Kajian Ilmiah FH-UKI Nilai Putusan Pidana Irman Gusman Salah Kaprah

Jakarta, majalahspektrum.com – HASIL kajian ilmiah dari diskusi interaktif yang digelar Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH-UKI) menyimpulkan bahwa putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terhadap kasus pidana korupsi mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman dinilai salah kaprah.

Dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No. 112/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst yang menghukum Irman Gusman dengan pidana penjara 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dari awal sejak penangkapan di Operasi Tangkap Tangan (OTT) tanggal 17 September 2016 telah mengundang banyak kontroversial, baik di tataran politik praktis serta akademisi maupun praktisi hukum.

Ada pihak yang mengkaitkannya dengan masa jabatan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang semula 5 (lima) tahun akan dipangkas menjadi 2,5 tahun yang kebetulan saat DPD RI dikatuia Irman Gusman.

Banyak pula pihak yang mengemukakan pendapat sebagaimana dalam buku “Menyibak Kebenaran, Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman” bahwa dari segi due process of law telah terjadi pelanggaran hukum atau penerapan hukum.

Diawali dari penangkapan Irman di rumahnya yang waktu itu kedatangan tamu sepasang suami istri, surat penangkapan yang digunakan adalah atas nama Xaveriandi Sutanto yang nota bene yang bersangkutan sudah ditangkap dengan status tahanan kota di Sumatera Barat.

FH-UKI sebagai lembaga institusi pendidikan tinggi yang turut mengawal penegakan hukum demi keadilan merasa terpanggil dan turut bertanggung jawab atas potret penegakan hukum yang dialami Irman yang nyataannya banyak mengundang kontroversial di kalangan para akademisi, politik praktis, praktisi dan penegak hukum.

“Berdasarkan data-data sekunder serta bahan hukum yang bersifat primer, kami bisa mencatat dan menyimpulkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal yang dalam istilah atau terminologi hukum acara merupakan suatu kekeliruan dan kekhilafan yang nyata dari Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini pada tingkat pertama di PN Jakpus,” kata Dekan FH-UKI, Hulman Panjaitan, S.H, M.H di Grha William Soeryadjaya, Kampus UKI, Cawang, Jakarta, Kamis (31/1/2019).

Dinilai, Irman tidak salah Gusman menerima tamu sepasang suami istri dari Sumatera Barat yang nota bene adalah dari Dapil yang bersangkutan. Adanya dugaan uang Rp. 100.000.000,- yang dibawa oleh tamu tersebut jika dikaitkan dengan sadapan yang pernah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ada sangkut pautnya.

Fakta persidangan menyatakan bahwa tidak pernah ada dalam sadapan bahwa tamu sepasang suami istri yang datang ke rumah Irman Gusman akan membawa dan memberikan uang Rp. 100.000.000,- kepada Irman.

“Andai kata quod non, jika dikaitkan dengan tindak pidana gratifikasi, penyidik KPK harus menunggu waktu 30 hari apakah Irman Gusman mengembalikan uang tersebut atau tidak. Ini sama sekali diabaikan oleh penyidik KPK dan langsung menangkap yang bersangkutan.” kata mantan Hakim MK, Dr, Maruarar Siahaan, S.H dalam paparannya sebagai panelis di diskusi tersebut.

Menurut Maruarar yang telah berpengalaman 35 tahun sebagai hakim,  mempermasalahkan soal dimasukkannya unsur perdagangan pengaruh dalam putusan Irman Gusman. Padahal, katanya, Indonesia belum meratifikasi pasal tersebut.

Sebagaimana diketahui, ketentuan mengenai memperdagangkan pengaruh tercantum dalam Pasal 18 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) atau konvesi dunia. Dalam hal ini, Indonesia telah meratifikasi pasal hukum internasional tersebut.

“Indonesia belum meratifikasi aturan konvesi dunia tentang perdagangan pengaruh. Jadi, hakim memutus tanpa ada dasar hukum yang secara legalitas sudah berlaku sebelum Pak Irman melakukan,‎” terang mantan Rektor UKI ini.

Atas dasar itulah, menurut Maruarar, putusan Pengadilan Tipikor terhadap Irman Gusman tidak berlandaskan hukum yang legal. Sebab, ada dua kerancuan hukum dalam memutus perkara untuk Irman Gusman.

Sementara, Panitia Seleksi Pembentukan KPK dan perumus UU Tipikor, Prof. Andi Hamzah mengemukakan bahwa Irman Gusman tidak layak dihukum karena Negara tidak memberikan kewenangan kepada DPD untuk mengurusi impor dan distribusi gula.

Demikian juga pendapat Prof. Dr. John Pieris yang mengemukakan bahwa sebagai Ketua DPD saat itu, tidak ada yang salah yang dilakukan oleh Irman Gusman karena tidak ada kewenangan DPD untuk itu.

Dari segi akademik, sebagaimana dikemukakan Dr. Petrus Irwan Panjaitan, bahwa unsur-unsur tindak pidana suap sesungguhnya belum terpenuhi karena tindak pidana suap harus dikaitkan dengan jabatan yang ada padanya. (ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan