
Jakarta, majalahspektrum.com – WARGA Jelambar, Jakarta Barat (Jakbar) menggugat aset milik Gereja Kristen Jakarta (GKJ) berupa lahan tanah seluas 2000 meter persegi. sebidang tanah yang terletak di Jalan Hadiah VII Komp Kav.Polri Blok D XIII Kelurahan Jelambar, Grogol Petamburan, Jakbar itu digugat warga lantaran pihak gereja menjual sebagaian luas tanah sebesar 300 meter persegi kepada salah seorang anggota jemaatnya.
Mewakili warga, Ketua RT 02,03,04,05,06 dan Ketua RW 0, Kelurahan Jelambar, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakbar. dalam gugatannya, warga menolak lahan seluas 300 M2 tersebut akan dibangun rumah tempat tinggal pribadi. Pasalnya, lahan tersebut peruntukannya adalah untuk fasilitas umum (Fasum) bukan untuk kepentingan pribadi.
“Pihak GKJ telah melakukan tindakan melawan hukum, yaitu: dengan sengaja mengubah fungsi lahan yang semula untuk keperluan Sarana Pelayanan Umum (SPU) sebagaimana tercantum dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta, diubah jadi untuk kepentingan pribadi. Itu alasan klien kami menggugat ke Pengadilan Negeri,” kata Ferry Ericson, S.H, kuasa hukum warga saat ditemui di kantornya, Benhil, Tanah Abang, Jakbar, kemarin.
Ferry menjelaskan, bahwa tim kuasa hukum penggugat yang tergabung dalam FEP Lawyers (Ferry Ericson & Partners) sudah melakukan gugatan kepada GKJ ke PN Jakarta Barat sejak 12 Oktober 2023.
“Proses persidangan sudah berlangsung beberapa kali, dan sekarang ini sudah masuk ke tahap menghadirkan saksi dari para tergugat dalam persidangan 25 Juni 2024 lalu. Sementara dari pihak penggugat tidak menghadirkan saksi,” jelasnya.

Lanjut Ferry, awalnya tanah tersebut milik Yayasan Bhara Trikora dan ada sekolah di situ, lalu mereka hibahkan kepada GKJ. Setelah terjadi hibah, pada tahun 2008, kondisi tanah itu ditelantarkan dan tidak diurus oleh pihak gereja. Mulai saat itulah warga setempat yang dipimpin para ketua RT & RW melakukan gotong royong, mengubah lahan kosong tersebut menjadi rapi dan bagus.
“Mereka membersihkan ilalang dan rumput liarnya, agar bisa dipakai sarana olahraga. Karena, warga tahunya bahwa lahan kosong tersebut adalah untuk fasilitas umum. Peruntukannya untuk mendirikan sekolah, gereja, dan sebagainya yang peruntukannya bagi kepentingan umum,” terang Ferry.
Ferry sangat menyayangkan keputusan pihak GKJ yang menjual tanah seluas 300 meter tersebut ke salah satu jemaatnya, bernama Timotius Wong. Terungkapnya penjualan tanah tersebut untuk kepentingan pribadi ketika sang pembeli, Timotius Wong meminta ijin ke Ketua RT dan RW mendirikan bangunan tempat tinggal.
“Pembeli tanah, Timotius Wong datang ke RT/RW untuk meminta izin mendirikan bangunan. Tetapi ditolak oleh RT/RW, kenapa? Karena sepengetahuan RT/RW tanah tersebut peruntukkannya untuk fasum bukan untuk rumah tinggal. Kami ada bukti akta jual belinya. Dan kami juga menggugat notarisnya yang keluarkan akta jual beli,” beber Ferry.
Selain itu, lanjut Ferry, Pengurus RT/RW sudah pernah membantu untuk melakukan perpanjangan sertipikat HGB yang mana kepemilikan dan peruntukkannya tidak berubah sesuai fungsinya. Namun, setelah diperjualbelikan berubah fungsi bukan lagi sebagai fasum melainkan untuk rumah tinggal.
“Saya tegaskan sekali lagi, dasar hukumnya jelas, yakni Pergub No 31 Tentang tata ruang Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022, Lampiran 7 tentang peta ruang, yang dikategorikan sebagai zona budidaya dan atau sub zona sarana umum skala kota. Dalam Pergub No 31 itu juga diatur tentang kegiatan yang mengubah fungsi utama sub zona. Jadi disini jelas bahwa peruntukkannya tidak boleh mengubah fungsinya. Misalnya yang semula untuk kepentingan umum, tidak diperbolehkan membangun untuk kepentingan pribadi, termasuk membangun izin rumah tinggal,” sambung Ferrry menjelaskan
Menurut Ferry, tuntutan warga adalah agar fungsi tanah tersebut dikembalikan lagi sesuai peruntukannya. Karena selama ini warga telah merasakan manfaat tanah tersebut untuk kegiatan sosial dan kepentingan umum.
“Kalau memang tanah tersebut sudah dihibahkan untuk yayasan gereja, ya fungsikan lagi untuk kegiatan gereja. Atau pihak gereja membangun sarana pendidikan, ya warga lebih senang. Warga mempersilakan, jika pihak gereja mau membangun sekolah atau gereja. Itu yang ditunggu warga. Bisa bermanfaat untuk warga sekitar, bisa menyekolahkan anaknya disitu. Warga juga bisa beribadah disitu,” tutur Ferry.
Jika terjadi pembatalan jual beli, kata Ferry, pihak warga menyatakan persoalan selesai. Tetapi warga meminta kerugian materiil dan imateriil (tercantum dalam gugatan) yang sudah timbul selama ini dengan jumlah keseluruhannya sebesar Rp. 2.666.000.000,- (Dua Milyar Enam Ratus Enampuluh Juta Rupiah). Terlepas dari apapun putusan pengadilan nanti, warga tetap meminta ganti rugi yang selama ini telah dikeluarkan. Artinya mau menang atau kalah di Pengadilan, pihak gereja harus tetap bayar.
“Uang ganti rugi tersebut, untuk kebersihan RT/RW, membayar gaji bulanan petugas. Faktanya, selama ini pihak gereja hanya membayar iuran bulanan wajib selama 1 (satu) tahun kepada RT/RW selama menjadi lahan parkir, padahal seluruh warga yang tinggal disana kan membayar iuran bulanan,“ terang Ferry.
Menurut Ferry, tuntutan ganti ruginya harus diselesaikan. Kasus ini adalah perbuatan melawan hukum (PMH) yang salah satu syaratnya adalah membayar ganti rugi. Tapi persoalan menyalahi peruntukan tetap harus jalan.
“Biarkan hakim yang memutuskan. Karena ini adalah hak dari warga. Agar bisa dimanfaatkan lagi sebagai sarana berolahraga, parkir dan sebagainya. Kami juga sudah melayangkan surat kepada Walikota Jakarta Barat, tembusannya ke Sudin Citata, Camat agar menangguhkan izin Persetujuan Pembangunan Gedung (PBG) atas nama Timotius Wong. Karena masih dalam proses pengadilan sampai putusan nanti inkracht,” ujar Ferry.
Lanjut Ferry, beberapa waktu lalu pembeli lahan, Timotius Wong hendak memulai pembangunan dengan mendatangkan peralatan dan bahan bangunan. tentu saja hal itu diprotes warga dengan menyuruh pihak pembangunan menarik keluar peralatan bangun karena tanah tersebut masih dalam proses di Pengadilan Negeri Jakbar.
“Mereka nekat memulai pembangunan karena merasa sudah mengantongi ijin Persetujuan Pembangunan Gedung (PBG) dari Camat Grogol. Intinya, Tuntutan Warga Adalah Ganti Rugi & Kembalikan Fungsi Tanah Sesuai Peruntukan Sebagai Fasum,” tandas Ferry.

Penjelasan Pihak GKJ
Terkait persoalan tersebut, Ketua Sinode Gereja Kristen Jakarta (GKJ), Pdt, Djana Yusuf, S.Th menjelaskan bahwa tuntutan warga terkait praktik jual beli tanah tersebut menyalahi aturan adalah tidak tepat. Menurut Djana, pada tahun 2021 di era Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI, telah banyak perubahan status peruntukan tanah, termasuk tanah milik GKJ tersebut.
“Proses jual beli tanah tersebut sah karena telah memperoleh sertifikat dan Persetujuan Bangun Gedung (PBG) dari Pemerintah daerah DKI Jakarta,”’ kata Djana seperti dikutip dari laman victoriousnews.com
“Tanah itu semula adalah untuk sarana pendidikan. Karena dulu ada sekolah milik kepolisian, yakni SD Bhara Trikora yang sudah lama tidak aktif. Karena sudah tidak dipakai lama-lama rusak dan roboh bangunannya. Jadi karena lama tidak dibangun, sehingga warga di sekitar itu mengganggap tanah tu fasum. Padahal kalau fasum itu kan tidak boleh dimiliki oleh organisasi atau perorangan,” tambah Djana.
Dikisahkan Djana, sebelum GKJ membeli tanah di jalan hadiah VII, pada tahun 2006 ada peraturan 3 menteri mengenai pendirian tempat ibadah. Waktu itu isunya bahwa gereja yang tidak punya izin tidak boleh ibadah. Sehingga GKJ mencari tanah. Akhirnya tahun 2008 dapat tanah di Jalan Hadiah Kavling Polri Blok D, Jelambar seharga 5 Milyar dengan luas 2000 meter persegi.
