Jakarta, majalahspektrum.com – Dalam Diskusi politik yang digelar oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bertajuk “Tanggungjawab, Partisipasi dan kiprah Politik Kristen dalam Pembangunan Nasional Menuju Indonesia Emas”, Presiden Institut Leimena, Dr, Jacob Tobing mengatakan gereja berperan dengan mendorong jemaatnya terjun ke dunia politik dengan memiliki perilaku baik dan memiliki tujuan mulia.
Seperti yang tertulis dalam kitab Yesaya 6:8, kata Jacob, orang kristen menjawab panggilan itu untuk membawa kebaikan bagi bangsa dan negara, bukan untuk mencari jabatan.
“Jabatan memang penting karena memberi kesempatan untuk memberi pelayanan dengan lebih baik, tetapi jabatan tidak boleh dicari dengan menghalalkan segala cara,” kata dosen Lemhanas ini.
Sebagaimana dicontohkan Yesus, lanjut Jacob, panggilan politik orang kristen berasal dari surga tetapi pelayanannya ada di tengah-tengah dan bersama-sama dengan saudara sebangsa.
“Jangan terperangkap pada pendekatan sektarian, kita perlu membangun dan terlibat dalam kesetiakawanan dalam kebhinekaan. Dalam kerangka itu, gereja perlu terus melanjutkan dan memperkuat pemahaman relevansi iman kristen dengan pelayanan di tengah-tengah masyarakat majemuk. Sebuah kesadaran untuk merawat keseimbangan yang dinamis melalui kesadaran kultur inklusif, keyakinan idiologis dan penegakan hukum,” paparnya.
Sementara itu, dalam kata sambutannya, perwakilan Panitia Diskusi Politik tersebut, Manahara Sitinjak, S.H, mengatakan, Peta politik Indoensia yang berubah begitu cepat di era pasca reformasi, mendorong gereja-gereja untuk terus merumuskan posisi dan perannya dalam pembangunan bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI ini.
“Trend pendulum demokrasi yang kian bergerak ke kanan, jika dihitung sejak pilkada DKI Jakarta telah memotret perubahan peta politik yang terus berubah begitu cepat menuju format budaya politik identitas yang semakin mengental. Pemilihan Presiden dan Legislatif yang baru lalu, juga semakin menggambarkan sebuah era baru menuju semacam budaya politik yang nyaris diterima publik sebagai sebuah realitas yang taken for granted,” katanya.
Karena itu, kata dia, penting untuk mempertanyakan kembali posisi dan peran gereja-gerjea di Indoensia dengan mengacu pada sejarah peran politik Kristen dan bagaimana peran itu makin diberi ruang reflektif dalam budaya politik Indoensai masa kini.
“Diskusi ini menjadi penting untuk mendapatkan masukan bagi gereja-gerjea dan lembaga keumatan dalam memposisikan diri dan perannya dalam kontestasi di ruang publik politik Indonesia secara bertanggung jawab,” tukasnya.
Selain Jacob, turut hadir sebagai pembicara tersebut; Research Study CSIS, Vero S, Ketua PGI Pdt, Albertys Patty, dosen Hukum Tata Negara Univ.Atmajaya Dr, Yusmic, S.H, dan Sekjend DPP PDI-P Hasto Kristianto.
Dalam kesempatannya Hasto mengatakan bahwa isu kemiskinan dan kesenjangan ekonomi biasanya dimanfaatkan oleh kelompok separatis yang ada di berbagai negara dunia dengan tujuan memecahbelah suatu bangsa atau negara.
“Di Tiongkok pemerintahnya tidak diberi ruang terhadap kelompok ini, langsung ditindak secara hukum. Di Indonesia, sayangnya diberi ruang bahkan difasilitasi pemerintah atau penguasa,” kata Hasto.
Seperti HTI, Wahabi dan KAMMI yang menolak Pancasila dan secara terang-terangan ingin mendnjadikan Indonesia sebagai negara Khilafah, kata Hasto, malah diberi ruang, diakui bahkan pemimpin negara hadir dalam hajatan mereka yang isinya terang-terangan ingin merubah NKRI menjadi negara Khilafah.
“Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi sosial dijadikan isu ke masyarakat guna mencari dukungan dan pengikut dengan mengatakan bahwa sistem negara khilafah sebagai solusi atas persoalan tersebut, padahal keberadaan mereka sendiri di negeri asalnya, Arab Saudi ditolak dan mulai diperangi, Arab Saudi kini tengah ketakutan karena mereka dianggap sebagai kelompok separatis,’ bebernya. (ARP)
Be the first to comment