Jakarta, majalahspektrum.com – JARINGAN Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) berkolaborasi dengan Suara Orang Tua Peduli (SOP) dan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) menyelengarakan acara Refleksi Akhir Tahun dan Outlook Pendidikan 2023, di Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Dari temuan JPPI, kualitas pendidikan di Indonesia menurun sedangkan praktik korupsi terus meningkat. JPPI memperkirakan praktik korupsi di sekolah akan terus meningkat. Hal itu disebabkan tidak adanya keterbukaan informasi di sekolah dan pelibatan orangtua murid sebatas sosialisasi program dan pungutan.
“Sekolah jadi inspirasi praktik korupsi. Bukan karakter peserta didik yang perlu dibenahi tetapi gurunya yang bermasalah. Khusus di periode tahun 2021 – 2022 ada kenaikan 2 kali lipat lebih kasus korupsi di sekolah, khususnya di Jakarta,” kata Kornas JPPI, Ubaid Matraji.
Adapun modus kasus penyelewengan dana pendidikan yang paling menonjol dan besar adalah penggunaan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). “Dana BOS jadi ‘Bom’ pemicu praktik korupsi di sekolah,” ujar Ubaid.
Penyelwengan dana BOS modusnya berupa Laporan fiktif, Kesepakatan gelap Berjamaah, markup dalam PBJ dan jumlah siswa. “Ada dalam satu Kabipaten /Kota 100 orang para Kepsek berkumpul membuat kesepakatan korupsi dana BOS,” ungkapnya.
Adapun biang kerok masifnya praktik korupsi di sekolah menurut JPPI adalah karena Manajemen sekolah yang masih tertutup, Pelibatan orang tua hanya untuk pengumpulan dana, Sekolah tidak melibatkan komite sekolah dalam soal keuangan, Dana BOS hanya dikelola oleh kepala dan bendahara dan Tidak mempublikasi laporan dana sekolah ke publik.
Kemudian lanjut Ubaid, rendahnya mutu pendidikan kita karena terjadi Politik pencitraan “Wajib Belajar”, Lemahnya Komitmen Pemerintah Daerah, PPDB Berbasis Ketersediaan Bangku Sekolah, bukan berapa jumlah peserta didik.
“Mestinya berbasis hak anak bukan ketersediaan sekolah. PPDB pun membuka peluang praktik korupsi berupa “Jual Bangku” kosong, menaikan nilai raport siswa, nilai ekstrakulikuler dan keorganisasian di sekolah.
Baca Juga : ( Bukti Keputusan Jokowi Pecat Anies Sebagai Mendikbud Tepat )
Dengan penilaian 1 s/d 5, mulai dari sangat buruk hingga sangat baik, JPPI member skor nilai pendidikan Indonesia 1,6. Rendahnya penilaian tersebut akibat makin maraknya praktik korupsi di sekolah, rendahnya kualitas guru, Banyak kekerasan dan diskriminasi di sekolah, Jumlah anak putus sekolah bertambah dan Minimnya sekolah negeri.
Adapun Outlook 2023 yang akan terjadi menurut JPPI yakni Praktik Korupsi di Sekolah akan bertambah marak, khususnya karena tidak ada perubahan tatakelola dana BOS. Partisipasi Masyarakat akan mati karena tidak ada upaya Revitalisasi. Angka putus sekolah dan pekerja anak tambah meningkat karena situasi krisis dan resesi global yang diperkirakan. Literasi dan Numerasi akan memburuk karena tahun politik jelang Pilpres.
Di kesempatan yang sama Co-Director Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Fitria Villa Sahara menyebutkan pendidikan dan pembelajaran harus memiliki niat dari dini sampai akhir hayat untuk pemberdayaan perempuan yang lebih baik.
Pemberdayaan perempuan dalam pendidikan orang dewasa yang transformatif berbasis hak baik untuk perlindungan, tumbuh kembang, warga negara, dan sebagainya. Ini menjadi refleksi bersama untuk meningkatkan sistem pendidikan yang transformatif.
“Namun ini memerlukan elemen yang beragam untuk memperbaiki sistem pendidikan yang berkeadilan dan menguatkan sistem pendidikan kita,” kata Fitria.
Pendidikan transformatif juga harus keadilan untuk semua dengan berempati dengan semua kelompok. Dan pemahaman itu bisa masuk dari ruang kuliah hingga tingkat PAUD. Isu perundungan dan kekerasan seksual perlu dicegah dari siswa.
Bahkan Fitria mengatakan perlu menyisihkan waktu untuk membicarakan hal tersebut dengan siswa langsung. “Transformatif berkeadilan dalam pendidikan ditekankan pada semua kelompok dan perubahan kurikulum juga untuk kemajuan pendidikan kita semua,” ucapnya.
Fitria menilai absennya pendidikan karakter di sekolah, para guru fokus pada perolehan nilai siswa. Pun soal uji kopetensi masih sama seperti yang dulu-dulu. Menyajikan soal yang sama (tidak ada kreatifitas), Lebih banyak soal pilihan ganda.
“Minim, bahkan tidak ada soal tentang mengemukakan pendapat siswa tentang suatu persoalan. Pembentukan karakter tentang kepedulian sosial, Keberagaman dan Kejujuran masih sangat minim. Intinya masih soal dengan jawaban yang sudah pasti dan itu-itu saja tidak pada logika berpikir,” jelasnya.
Sementara, menurut Rahmi Yunita dari Suara Orang Tua Peduli (SOP), persoalan pendidikan harus bertujuan pada pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan atau sekolah bukan sekedar pada kualitas pendidikan atau sekolah.
“Sekolah SMA /SMK negeri lebih sedikit dari SMPN dan jumlah SMPN lebih sedikit dari SDN. Akibatnya banyak anak yang putus sekolah akibat tidak dapat bersekolah di sekolah negeri, sementara untuk bersekolah di sekolah swata tidak sanggup bayar,” kata Yunita. (ARP)
Be the first to comment