“Namun setelah membeli tanah tersebut, gereja mengalami pergumulan dana yang dibutuhkan untuk membangun gedung gereja lumayan besar. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya belum bisa membangun gereja di lahan tersebut sampai sekarang. Alasan mengapa gereja menjual tanah seluas 300 meter persegi tersebut adalah karena gereja membutuhkan dana untuk mengembangkan pelayanan,“ terang Djana.
Menurut Djana, daripada tanah itu nganggur akhirnya dijual agar dapat dana untuk kembangkan pelayanan dan keputusan untuk menjual tersebut bukan hanya keputusan perorangan namun keputusan rapat majelis sinode GKJ.
“Ada aturannya, bukan berarti karena saya pengurus, Ketua Sinode kemudian jual tanah sendiri ya tidak bisa. Di dalam AD/ART GKJ ada ketentuan, yang boleh menjual tanah/aset gereja itu seluruh majelis sinode. Gembala lokal dan pendeta itu kan juga anggota majelis sinode. Setiap 300 orang itu ada wakilnya. Mereka itulah yang bersidang, setuju atau tidak setuju menjual tanah itu. Maka akhirnya keputusan bulat disertai dengan penjelasan, bahwa dana hasil penjualan itu untuk kembangkan pelayanan gereja. Sebenarnya jual tanah itu bukan bicara untung atau rugi, tapi gereja itu butuh uang untuk kembangkan pelayanan misi. Makanya ada aset yang bisa dimanfaatkan ya kenapa tidak?,” papar Djana menjelaskan.
Djana menilai ada keanehan dalam gugatan Ketua RT/RW yang mengatasnamakan warga menuntut gereja tidak boleh menjual tanah dengan alasan peruntukan lahan tersebut adalah fasum.
“Seharusnya mereka khan bukan pihak yang boleh menuntut hal itu. RW itu kan Rukun Warga yang tugasnya merukunkan warga bukan menuntut warga. Ini kan aneh. Dari pihak BPN dan Notaris, bilang mereka tidak punya hak untuk menuntut kita. Yang boleh nuntut kita itu Pemda. Tapi justru Pemda sudah kasih izin untuk membangun rumah tinggal. Itu sudah ada PBGnya sudah boleh bangun. Maksud saya, yang seharusnya dituntut itu pemberi izin PBG, ya diuji saja ke MK atau MA supaya dibatalkan izinnya, bukan kita (GKJ) yang dituntut dong,” ungkapnya.

Lebih lanjut Djana menjelaskan, bahwa status tanah itu dibeli secara resmi oleh GKJ dari yayasan Bhara Trikora. Sertifikatnya atas nama gereja. Karena gereja tidak bisa bangun, dan salah satu penyebabnya tidak punya dana untuk bangun sekolah atau gereja sehingga cukup lama tanah itu nganggur.
“Tapi sekarang, kita pagari keliling dan rapi. Kalau dulu, karena belum dipakai kita kasih warga untuk kegiatan olahraga, senam dan sebagainya,” katanya.
Mengapa GKJ tidak membangun gereja atau sekolah di lahan tersebut, menurut Djana, selain belum memiliki dana yang cukup, juga karena tidak jauh dari lokasi tanah tersebut ada Gereja (GKI Jelambar) yang berjarak sekitar 300 meter, pun di sekitar lokasi itu sudah ada sekolah. Kemudian akses masuk kendaraaan roda empat ke tempat itu sempit.
“Itulah beberapa alasan mengapa gereja tidak membangunnya. Kalaupun diizinkan bangun sekolah, di lingkungan situ sudah ada sekolah, namanya sekolah Dharmajaya. Mau bangun gereja, di dekat situ juga ada gereja GKI. Karena GKI dan GKJ kan hampir mirip. Sebenarnya isunya masyarakat juga tidak setuju bangun gereja dan sekolah. Daripada kita ribut-ribut dan bertahan dengan kondisi kosong, mendingan kita jual dan mencari tempat lain yang bisa digunakan bangun gereja,” ungkap Djana.
Kemudian Djana menceritakan, pada tahun 2018, lahan kosong milik gereja itu dimanfaatkan untuk lahan parkir. Karena pada saat itu ada himbauan dari pemerintah, bagi warga yang parkir dipinggir jalan mobilnya akan diderek dan disita. Hasil dana yang dikumpulkan dari parkir itulah kemudian dipakai untuk mensubsidi sekolah PAUD yang dibangun di Jembatan besi.
“Tahun 2018, kita sempat bangun PAUD, tapi karena masih baru, ya tetap disubsidi gereja. Kemudian tanah itu kita rapikan dan dipasang konblok dijadikan tempat parkir disewakan, jadi masyarakat yang tidak punya parkiran boleh parkir disitu. Karena pada saat itu ada isu, kalau parkir mobil di pinggir jalan bisa diderek/disita oleh petugas. Sehingga lahan itu dimanfaatkan untuk parkir,” terang Djana. (ARP/DBS).
Be the first to comment