Jakarta, majalahspektrum.com – PERSEKUTUAN Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) meluncurkan hasil riset tentang respon generasi muda sekarang ini yang disebut sebagai Gen-Z atau generasi Milenial. Penelitian yang diberi judul; “Dinamika Aktivisme Digital Kaum Muda Indonesia dalam Wacana Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) itu dipresentasikan oleh; peneliti Leonard Chrysostomos dan Evelyn Suleeman.
”Penelitian ini kami lakukan selama 6 bulan dan direntang umur 18 sampai 34 tahun melalui online dan daring,” kata Leonard mengawali paparannya, Selasa, 28 Maret 2023, di Grha Oikoumene PGI, Salemba Raya 10, Jakarta Pusat, lantai 3.
Selain itu, penelitian dilakukan di 5 kota di Indonesia yakni; Jakarta, Padang, Menado, Denpasar dan Pontianak dengan 922 responden. Adapun pertimbangan pemilihan kota-kota tersebut yakni; kota Jakarta sebagai representative heterogen, Padang refresentatif Islam, Menado Kristen, Denpasar Hindu dan Pontianak Budha-Konghucu.
“Tantangan dari penelitian ini tidak teridentifikasi identitas responden yang sesungguhnya,” ungkap Leonard.
Adapun hasil temuan penelitian tersebut yakni bahwa generasi muda Indonesia saat ini (gen-Z, Milenial) yang merupakan bagian dari bonus demografi Indonesia Emas 2045 kurangrespon terhadap isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB).
“Agama bukan focus utama mereka tetapi mereka peka terhadap isu lingkungan, social dan kemanusiaan. Kaum muda masih cair soal agama dan menganggap sensitive bahas soal agama dalam wacana KBB,” jelasnya.
Ditambahkan peneliti Evelyn Suleeman, istilah KBB tidak laku di kalangan anak muda, generasi “Z” menunjukan empaty terhadap kasus KBB.
“Mereka (Gen-Z milenial) berpotensi menjadi agent perubahan tetapi mereka merasa tidak memiliki kekuatan. Untuk mengajak mereka untuk peduli terhadap isu KBB dengan cara mengikuti gaya bicara mereka,” terang Evelyn.
Hal senada diungkapkan penanggap dari Saiful Muljani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad. Menurutnya isu KBB sangat menarik dan penting bagi generasi muda, sayangnya mereka lebih perhatian pada isu-isu lingkungan dan kemanusiaan.
“Dalam riset yang pernah kami (SMRC) lakukan, dalam sosial kemasyarakatan toleransi mereka tinggi namun dalam hal politik toleransi mereka rendah. Misalnya soal memilih kepala daerah atau pemimpin mereka lebih memilih sosok yang se-agama, hal ini karena dampak dari politik identitas,” ujar Saidiman.
Baca Juga : ( Politik Identitas Ulah Generasi Tua Rusak Generasi Muda Indonesia Emas 2045 )
Tingginya intoleransi di masyarakat, kata Saidiman, karena adanya intervensi politik dalam agama yang berakibat adanya polarisasi di masyarakat. “Polarisasi hal aneh bagi anak muda, menggunakan sentiment SARA tidak menarik bagi anak muda. Jadi generasi tua-lah yang mencekoki sikap intoleransi kepada generasi muda dan itu karena ada intervensi politik,” jelasnya.
“Jadi, politik identitas itu sangat berbahaya bagi masa yang akan datang, khususnya bagi generasi muda. Beruntung saat ini tingkat kritis soal demokrasi terhadap pemerintah atau presiden rendah karena mereka puas terhadap kinerja Jokowi. Kritis terhadap demokrasi rendah tetapi iman demikrasi tinggi,” tambahnya.
Namun demikian, kata Saidiman, dari data yang ada menunjukan bahwa dari tahun ke tahun atau dari Pemilu ke Pemilu tingkat toleransi semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari perolehan suara dari Partai Politik berbasis Islam fundamentalis.
“Pada era Orde Lama pemilih partai agama sebesar 40%-an, kini pemilih Parpol agama Islam seperti PKS dan PPP bila dijumlahkan hanya 12% saja,” tandasnya.
Sementara, penanggap kedua dari Bilangan Research, Handi Irawan mengapresiasi kejujuran dalam riset yang dilakukan PGI-ICRS. Menurutnya perlu ada pembobotan terhadap responden yang beragama Islam dengan non Islam, hal itu karena komposisi jumlah penduduk di Indonesia dimana Islam sebagai mayoritas yakni 86% lebih.
Senada dengan SMRC, dari riset yang pernah dilakukan Bilangan Research ditemukan bahwa pada 10 tahun lalu tingkat toleransi masyarakat terhadap keberadaan Gereja dan Jemaat semakin tinggi.
“10 Tahun lalu sebanyak 22,3% Sangat tidak toleran terhadap gereja, 24,2% Sedikit toleran dan 55,3% Sangat toleran. Sekarang yang sangat toleran naik menjadi 62% sedangkan yang sangat tidak toleran turun menjadi 13,4%,” terang Handi Irawan yang juga adalah Ketua Umum Majelis Pendidikan Kristen (MPK).
Menurut Handi, masyarakat Indonesia dikenal sebagai orang yang tidak suka hal serius. Hal itu dapat dibuktikan dari tontonan yang disukai ditelevisi. “Rating Televisi di acara berita rendah sementara untuk sinetron dan telenovela tinggi,” katanya.
Begitupun anak muda Indonesia, mereka, kata Handi, tidak suka bicara soal hal serius dan sensitive di Medsos. Bila dirasa perlu membahasnya, misalnya soal politik bernuansa SARA, mereka akan mengajaka bertemu untuk dibincangkan.
“Generasi tua-lah yang mencekoki mereka sensitive soal KBB, anak muda biasa saja. Anak muda dijejali virus politik identitas oleh generasi tua,” tukasnya.
Menurut Handi, bersyukur toleransi terus meningkat, namun fenomena lain terlihat anak muda semakin menurun nilai spiritualitasnya.
“Mereka menganggap agama hanya status dalam KTP, hal ini karena pemuka agama tidak dapat menunjukan teladan baik. Mereka mengganggap pemuka agama munafik,” ungkapnya. (ARP)
Be the first to comment