga umat kristiani harus dimusuhi oleh orang Cilegon selamanya,” bebernya.

Berdasarkan polemik tersebut, forum diskusi mengusulkan agar pemerintah memilah kepahlawanan menjadi 2 bagian yakni Pahlawan daerah dan Pahlawan Nasional. Pahlawan daerah ialah sosok yang berjuang bagi dan kepentingan daerahnya saja sedangkan pahlawan nasional adalah tokoh yang berjuang bagi kepentingan nasional, baik era merebut kemerdekaan, menjalankan Kemerdekaan hingga pejuang kemerdekaan atas ketidak adilan di masa sekarang dan akan datang. (ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan