Ini Catatan dan Peran Gereja Tahun 2021, Masalah Papua Masih Jadi Sorotan

Jakarta, majalahspektrum.com – KITA boleh bersyukur bahwa Gereja-gereja kita di Indonesia telah membuktikan kehadirannya sebagai umat yang Tuhan utus di bumi Indonesia untuk menjadi “garam” dan “terang.”dalam merespon dan menghadapi ragam permasalahan yang timbul di Indonesia sepanjang Tahun 2020 yang bisa disebut sebagai tahun pandemi corona.

“Keterlibatan gereja dalam meresponi keprihatinan akan berbagai masalah yang muncul sepanjang tahun 2020 dan aktifitas mengadvokasi kasus yang ada di sekitarnya, semakin bertumbuh. Gereja-gereja di Indonesia telah membuktikan diri sebagai gereja yang keluar dari kenyamanannya, melewati batas-batas primordial untuk ada bersama masyarakat yang terpinggirkan dan terlupakan,” kata Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt, Gomar Gultom, M.Th dalam refleksi awal tahunnya saat Ibadah Syukur Awal Tahun PGI yang digelar secara virtual, Senin (3/1/2021).

Kata Gomar, tentu tidak semua respons dan perjuangan gereja berhasil dan menyenangkan hati setiap orang. Namun demikian itu bukan alasan bagi gereja untuk berhenti berjuang hingga di sini. Tahun 2020 boleh berlalu, dengan segala permasalahannya, selanjutnya gereja-gereja akan terus menyuarakan suara-suara dari pinggiran sembari memikul salib yang dipercayakan padanya.

“Sekarang kita memasuki 2021, di tengah ketidak-pastian kapan pandemi dan dampak buruknya akan berakhir. Satu hal yang pasti, pengasihan Tuhan kepada kita tidak akan pernah surut, dalam kesulitan yang bagaimana pun beratnya ketika menjalani 2021 ini. Janji penyertaan-Nya-lah yang senantiasa kita pegang di tengah misteri, badai dan gelombang kehidupan; bahwa Ia tidak pernah sekalipun meninggalkan anak-anak-Nya hingga akhir zaman (Matius 28:20b). Ia akan terus menyertai kita, Imanuel,” ujar Gomar.

Oleh karenanya, lanjut Gomar, sekalipun pandemi covid-19 masih terus membayangi perjalanan kita sebagai gereja, demikian pula beragam persoalan sosial, politik dan ekonomi yang suatu waktu dapat menyulitkan, tidak harus membuat kita pesimis. Sebaliknya, hal tersebut juga perlu dilihat sebagai momentum bagi kita untuk melantangkan cinta kasih.

“Dalam gerakan melantangkan cinta-kasih inilah gereja harus terus mengumandangkan semangat dan menumbuhkan harapan, agar pandemi ini tidak berubah menjadi pandemi keputus-asaan. Gereja-gereja diajak pula untuk semakin bersatu hati dalam arakan oikoumene merespons fenomena-fenomena kehidupan, baik di tengah bangsa, maupun di seluruh dunia,” jelasnya.

Gomar berharap, Tahun 2021 akan menjadi kesempatan bagi kita untuk semakin mengalami perjumpaan-perjumpaan ilahi; mendekatkan diri kita kepada Yesus Kristus, Sang Immanuel. Perjumpaan-perjumpaan yang dapat memperkaya kita sebagai anak-anak Allah dalam menjalankan panggilan dan pengutusan-Nya di tengah dunia ini.

Menurut Gomar, pemajuan HAM yang menjadi tumpuan dan harapan masyarakat sepertinya masih jalan di tempat. Berbagai pelanggaran HAM masa lampau belum satupun yang disentuh selama 2020, termasuk masalah Papua yang masih terus bersimbah darah. Kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua bagaikan penorehan pada luka-luka lama yang masih bernanah seperti terbunuhnya Pdt Yeremia Zanambani dan beberapa pendeta dan katekis.

“Masalah radikalisasi dan terorisme juga masih terus membayangi perjalanan kita. Gugatan atas Pancasila sebagai dasar bersama sebagai bangsa masih terus terjadi oleh sekelompok orang. Penyebaran ujar kebencian, pola hidup sektarian dan aksi intoleran seolah menjadi keseharian, yang mengancam sendi-sendi kehidupan bersama kita sebagai masyarakat majemuk. Pembiaran terhadap fenomena ini serta kecenderungan impunitas terhadap para pelaku yang mengatasnamakan agama bukan tidak mungkin akan berujung pada radikalisme dan terorisme, sebagaimana nampak dalam aksi-aksi teroris yang menelan beberapa korban jiwa di Sulteng,” ungkapnya.

Lagi menurut dia, aksi-aksi intoleran seperti inilah yang dihadapi oleh sejumlah umat beragama di Indonesia seperti Ahmadyah, Shiah, serta agama-agama lokal yang sulit memperjuangkan hak-hak sipil mereka. Demikian pun kesulitan sebagian warga gereja dalam  menjalankan kebebasannya beribadah, khususnya untuk memperoleh ijin mendirikan rumah ibadah.

“Kita juga masih menyaksikan lemahnya hak-hak masyarakat adat berhadapan dengan korporasi sebagaimana terlihat pada kasus masyarakat adat Laman Kinipan berhadapan dengan PT SML di Kalteng atau masyarakat Dairi berhadapan dengan PT DMP di Sumut, dll. Dalam banyak kasus kita melihat kurang hadirnya negara melindungi masyarakat, bahkan terkesan membela kepentingan korporasi hingga terjadinya beberapa kriminalisasi terhadap aktivis dan pembela masyarakat adat,” tukasnya.

Kita baru saja melewati 2020 yang penuh tantangan, hampir setahun penuh masa sulit akibat pandemi covid-19, yang mendera kehidupan kita dengan ragam penderitaan dan kepiluan. Di balik kenyataan itu, kita patut mensyukuri penemuan vaksin, serta mendukung sepenuhnya gerakan vaksinasi yang diprogramkan oleh pemerintah.

“Namun demikian gereja harus terus mendorong agar masyarakat tidak menjadi lengah. Sekalipun telah divaksin, upaya menjaga imunitas dan menerapkan protokol kesehatan harus menjadi habitus baru, karena bagaimana pun, virus corona yang kita hadapi, yang adalah juga makhluk hidup, akan terus berjuang hidup dan akan senantiasa menjegal kita bila tidak waspada,” ajak Gomar.

Selain pandemi, lanjut Gomar, kita juga berhadapan dengan masalah sosio-politik yang menuntut peran profetis kita sebagai gereja. Salah satu masalah laten yang hingga kini masih kita hadapi adalah korupsi, yang menjadikan sebagian besar masyarakat kita tetap terpuruk dalam lembah kemiskinan.

“Dalam perspektif gereja, korupsi bukan hanya masalah penyelewengan untuk keuntungan pribadi, tetapi terutama adalah kerusakan atau kebobrokan integritas, atau moral, yakni kebobrokan moral manusia yang tidak mampu mewujudkan dirinya sebagai Gambar Allah,” katanya.

Menurut Gomar, masalah korupsi tidak bisa dilepaskan dari budaya dan sistem perpolitikan kita yang masih carut marut. Di samping minimnya etika politik, kita menyaksikan betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk mengikuti kontestasi pemilu, baik pileg, pilpres  maupun pilkada.

“Maraknya politik transaksional telah menyuburkan praktek korupsi. Akibatnya, lembaga-lembaga demokrasi yang mestinya menjaga kepentingan masyarakat banyak, malah terus menerus menggerus kekayaan negeri ini untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Korupsi itupun tidak mengenal waktu atau keadaan, bahkan terhadap masyarakat yang menderita akibat pandemi covid-19 ini, bantuan sosial yang menjadi haknya juga tidak luput disunat,” katanya. (ARP)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan